Senin, 06 Juni 2011

(Ngaji of the Day) Paradigma Berpikir Dalam Al-Qur’an

Paradigma Berpikir Dalam Al-Qur’an


Sebagai wahyu, al-Qur’an menuntun umat untuk selalu tadabur dan tafakur terhadapkandungan makna ayat-ayatnya (QS an-Nisa’ [4]: 82 dan QS Ali Imran [3]: 191). Bertolak dari semangat ini, manusia dibekali perangkat lunak yang berupa “pemikiran” yang hendaknya selalu seirama dengan realitas ayat-ayat al-Qur’an. Ar-Raghib al-Ashfihani berkata, “Pemikiran adalah suatu kekuatan yang berusaha mencapai suatu ilmu, dan tafakur (berpikir) adalah bekerjanya kekuatan itu dengan bimbingan akal.”



Di samping sebagai wahyu, al-Qur’an juga suatu mukjizat. Berdasarkan beberapa indikasi ayat yang tersurat di dalamnya, kemukjizatan al-Qur’an tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang menyangkalnya. Perihal kebenaraannya dapat dibuktikan melalui rumusan definitif mukjizat yang mengandung makna "tahaddi" (tantangan). Adapun orang Islam, dengan ikrar keislamannya, sudah dianggap meyakini kebenaran al-Qur’an sebagai Kalam Allah.



Untuk mengakui sebuah kebenaran, manusia mesti berhubungan dengan akal. Sementara akal senantiasa berjalan beriringan dengan perkembangan situasi. Sehingga,potensi non fisik manusia tersebut (akal) tidak akan begitu saja tunduk pada keputusan yang instan atau sudah disepakati validitas kebenarannya. Ia senantiasa akan berdalih untuk tidak fanatik pada satu mazhab, satu pendapat, berikut ketetapan-ketetapan paten yang lain. Akal selalu ada dalam kelabilan dan ketidakpastian.



Entri akal dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 49 kali. Kata kerja ta’qilûn terulang sebanyak 24 kali, kata kerja ya’qilûn sebanyak 22 kali. Sedangkan kata kerja 'aqala, na'qilu dan ya'qilu masing-masing satu kali. Yang mencolok dari redaksi tersebut adalah pengunaan bentuk istifhâm inkâri (pertanyaan negatif yang bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat).



Salah satu contoh: firman Allah yang artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu akan berbalik menjadi murtad?”(QS an-Nisa’ [3]: 144). Di dalam ayat ini terdapat istifhâm taubîkh inkâri (pertanyaan yang mengandung kecaman sekaligus larangan untuk melakukannya).



Kalau ayat ini kita korelasikan dengan kajian psikologi, maka mengisyaratkan beberapa hal berikut:Pertama, menilai baik buruknya sebuah ide hendaknya tidak berdasarkan ukuran kebendaan (materi) atau panca indera yang timbul dari kebutuhan primer. Kedua, menilai baik buruknya sebuah ide hendaknya tidak berdasarkan atas keteladanan yang diberikan seseorang.



Fenomena yang bisa dijadikan tamtsîl adalah bagaimana ketika orang beranggapan bahwa baja adalah materi yang padat. Akan tetapi, setelah dilakukan eksperimen, sinar x membuktikan bahwa baja memiliki pori-pori.



Dengan demikian, kita dapat memahami, bahwa al-Qur’an tidak membatasi pola berpikir hanya pada dua hal di atas, tetapi lebih menekankan pada pola berpikir yang “lebih dewasa” yakni penilaiaan terhadap sebuah ide hendaknya didasarkan pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa ada pengaruh materi atau pun subyektivitas pribadi.



Paradigma berpikir yang diajarkan al-Qur’an tidaklah sama dengan apa yang ada pada cabang keilmuan lain, walaupun itu lahir dari al-Qur’an sendiri. Maka, dalam kaca mata al-Qur’an, ritme pemikiran yang diajarkan tidak terkesan stagnan atau jumud. Al-Qur’an berupaya mencetak manusia produktif yang tumbuh melalui perangkat rasionalnya. Sudut pandang al-Qur’an dalam memahami sebuah ide bukan atas dasar nilai-nilai subyektivitas, materi, dan juga wujud personal yang dijadikan obyek. Dalam al-Qur’an tidak ada dua macam warna pemikiran, “hitam” atau “putih”, tidak gegabah, tidak sepihak, dan tidak dikebiri oleh logika formal (al-Manthiq ash-Shûrî).



Berkaca pada upaya para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan-pendekatan tafsir, seperti at-tahlîli, al-ijmâly, dan maudhû'i, kita ketahui, bahwa upaya yang mereka lakukan adalah dalam rangka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman kemukjizatan al-Qur’an. Maksudnya al-Qur’an bukan semata-mata wahyu yang memiliki kemukjizatan material-indrawi, terbatas dan temporal, akan tetapi lebih pada kemukjizatan imaterial; akal diberikan kesempatan untuk membuktikan otensitas kebenarannya sampai kapanpun.



Rasionalitas al-Qur’an sangat jelas. Orang yang membaca akan menemukan ruh kerasionalan, dengan catatan, membacanya tanpa didasari fanatisme. Akan tetapi, pemahaman akal semata akan hakikat kebenaran tidaklah cukup. Harus dilakukan transformasi menuju akal aktif dan mengetahui bahwa kebaikan dan kemaslahatan adalah dengan mengikuti apa yang telah menjadi ketetapan Tuhan.



Akal tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki pusat sebagai fondasi. Mayoritas ulama, di antaranya adalah Imam Syafii, berpendapat, bahwa posisi akal berada pada hati. Pendapat itu didasarkan pada ayat: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka memahami” (QS al-Haj [22]: 46) dan "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati" (QS Qaaf [50]: 37).



Karena kerja akal diakomodir oleh hati, maka implementasi akal seseorang dapat ditakar melalui beberapa hal: pertama, cenderung pada budi pekerti yang terpuji; kedua, menjauhi perbuatan yang tercela; ketiga, senang memberi nasihat untuk berbuat baik; keempat, menjauhi tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan dan berdampak pada buruknya reputasi si empunya.



Dari hati ini pula, pola berpikir seseorang akan lebih dominan pada salah satu paradigma yang telah dicetuskan pertama kali oleh Thomas Kuhn, yakni paradigma metafisik (metaphysic paradigm), yakni konsensus dalam suatu disiplin ilmu yang mampu membatasi bidang-bidangnya sehingga dapat mengarahkan ilmunya untuk melakukan sebuah pendekatan dan penelitian. Rumusan paradigma tersebut tidak saja berasal dari pola pikir yang rasional, tetapi juga dapat dirangkai dari sistem nilai yang sakral, metafisik, dan berasal dari luar manusia yang terkait dengan apa yang dinamakan dengan agama.

Ilmu tidak akan berakar, berkembang, dan meluas, bahkan tidak akan terbentuk kecuali dalam kondisi yang siap untuk berpikir. Dengan kata lain, al-Qur’an mengajak dan memberikan tuntunan untuk membentuk akal yang bebas, obyektif, serta menolak pemikiran yang jumud, serta akal yang mengikuti hawa nafsu.



Tetapi perlu diingat, kedewasaan memahami ide yang ditawarkan al-Qur’an tersebut bukan berarti tawaran kebebasan (liberal) dalam merasionalkan satu permasalahan. Akan tetapi lahirnya kebebasan dari sebuah analogi atau pendekatan yang tetap mengikuti aturan main, tidak lantas kebablasan, sehingga menjamur pakar-pakar tafsir atau bahkan ta'wîl prematur sekaliber Musailamah al-Kadzab serta cucu-cucunya, seperti Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd.



Penulis adalah Pemimpin Redaksi Buletin Istinbat, Kuliah Syariah Pondok Pesantren Sidogiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar