Selasa, 31 Januari 2017

(Do'a of the Day) 03 Jumadil Awwal 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma a'innii 'alaa ghamaraatil mauti wa sakaaraatil mauti.

Ya Allah, tolonglah aku menghadapi kesengsaraan mati dan kesakitan pada saat mati.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 14.

(Tokoh of the Day) Mbah Kuwu Sangkan, Talun, Kabupaten Cirebon - Jawa Barat



Mbah Kuwu Sangkan, Tokoh Babad Alas Islam Cirebon
 
Gerbang makam Mbah Kuwu Sangkan
Cirebon merupakan salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Selama ini masyarakat masyhur hanya mengenal Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utama penyebar Islam di Jawa Barat, salah satunya di Cirebon.

Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, tokoh babad alas Islam di Cirebon atau orang yang pertama kali membangun pondasi keislaman adalah Mbah Kuwu Sangkan (lahir sekitar 1423 masehi). Atas peran sentralnya itu, Tim Anjangsana Islam Nusantara STAINU Jakarta bergerak menelusuri jejak Mbah Kuwu di daerah Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Senin (23/1/2017).

Menurut Peneliti Pusat Kajian Cirebon (Cirebonesse) IAIN Syekh Nurjati Mahrus el-Mawa, Mbah Kuwu merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. “Masyarakat mengenal Mbah Kuwu sebagai uwa-nya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,” ujar Mahrus yang juga Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini.

Dalam berbagai literatur menurut Mahrus, Mbah Kuwu mempunyai 5 nama yaitu Pangeran Cakrabuana, Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah, dan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang itu sendiri.

Mbah Kuwu Sangkan terlahir tiga bersaudara, yakni Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang, beserta Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang. 

Sebagai Putra Mahkota, Mbah Kuwu mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya, Prabu Siliwangi. Hal ini terbukti dari pencapaiannya yang berhasil menduduki takhta Cirebon di bawah Kerajaan Pasundan yang saat itu dipimpin Raja Galuh, dan Mbah Kuwu merupakan raja pertama.

Perjuangan Mbah Kuwu membangun Cirebon dan menyebarkan Islam dimulai pada usianya yang kala itu masih menginjak 25 tahun. Ia mulai berdakwah, hingga mencapai puncaknya saat ia menduduki singgasana kerajaan Cirebon, dari situ ia memiliki kekuatan untuk memperluas wilayah dakwahnya.

Semasa hidup, Mbah Kuwu memiliki dua istri, yakni Nyi Endang Golis dan Nyai Ratna Lilis. Dari pernikahannya dengan Nyi Endang Golis dianugerahi keturunan Nyi Pakung Wati yang kelak menjadi salah satu pendamping Syekh Syarif Hidayatullah.

Syekh Syarif  Hidayatullah sendiri merupakan putra dari Nyai Rarasantang, adik Mbah Kuwu Sangkan. Sedangkan dari pernikahannya dengan Nyai Ratna Lilis dianugerahi seorang putra bernama Pangeran Abdurrokhman.

Menurut beberapa catatan sejarah, Mbah Kuwu Sangkan menyukai sejumlah hewan, yakni kucing Candra Mawa, Macan Samba, dan Kebo Dongkol Bule Karone. Ketiga hewan tersebut diyakini sudah punah dan sekarang menurut kepercayaan orang setempat ketiga hewan itulah yang menjaga makam Mbah Kuwu.

Bentuk dari ketiga hewan tersebut dapat dilihat pada patung-patung hewan yang ada di sekitar lokasi makam. Mbah kuwu menetap di daerah Cirebon Girang, Talun sampai akhir hayatnya pada tahun 1500-an Masehi atau abad 16 awal. Sumber sejarah lain menyebut, Mbah Kuwu Sangkan wafat tahun 1529 Masehi.

Pelopor kebudayaan Pasundan Islami

Selain Panglima Ulung, Mbah Kuwu Sangkan adalah Pelopor Kebudayaan pasundan Islami. Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklukkan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.

Pangeran Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 Masehi hingga tahun 1479 Masehi.

Mbah Kuwu juga memiliki kriteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan mengembangkannya.

Ayahnya, Prabu Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu kemiliteran, politik dan kesaktian sejak kecil. Demi mencerdaskan anaknya, ia diserahkan kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah Syekh Qurotullain, Syekh Nurjati, Syekh Bayanillah, Ki Gde Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang, dan Ki Gde Bango Cangak.

Dakwah Islam mulai menyebar luas di daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Sumedang, Purwakarta, Karawang, Priangan, Bogor yang kemudian mengalir ke Banten.

Dari proses dakwah tersebut, wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan, antara Cirebon dan Banten. Kemudian, Ibu Kota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Di sana lalu didirikan Keraton baru yang dinamakan Keraton Pakungwati.

Beberapa sumber setempat menyebut, pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana. Namun, orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah Syekh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan.

Di depan makam sebelum memasuki gerbang, ada bangunan bernama Palinggihan Ichsanul Kamil. Bangunan berwarna merah dan dikelilingi oleh pagar bercorak khas Islam di wilayah Cirebon itu merupakan tempat meditasi Mbah Kuwu Sangkan untuk berinteraksi dengan Tuhannya. Palinggihan sendiri berasal dari kata lungguh yang berarti "duduk".

Sumber:
1. Wawancara dengan Mahrus el-Mawa
2. Penulusuran langsung ke Makam Mbah Kuwu Sangkan, Senin, 23 Januari 2017.

[]

(Fathoni Ahmad)

Mahfud MD: Akbarnya Patrialis



Akbarnya Patrialis
Oleh: Moh Mahfud MD

BEGITU keluar dari ruang kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Palembang pada Kamis 26 Januari 2017, dua hari yang lalu saya langsung diserbu dan diberondong pertanyaan keras oleh para wartawan.

“Apa tanggapan Bapak tentang ditangkaptangannya hakim MK Patrialis Akbar?” cecar mereka bersaur manuk. Saya kaget karena berita itu disodorkan begitu tiba-tiba dan saya belum mengetahuinya. “Kalau itu benar, saya hanya mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’un,” kata saya dan terus menerobos pergi. Saya langsung ke hotel dan mencari info ke sana kemari sampai akhirnya mendapat sumber A-1 ketika Ketua KPK Agus Rahardjo mengonfirmasi bahwa Patrialis Akbar memang ditangkap (operasi tangkap tangan-OTT).

Sorenya puluhan wartawan datang lagi ke Hotel Arista, Palembang, dan meminta saya menanggapi. Ini adalah berita akbar atau berita besar kedua yang menyeruduk kita dari Gedung MK. Berita akbar yang pertama terjadi 2 Oktober 2013, ketika Ketua MK ditangkap di rumah dinasnya karena kasus korupsi yang akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup. “Apa tanggapan Bapak? Sudah jelas, kan Pak, kalau Pak Patrialis di- OTT?” Demikian cecar para wartawan itu. Ada dua hal yang saya tekankan saat itu.

Pertama, lihatlah. Nanti setelah pemeriksaan oleh KPK, orang yang terkena OTT begitu keluar dari ruang pemeriksaan pasti yang pertama diucapkan kepada kerumunan wartawan, “Saya dikriminalisasi, saya dijebak, saya dizalimi, saya di-OTT karena politik,” atau berbagai dalih lain. Kedua, ingatlah. Selama ini jika KPK telah menangkap seseorang dengan OTT tidak ada seorang pun yang bisa lolos, semua bisa dikirim ke penjara.

Benar saja. Begitu keluar dari ruang pemeriksaan dan memakai baju indah berwarna oranye sebagai yang pertama dikatakan oleh Patrialis di depan wartawan adalah, “Saya dizalimi”. Katanya, dia tidak menerima uang sesen pun dan Pak Basuki yang disangka menyuap dirinya itu bukan orang yang beperkara di MK. Lihatlah ke belakang. Hampir semua orang yang dicokok oleh MK selalu berdalih seperti itu sehingga kalimat “Saya dizalimi, dikriminalisasi, dijadikan korban politik dan sebagainya,” seakan-akan menjadi semacam lafal-lafal baku, hampir sama dengan lafal standar doa iftitah di dalam salat.

Nyatanya pula orang-orang yang di-OTT itu selalu bisa diantar ke penjara oleh KPK. KPK selalu bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga vonis hakim selalu memuat kalimat, “Terbukti secara sah dan meyakinkan.” Pembuktian oleh KPK tidaklah main-main, ia selalu dibangun dengan konstruksi hukum yang kuat sehingga jika terhukum naik banding ke pengadilan tinggi atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, vonisnya selalu dikuatkan, bahkan banyak yang hukumannya dinaikkan.

Saya percaya akbarnya drama Patrialis ini takkan keluar dari pakem yang selama ini sudah baku, yakni, KPK akan mampu membuktikan dakwaannya. Setahun terakhir ini memang mulai banyak orang mempertanyakan profesionalitas, kredibilitas, bahkan independensi KPK sehingga mereka ragu, apakah kasus Patrialis yang akbar ini benar-benar bukan bagian dari permainan politik dan kebal dari intervensi. Tetapi secara umum saya pribadi masih memercayai dan masih sangat berharap kepada KPK untuk tetap menjadi instrumen negara yang perkasa dalam memerangi korupsi.

Dalam kasus Patrialis ini saya percaya KPK tidak sedang memainkan akrobat politik. Pertanyaan wartawan yang lebih jauh adalah bagaimana pola seleksi hakim konstitusi dilakukan. Bagaimana orang seperti Patrialis bisa menjadi hakim MK yang menurut konstitusi mensyaratkan kenegarawanan? Harus diakui, masuknya Patrialis sebagai hakim di MK didahului dengan masalah serius.

Patrialis diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanpa proses transparan dan partisipasi publik sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 19 UU MK . Patrialis diangkat dengan Keppres Nomor 87/P Tahun 2013 dalam satu paket dengan Maria Farida Indrati tanpa seleksi terbuka. Untuk Maria Farida memang tidak ada masalah saat diangkat lagi karena dia sudah pernah mengikuti seleksi terbuka dan lulus dengan baik serta sudah menjadi hakim MK selama lima tahun dengan prestasi yang baik pula.

Tetapi pengangkatan Patrialis memang sangat janggal sehingga banyak yang mencibir dan menentang. Karena pengangkatan Patrialis dirasa sangat tidak fair, maka sekelompok masyarakat melalui, antara lain, YLBHI dan ICW, menggugat Keppres itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Maria, meskipun tak banyak dipersoalkan, menjadi ikut terbawa dalam gugatan itu karena pengangkatannya kembali dijadikan satu Keppres dengan pengangkatan Patrialis Akbar yaitu Keppres Nomor 87/P Tahun 2013.

Ternyata gugatan itu dikabulkan dan PTUN memutus pengangkatan hakim dalam Keppres tersebut tidak sesuai UU MK dan harus dibatalkan. Pada saat itu masyarakat sudah berteriak, saya juga ikut berbicara dan menulis di berbagai media massa, agar Presiden SBY tidak mengajukan banding atas putusan PTUN itu.

Tetapi Presiden SBY tetap mengajukan banding dan bandingnya dimenangkan oleh PTTUN untuk kemudian dimenangkan lagi di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Bisa dipahami jika kemudian muncul gerutuan, “permainan apa dan siapa ini?” Ternyata ujung dari permainan yang bersubjek Patrialis tersebut seperti ini, di-OTT, sehingga menghancurkan harapan rakyat dan merusak pembangunan negara.

Pemerintahan SBY memang tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum atas peristiwa OTT ini karena MA mengukuhkan pengangkatan Patrialis sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya. Sekali lagi, “sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya”, tak lebih.

Tetapi ini tentu menjadi beban dan menuntut tanggung jawab moral bagi pejabat yang dulu memainkannya. Soalnya, apakah pemimpin- pemimpin kita masih mempunyai kepekaan moral? Itulah yang nanti jawabannya bisa bercabang-cabang. []

KORAN SINDO, 29 Januari 2017  
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013

Buya Syafii: Antara Jongos dan Tuan



Antara Jongos dan Tuan
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dulu penjajah Belanda memanggil pelayan atau pesuruh laki-lakinya sebagai jongos. Dalam perkembangan kebahasaan, kemudian sebutan itu juga berlaku untuk kaum perempuan. Tidak ada yang salah bekerja sebagai jongos karena itu merupakan pilihan atau keterpaksaan. Tetapi, yang perlu diwaspadai adalah mentalitas jongos dalam bentuk ABS (asal bapak senang) untuk meraih tujuan duniawi.

Saya baru saja tamat membaca terjemahan karya Sterling Seagrave, Para Pendekar Pesisir, Sepak Terjang Gurita Bisnis Cina Rantau (1999). Saya merasa malu sendiri, mengapa karya penting itu menanti 18 tahun baru sempat dibaca. Itu pun atas kebaikan Dr Jagaddhito Prabukusumo, dosen belia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang menghadiahi saya buku itu sekitar Oktober 2016.

Karya ini tergeletak begitu saja di meja selama hampir empat bulan karena tidak saya hiraukan. Barulah pekan ketiga Januari 2017 karya itu saya lihat dan kemudian dikunyah sampai rampung pagi Ahad, 29 Januari. Karya inilah yang mengilhami judul tulisan ini yang membuat perasaan bergolak, marah, tetapi timbul hasrat yang kuat untuk belajar dari Cina Rantau ini tentang bagaimana menjinakkan uang yang sering liar di tangan gen lain, khususnya umat Islam yang gemar berdemo untuk menyembunyikan kekalahan hampir pada semua lini kehidupan.

Kembali sejenak kepada mentalitas jongos yang sebagian adalah hasil pendidikan Indonesia merdeka yang akarnya dapat ditelusuri sejak ratusan yang silam dalam bentuk kultur feodalisme yang masih berlanjut sampai hari ini. Hampir dapat dipastikan sistem pendidikan Indonesia tidak mendorong peserta didik untuk menjadi tuan di negaranya sendiri, khususnya di dunia bisnis. Saya sendiri, mantan PNS, sampai batas tertentu juga mengalami mentalitas jongos itu saat ingin naik pangkat: harus sedikit berbaik dengan atasan agar prosesnya tidak dihambat, karena semua persyaratan telah dipenuhi.

Mentalitas jongos ini tidak jarang diidap juga oleh sementara menteri. Demi menyenangkan bosnya yang kebetulan jadi presiden, menteri ini sering tidak begitu fokus dalam tugasnya karena mentalitas jongosnya mengarahkannya agar pandai-pandai mengambil hati sang bos. Akibatnya, kementerian yang dipimpinnya menjadi telantar karena pemborosan dana yang kemudian menjadi beban bagi penggantinya. Ini berkali-kali terjadi yang menyebabkan negara sering tertatih-tatih menata birokrasinya yang sampai hari ini belum juga sehat dan bersih.

Mentalitas jongos ini dengan ABS-nya adalah virus jahat yang menjadi perintang untuk maju karena sering berbicara tidak atas dasar fakta yang benar. Tetapi, seorang bos feodal justru menggandrungi virus semacam ini. Perkara bangsa dan negara tidak terurus dengan baik berada di luar perhatian utamanya. Sosok manusia macam ini tidak pernah naik kelas dari posisi politisi menjadi negarawan.

Inilah kekurangan Indonesia sejak menjadi bangsa merdeka tahun 1945. Ada beberapa negarawan yang muncul, tetapi karena terlalu idealis tidak suka bertarung di medan laga. Mereka membiarkan lawan politiknya untuk terus memimpin sekalipun pasti akan membawa kehancuran. Bung Hatta termasuk dalam kategori ini.

Kita lanjutkan karakter Cina perantau. Melalui petualangan panjang, berliku, dan keras, disertai aroma harum dan aroma busuk, mereka mungkin saja jadi jongos. Tetapi tuan dan puan jangan salah hitung. Posisi jongos itu tidak pernah permanen, sebab yang diincarnya adalah posisi tuan, sekali lagi dalam dunia bisnis. Thailand, Filipina, Malaysia, Indonesia, apalagi Singapura sudah tergenggam di tangannya.

Jangan semata salahkan perantau bermata sipit ini. Mengapa kita tidak mau belajar kepada mereka dengan mengambil sisi-sisi harumnya semisal disiplin, kerja keras, solidaritas, dan pantang menyerah? Sekadar berdemo, tanpa kesediaan belajar, hanya akan memperpanjang mentalitas jongos.

Sementara sisi busuk para perantau ini seperti, suka menipu, menyogok, curang, dan kongkalikong dengan penguasa demi uang, jangan ditiru. Sahabat saya, Eddie Lembong, punya teori tentang kultur penyerbukan silang. Intinya, semua suku bangsa ini harus siap untuk saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya positif yang dimiliki masing-masing suku, baik suku pendatang lama maupun pendatang baru.

Dan di atas itu semua, menurut hemat saya, agar kehidupan bangsa ini aman, damai, dan tenteram, kesenjangan sosial-ekonomi yang masih sangat lebar perlu secara sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang dari negara perlu segera diwujudkan. Perintah sila kelima Pancasila sesungguhnya hanya tunggal: jangan biarkan kesenjangan ini menjadi pangkal malapetaka bagi hari depan bangsa ini.

Akhirnya, Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di muka bumi harus menjadi tuan di negeri ini dengan cara membuang jauh-jauh mentalitas jongos yang masih diidap oleh sebagian kita. Jika tidak ada perubahan secara mendasar dalam sikap mental kita, jangan berharap doa panjang akan didengar Tuhan. []

REPUBLIKA, 31 January 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah