Pemimpin dan Revolusi Mental
Oleh: Mohamad Sobary
“IKUTI saya. Ini jalan yang harus kita tempuh.” Kata salah seorang dalam suatu
rombongan pejalan kaki yang menyeberangi rawa, hutan, desa demi desa yang banyak
jumlahnya, dan luas wilayahnya. Mereka sudah lelah, tenaga sudah nyaris habis
ketika mereka tersesat.
Kini rombongan itu ada di suatu tempat yang
dapat disebut 'in the middle of nowhere,' jauh dari utara, jauh dari
selatan, jauh dari barat maupun timur. Posisi mereka pun jauh dari desa, jauh
dari kota maupun dari tempat-tempat yang didiami manusia.
Biasanya mereka bergurau dan dengan nyaman
menertawakan diri sendiri tapi saat itu lain. Semua merasa begitu tegang,
begitu ‘hopeless’, karena sudah lama tersesat.
Tiap pihak menyatakan pemikiran mengenai arah yang
harus mereka tempuh, dan pemikiran itu diwujudkan. Tapi tiap saat,
berkali-kali, mereka kembali ke situ-situ juga. Seolah mereka tak punya lagi
jalan keluar.
Salah seorang dari mereka menenangkan diri sejenak.
Kemudian, dia meminum seteguk air dari sungai kecil yang mengalir jernih dari
sumbernya di bawah pohon besar tak jauh dari tempat mereka merasa kehilangan
harapan.
Dialah orang yang dengan teguh dan penuh percaya pada
diri sendiri mengajak kawan-kawannya untuk mengikutinya seperti disebut di awal
tulisan ini.
“Ikut kau ke mana?” tanya salah seorang yang tak
mampu lagi membayangkan adanya jalan keluar yang dapat mereka tempuh.
“Ke arah ini.” Jawabnya sambal menunjuk ke suatu
jalan kecil, jalan tikus, yang tadi sudah mereka lalui.
“Tadi kita sudah melewati jalan kecil itu.”
“Tapi kita tadi menempuhnya dari arah sana tanpa
berbelok. Kita akan berbelok ke kanan. Lurus ke kanan. Ini jalan yang harus
kita tempuh.”
“Apa kau yakin?”
“Tidak. Kita tak harus yakin. Tapi saya punya apa
yang sering disebut naluri, mungkin lebih baik disebut dengan nama ‘guts
feeling’ yang mengatakan inilah satu-satunya jalan keluar dari tempat
ini.”
“Kalau begitu kau yakin, bukan?” kata salah seorang
yang sejak tadi mulai merasa tertarik pada ucapan sahabatnya itu.
“Terserah mau disebut apa. Yakin atau tidak bagi saya tak
begitu penting selain rasa menggetarkan jiwa bahwa ini jalan keluar yang harus
kita tempuh.”
“Kalau begitu tempuhlah jalan itu sendirian. Kau akan
kembali ke sini lagi,” jawab yang lain, yang sudah ‘skeptis’ merasakan
nasibnya.
“Kalau begitu silakan kau tinggal di sini. Siapa mau
ikut saya?”
Beberapa orang angkat tangan. Makin lama makin banyak
yang hendak mengikutinya.
“Jangan sia-siakan umur kita untuk terombang-ambing
dalam keputusasaan.” Kata sang penemu jalan keluar itu.
Akhirnya semua mengikutinya bukan karena yakin akan
kebenaran arah yang mereka tempuh tapi karena semata-mata tidak enak kalau
perdebatan itu diperpanjang tanpa hasil. Dan benar. Sesudah melalui jalan
berkelok-kelok, dan menempuh banyak tikungan, mereka menemukan jalan keluar
yang dikatakan tadi.
***
Kisah rekaan di atas menggambarkan bahwa ketika suatu kelompok,
atau suatu komunitas, atau suatu warga masyarakat merasa berhadapan dengan
jalan buntu untuk menata kehidupan mereka, mungkin secara alamiah akan selalu
tampil seseorang yang menawarkan solusi.
Boleh jadi tak banyak yang percaya pada tawarannya.
Boleh jadi tawaran itu bahkan dianggap pemikiran “gila”. Tapi orang tersebut
tak gentar menghadapi aneka macam sikap yang menentangnya. Dia “jalan terus”.
Dia tak peduli pada para penentangnya.
Rasa, ‘guts
feeling’, atau fenomena kejiwaan sejenis itu, memang sukar
dijelaskan secara rasional. Namanya juga perasaan. Apa yang sukar dijelaskan
dengan kata-kata itu bisa diwujudkan dalam suatu tindakan yang kemudian
mengejutkan banyak orang.
Pemimpin sejati tak usah terpesona pada apa yang
kemudian menjadi kejutan. Orang awam memang gemar terkejut. Kesenangannya
menyangkal pendirian orang lain tapi ketika pendirian itu benar, mereka
terkejut tadi. Kaum awam, pengikut, dan bukan pemimpin, memang begitu wataknya.
Ada kalanya tampil sikap kritis, yang disertai
perasaan paling benar sendiri tapi pemimpin sejati yang jiwanya sudah
dicerahi oleh gagasan kepemimpinan untuk mengubah kemapanan hidup tak peduli
akan sikap macam itu.
Dia paham, pemimpin itu tugasnya memimpin. Dan tugas
memimpin itu dalam suatu urusan tertentu “dibimbing” atau mungkin “dibisiki”
oleh suara kebenaran yang nyaris tak terdengar, kecuali oleh mereka yang
memiliki sensitivitas yang tinggi. Dengan begitu jelas, pemimpin wajib memiliki
sensitivitas yang tinggi.
Dengan sensitivitas itu sang pemimpin “membawa”
orang-orang yang dipimpin menuju suatu cara hidup baru, suatu tatanan baru,
atau kiblat baru yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Di dalam konteks
revolusi mental, pemimpin mengubah “dunia” kita ini menuju suatu “dunia”
baru.
Revolusi mental mengubah hidup kita menjadi sesuatu yang baru,
yang lebih adil, lebih manusiawi dan yang adil dan manusiawi itu merupakan
hidup yang benar. Mungkin, dengan kata lain, hidup yang dicercahi kebenaran.
Apalagi yang lebih indah dibanding dengan hidup yang
adil, manusiawi dan dicerahi kebenaran? Jika dibalik, hidup yang dituju itu
hidup yang benar, manusiawi dan adil. Dalam konteks kenegaraan, hidup yang
benar, adil, dan manusiawi itu tecermin di dalam kehidupan birokrasi di mana
pemimpin memberi pelayanan kepada pihak yang dipimpin.
Benar, adil, dan manusiawi itu terwujud jika rakyat
memperoleh apa yang dijanjikan di dalam konstitusi kita. Rakyat memiliki hak
konstitusi untuk dibikin makmur dan pemerintah melayani kebutuhan memakmurkan
rakyat tersebut.
Sejak lama pemerintah kita memiliki utang
konstitusional pada rakyat, dan revolusi mental berusaha menunjukkan
semangat membayar utang itu. Membayar utang itu kini merupakan kewajiban
pemimpin yang menyadari bahwa memimpin bukan sekadar dengan omong dan memberi
janji berupa kata-kata, tetapi melayani, dan melayani, dengan tindakan nyata
untuk membikin rakyat merasa punya pemimpin. []
KORAN SINDO, 27 Februari 2017
Mohamad Sobary | Budayawan