Rabu, 30 November 2016

(Do'a of the Day) 30 Shafar 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma khir lii wakhtar lii.

Ya Allah, tunjukkanlah yang baik kepadaku dan pilihkan yang baik untukku.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 5, Bab 1.

Kiai As’ad Baca Ratibul Haddad Sebelum Dicegat Serdadu Jepang



NAPAK TILAS 2016 (1)
Kiai As’ad Baca Ratibul Haddad Sebelum Dicegat Serdadu Jepang

Kisah perjuangan KH As’ad Syamsul Arifin yang sukses “menumpas” serdadu Jepang  di Desa Garahan, Kecamatan Silo,  Jember, Jawa Timur, bukan semata-mata mengandalkan usaha fisik tapi juga doa dan wiridan yang tak putus-putus meluncur dari bibir sang kiai dan para pejuang lainnya.

Hal ini terekam dalam penelusuran tim pencari fakta peringatan “Napak Tilas Nasional 2016, Sejarah Perjuangan Pengusiran Penjajah Jepang di Curah Damar”  yang akan digelar pada 9-10 November 2016.

Alkisah, saat itu Desa Garahan menjadi markas serdadu Jepang untuk Jember bagian timur. Kiai As’ad selaku Komandan Hizbulloh Kawasan Timur Indonesia, berinisiatif untuk mengusir mereka sejauh mungkin. Maka Kiai As’ad dan sejumlah kiai serta petinggi tentara Hizbulloh berkumpul di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Kecamatan Sukowono terkait rencana itu. Dan memang, pesantren yang ketika itu diasuh oleh  Kiai Umar tersebut, sejak lama menjadi markas perjuangan melawan penjajah.

Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Kiai As’ad dan rombongan menuju markas Jepang di Desa Garahan. Desa Garahan sendiri terletak sekitar 45 kilometer ke arah tenggara dari Pondok Pesantren Raudlatul Ulum yang menjadi start gerilya. Mereka berjalan kaki melewati arah selatan. Sampai di Desa Sumberwaru, tepatnya di rumah Kiai Sholeh, sekitar 5 kilometer dari start, Kiai As’ad dan rombongan berhenti. Di situ Kiai  As’ad berembuk, mencari cara yang tepat untuk menghadapi serdadu Jepang.

“Seperti kata Nyai Sholeh, beliaulah yang saat itu selama sekian hari melayani kebutuhan konsumsi Kiai As’ad dan rombongan. Nanaknya dini hari untuk makan setelah rapat dan koordinasi dengan para kiai,” tukas Ketua Panitia Bidang Perlengkapan sekaligus tim pencari fakta Napak Tilas 2016, Ustadz Fauzi kepada NU Online di Jember, Selasa (13/9).

Setelah dirasa cukup berkoordinasi, Kiai As’ad dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Namun sekitar 4 kilometer kemudian, Kiai As’ad dan rombongan kembali berhenti, tepatnya di  Pesantren Sayyidul Ali, Desa Sukorejo, Kecamatan Sukowono. Saat itu pesantren tersebut diasuh oleh KH. Syarkowi. “Di  situ Kiai As’ad hanya satu malam. Beliau dan rombongan membaca rotibul haddad semalam suntuk,” lanjut Ustadz Fauzi yang juga alumni  Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo tersebut.

Keesokan harinya, Kiai As’ad dan rombongan bergerak menuju Desa Garahan. Tapi perjalanan belum begitu jauh, serdadu Jepang sudah menunggu di sungai Kramat. Mereka mencegat Kiai As’ad, hingga pertempuran pun tak bisa dihindari. Atas pertolongan Allah, Kiai As’ad berhasil memaksa mereka lari terbirit-birit, menyelinap dalam kelebatan hutan. []

Bersambung…

(Aryudi A Razaq)

SBY: Pulihkan Kedamaian Dan Persatuan Kita



Pulihkan Kedamaian Dan Persatuan Kita
Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono

ADA dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya. Saya rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita saat ini.

Bangsa Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya amati juga terjadi di seluruh tanah air. Yang semula isunya cukup sederhana dan bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi rumit. Gerakan massa yang mengusung tema  mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu, pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru. Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan krisis?  Menurut saya tidak. Saat ini tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.

Dalam situasi seperti ini, secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk sementara saya menutup komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami semua kena fitnah. Saya masih ingat ketika saya melakukan klarifikasi atas informasi (baca: fitnah) yang sampai ke pusat kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri. Oleh karena itu, melalui wahana inilah saya ingin menyampaikan harapan dan pandangan sederhana saya tentang solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.

Memburuknya situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini, sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif. Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci. Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak  yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit. Karenanya, menurut pandangan saya saat ini prioritasnya adalah  mengembalikan  kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.

Mengalirkan isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya menurut saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horizontal. Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan. Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.

Sementara itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan. Dulu ketika saya mengemban tugas sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan internasional. Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah isu pelanggaran HAM. Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri. Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara ~ apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap rule of law.

Tetapi dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang penjatuhan Presiden Jokowi. Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka. Terus terang saya kurang percaya. Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara makar. Demikian juga, jika ada pihak di lingkar kekuasaan  yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan kekuasaan, apa juga kini gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden, pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.

Memang sekarang ini namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang menjadi korban, termasuk saya. Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan  logika bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa bukan? Semua harus waspada. Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini. Banyak yang berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tapi uang (money power). Saya amat sedih jika menyimak penggunaan bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu. Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling bermusuhan.

Sementara itu, jangan sampai pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan Jenderal.

Berbicara tentang makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi politik. Kalau kita paham konstitusi, seorang Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja. Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.

Saya jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Saya tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. Saya tetap bekerja, dan terus bekerja. Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk memidanakan mereka. Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat dan turunkan SBY" akhirnya cepat berlalu ....

Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar.  Jangan nggege mongso.

Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah  damai, adil dan demokratis. Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.

Mesti diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Dalam keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa absolut". Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.

Saya berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....

Dalam situasi seperti ini, sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kebersamaan kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.

Akhirnya, menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10 tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak .... [***]

RAKYAT MERDEKA, 28 November 2016
Susilo Bambang Yudhoyono | Presiden RI ke-6

BamSoet: Siaga TNI-Polri Jelang 212



Siaga TNI-Polri Jelang 212
Oleh: Bambang Soesatyo

APAKAH NKRI dan Pemerintah RI saat ini sedang menghadapi ancaman yang teramat-sangat serius? Mudah-mudahan saja, suatu hari nanti rakyat akan diberi tahu tentang sosok-sosok petualang politik yang ingin melakukan makar. 

Hingga Sabtu 26 November 20016 pekan lalu, Presiden Joko Widodo bahkan masih mengingatkan urgensi menjaga keberagaman Indonesia. Berbicara kepada komunitas nelayan di Pelabuhan Perikanan Untia, Makassar, Presiden menegaskan, "Saya ingin mengingatkan mengenai keberagaman kita, kemajemukan kita. Bangsa kita ini bermacam-macam, beragam. Sukunya ada 626 dari Sabang sampai Merauke. Bahasa lokal ada 1.100-an, macam-macam. Inilah anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa kita," kata Presiden. 

Praktis sepanjang paruh kedua November 2016, publik dipancing untuk menyimak beberapa kata dan ungkapan yang sebelumnya jarang didengungkan. Antara lain kata makar, keutuhan NKRI, maklumat kapolri, dan maklumat para kapolda, serta ada rencana menguasai Gedung DPR. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di bawah permukaan yang tidak diketahui masyarakat kebanyakan?

Benarkah ada petualang atau avonturir politik yang coba memperkeruh suasana dengan tujuan akhir menggulingkan pemerintahan yang sah? Benarkah ada kekuatan tertentu yang menggalang dan mengerahkan massa untuk menguasai Gedung DPR?

Penguasaan massa atas Gedung DPR dipersepsikan sebagai upaya mengulang skenario 1998 saat mahasiswa menguasai Gedung DPR untuk kemudian memaksakan Sidang Umum MPR. Semua yang  mengemuka akhir-akhir ini adalah persoalan yang sangat serius dan sensitif.

Memang, semua berawal dari pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI. Dalam konferensi pers bersama di Mabes Polri, Jakarta, Senin 21 November 2016, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkap informasi tentang ada rencana "penyusup" pada aksi demo lanjutan 4 November (semula direncanakan 25 November 2016). Para penyusup itu punya agenda tersembunyi, yakni akan menduduki Gedung DPR, Senayan, Jakarta. 

"Info yang kami terima, 25 November ada aksi unjuk rasa. Namun, ada upaya tersembunyi dari beberapa kelompok yang ingin masuk ke dalam DPR, berusaha 'menguasai' DPR," kata Jenderal Tito. Blak-blakan Jenderal Tito juga mengatakan bahwa Polri tahu ada sejumlah pertemuan yang membahas soal rencana menguasai DPR dan menggerakkan massa.

Tak hanya sampai di situ. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga mengaku pihaknya telah dihubungi seorang ulama besar yang menjelaskan ada rencana makar. "Seorang ulama besar mencium ada penggulingan (pemerintahan) dan memberi tahu saya," kata Jenderal Gatot di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Kamis 24 November 2016.

Karena itu, Polri bersama TNI akan menjaga ketat demonstrasi itu jika aksi itu berpotensi pada upaya menggulingkan pemerintahan. Jumlah prajurit TNI-Polri yang diturunkan akan lebih banyak dari aksi sebelumnya. Termasuk mengatur strategi jika berujung pada makar. "Kalau itu bermaksud menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah, termasuk pasal makar," ujar Jenderal Tito.

Agar keadaan tidak semakin memburuk, Kapolri Jenderal Tito terpaksa mengeluarkan maklumat yang berisi ketentuan untuk demo 2 Desember 2016. Dalam maklumat itu, Polri tidak mengizinkan aksi gelar sajadah di Jakarta maupun di daerah pada Jumat, 2 Desember 2016. Bagi Polri, meski kebebasan mengemukakan pendapat diatur dalam undang-undang, itu tidak absolut.

Menurut Jenderal Tito, aksi Bela Islam III yang akan menggelar sajadah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga MH Thamrin akan mengganggu hak orang lain di jalan protokol tersebut. "Maka itu, kami akan melarang kegiatan itu," tegas Jenderal Tito.

Jika aksi itu tetap dilaksanakan, akan dibubarkan paksa. Bila ada perlawanan dari massa, bahkan akan dikenakan Pasal 108 KUHP yang ancaman hukumannya lima tahun penjara. Maklumat itu kemudian ditindaklanjuti oleh sejumlah kapolda, termasuk Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan. 

Sedangkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan jajarannya bersama Polri siap menghadapi upaya makar yang diduga disusupkan dalam aksi 2 Desember 2016. Prajurit TNI sudah disiagakan menangkal upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah.

"Saya sudah menyiapkan para Pangkotama (Panglima Komando Utama) menyiapkan prajurit untuk dilatih, disiapkan yang sehat. Untuk diketahui masyarakat NKRI bahwa prajurit TNI sejak dia masuk, dididik, disumpah. Para prajurit saya sudah memenuhi syarat-syarat dari agama apa pun yang dianut untuk melakukan jihad. Saya peringatkan, prajurit saya bukan penakut," tegas Jenderal Gatot dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta.

Petualang Politik 

Polri dan TNI kemudian sibuk menyiagakan prajurit. Pada Sabtu (19/11) misalnya empat satuan setingkat kompi (SSK) Brigade Mobil Kepolisian Daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dikirim ke Jakarta. Satuan dengan jumlah personel 400 prajurit itu dikerahkan untuk membantu pengamanan di Jakarta. 

Apa yang bisa dimaknai dari pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI tentang makar serta peningkatan kesiagaan prajurit Polri dan TNI di sejumlah daerah?

Sesungguhnya, baik Kapolri maupun Panglima TNI ingin mengatakan atau menjelaskan kepada semua elemen masyarakat bahwa ada petualang atau avonturir politik yang ingin menunggangi aksi umat menyuarakan aspirasi atas proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Seperti diketahui, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) berencana menggelar aksi Bela Islam III yang semula dijadwalkan 25 November, kemudian digeser ke 2 Desember 2016.

Warning dari Panglima TNI dan Kapolri itu sebaiknya tidak dianggap remeh atau disederhanakan. Harus dipahami bahwa dalam merespons setiap ancaman, baik TNI maupun Polri memiliki pola pendekatan yang berbeda dengan asumsi atau persepsi masyarakat sipil.

Polri dan TNI diwajibkan untuk tidak menoleransi ancaman sekecil apa pun. TNI dan Polri bahkan akan dipersalahkan jika menyederhanakan setiap ancaman yang dapat merusak stabilitas keamanan atau mengganggu ketertiban umum.

Dengan begitu, ketika Kapolri dan Panglima TNI mengemukakan ada agenda makar, pijakan dari pernyataan bersama itu pastilah informasi intelijen. Masyarakat sipil boleh saja menyederhanakan informasi intelijen. Tetapi, Panglima TNI, Kapolri, bahkan Presiden sekali pun, harus memercayai informasi intelijen sebab baik komunitas intelijen dari Badan  Intelijen Negara (BIN), Polri, maupun komunitas intelijen TNI adalah mata dan telinga negara. 

Karena itu, sah adanya ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo percaya bahwa Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian tidak asal bicara soal ada upaya makar. Jenderal Gatot yakin bahwa pernyataan Kapolri itu sudah berbasiskan data dan informasi yang akurat. Ada kemungkinan pergerakan massa dalam jumlah besar pada demonstrasi di Jakarta akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk membuat kondisi keamanan Indonesia bergejolak.

TNI dan Polri tentu saja belajar dari ricuh skala kecil yang terjadi setelah aksi damai 4 November. Ricuh serupa, apalagi dalam skala yang lebih besar, tentu saja tidak bisa dibiarkan terjadi lagi. Maka, wajar jika Polri dan TNI menjadi lebih proaktif dalam mengelola keamanan terkait rencana aksi Bela Islam III itu.

Sisi positif dari kesiagaan Polri dan TNI itu adalah mencegah terjadi hal yang lebih buruk. Tidak satu pun komponen masyarakat yang ingin melihat kondusivitas dirusak oleh para petualang politik.

Hak masyarakat untuk mengawal proses hukum kasus Ahok harus dihormati. Karena itu, aksi Bela Islam III tidak dilarang. Sebaliknya, Polri dan TNI justru ingin melindungi dengan memberi pengawalan ketat atas aksi itu.

Namun, karena aksi damai Bela Islam III itu berpotensi disusupi oleh para petualang politik untuk merusak stabilitas pemerintahan, menjadi kewajiban TNI dan Polri mencegahnya. Kesiagaan TNI dan Polri saat ini merupakan respons terhadap para petualang politik yang coba-coba menunggangi aksi damai Bela Islam III.

Publik pasti penasaran dan ingin tahu siapa saja yang ingin menunggangi aksi damai itu. Maka, pada saatnya nanti, Polri diharapkan mau mengungkap identitas para pihak yang ingin melakukan makar itu.

Pada akhirnya pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI tentang ada upaya makar dengan menunggangi rencana aksi damai 2 Desember (212) tentu harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Terutama karena pernyataan itu agak sensitif dalam konteks perpolitikan nasional. []

KORAN SINDO, 29 November 2016
Bambang Soesatyo  | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar