Jumat, 29 April 2016

(Do'a of the Day) 21 Rajab 1437H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma laka sajadtu wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhiya lil ladzii khalaqahuu wa shawwarahuu wa syaqqa sam'ahuu wa basharahuu tabaarakallaahu ahsanul khaaliqiina.

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku beriman, dan karena-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Yang menciptakan, membentuk rupa dan Yang membuka pendengaran serta penglihatan, Maha Suci Allah, Dialah sebaik-baik pencipta.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 40.

(Khotbah of the Day) Di Balik Makna Insya Allah yang Sering Disalahpahami



KHUTBAH JUM'AT
Di Balik Makna Insya Allah yang Sering Disalahpahami

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ مَنْ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ بِصِدْقِ نِيَّةٍ كَفَاهُ وَمَنْ تَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِاتِّبَاعِ شَرِيْعَتِهِ قَرَّبَهُ وَأَدْنَاهُ وَمَنِ اسْتَنْصَرَهُ عَلَى أَعْدَائِهِ وَحَسَدَتِهِ نَصَرَهُ وَتَوَلاَّهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ حَافَظَ دِيْنَهُ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ . أَمَّا بَعْدُ. قال الله تعالى:  فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا الله كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Jamaah Jum’ah yang semoga dimuliakan Allah,

Kata “insyaallah” begitu populer bagi masyarakat Muslim di Tanah Air. Tak hanya dalam percakapan sehari-hari, salah satu kalimat thayyibah ini juga sangat sering kita dengar di media massa terutama tayangan televisi. Meski begitu, seperti biasa, kata ini sering diterima dan dipakai begitu saja tanpa menyesuaikan makna dan penggunaan yang seharusnya.

Kata “insyallah” kerap diucapkan untuk janji yang potensial dilanggar, komitmen yang tidak teguh, atau harapan yang tidak pasti. Meski lebih sering kita jumpai, bukan berarti semua itu tepat. Orang menyebutnya salah kaprah alias kekeliruan yang sudah menjadi kebiasaan.

Al-Qur’an Surat al-Kahfi ayat 23-24 mengatakan:

وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا . إِلّا أَنْ يَشَاءَ الله

“Dan janganlah engkau mengatakan tentang sesuatu, ‘Aku akan melakukannya besok.’ Kecuali jika Allah menghendaki atau mengucapkan insyaallah.”

Dengan demikian, mengucapkan kata insyaallah sesungguhnya bersumber dari perintah Al-Qur’an. Secara literal ia berarti “jika Allah menghendaki”. Ayat ini mengandung pendidikan bagi pengucapnya tentang pentingnya rendah hati. Tidak terlalu mengandalkan kemampuan pribadi karena ada kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya.

Mengucapkan insyaallah juga bentuk keinsafan bahwa di balik segala perinstiwa ada Sang Penentu. Tak selalu apa yang kita inginkan terwujud. Seluruhnya bersifat tidak pasti, dan justru karena itulah manusia dituntut berikhtiar. Kata “insyallah” merupakan wujud pengakuan atas kelemahan diri di hadapan Allah sembari bekerja keras karena proses yang ditempuhnya belum menemukan kepastian hasil.

Manusia memang dilarang memastikan perbuatan yang masih dalam rencana, karena yang demikian termasuk cermin keangkuhan. Manusia tidak mungkin mengandalkan secara mutlak dirinya sendiri. Sebagai makhluk, ia membutuhkan Sang Khaliq. Seberapapun besar jerih payah seseorang, tetaplah ia sebatas pada level ikhtiar.

Allah telah menganugerahi manusia nurani, akal, tenaga, dan segenap kemampuan lainnya. Semua itu merupakan modal sekaligus tanggung jawab untuk dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Islam mengajarkan umatnya untuk berusaha, menyusun rencana, dan mempersiapkan diri. Selebihnya adalah tawakal atau kepasrahan total atas kehendak Allah.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’du: 11)

Ayat lain menyebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap pribadi memerhatikan apa yang dia persiapkan untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Hasyr: 18)

Tawakal adalah sikap yang muncul dari kesadaran manusia atas dirinya yang dla‘îf di hadapan Rabb. Menggantungkan keputusan final kepada Sang Pencipta selepas daya upaya dikerahkan secara maksimal. Sikap inilah yang membuatnya selalu merasa penting untuk berdoa, memohon pertolongan dan petunjuk sehingga kehendak yang dirumuskannya diridlai dan dikabulkan Allah subhânahu wata‘âla. Dan bilapun tak terkabul, juga tak lantas menyesali diri sendiri karena sejak awal memang sudah memasrahkan hasil bukan kepada diri sendiri.

Jamaah Jum’ah yang semoga dimuliakan Allah,

Dengan demikian, kita bias menarik sebuah kesimpulan ringkas, bahwa insyaallah bukan ucapan basa-basi atau tempat berlindung dari ketidakteguhan janji. Insyaallah mengandung pendidikan tentang sikap tawaduk. Penghayatan kepada makna hakiki insyaallah juga membawa manusia pada puncak kesadaran tauhid: hanya Allah tempat bergantung segala sesuatu. Insyaallah juga mengandaikan seseorang untuk mempercayai adanya takdir dan irâdah Allah. Semoga kita senantiasa diberi petunjuk pada setiap ucapan dan tingkah, agar istiqamah di jalan yang benar, yang diridlai Allah.


Khotbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Sumber: NU Online

Debat Teologi KH Wahab Chasbullah dengan Gubernur Hindia Belanda



Debat Teologi KH Wahab Chasbullah dengan Gubernur Hindia Belanda


Dalam suatu kesempatan diplomasi antara Van der Plas (Gubernur Hindia Belanda untuk wilayah Jawa Timur sebelum Jepang mengalahkan Belanda tahun 1942) dengan KH A Wahab Chasbullah, diceritakan sebelum masuk ke pembicaraan inti, Van der Plas terlebih dahulu hendak menguji kecakapan Kiai Wahab Chasbullah dalam bidang teologi. 

Ia mengajukan satu pertanyaan  dan lewat pertanyaan ini ia menduga Kiai Wahab akan terperangkap pada pertanyaan pembuka tersebut.

“Kiai, menurut Kiai lebih enak dan nyaman mana antara bernaung di bawah pohon hidup dengan bernaung di bawah pohon yang mati,” tanya Van der Plas.

Demi mendengar pertanyaan di atas, Kiai Wabab langsung paham, bahwa yang dimaksud dengan “pohon mati” dan “pohon hidup” dalam kalimat pertanyaan tersebut bukanlah arti harfiah atau makna hakiki yang dikehendaki Van der Plas, melainkan arti majazi, ada makna tersirat dalam kalimat tersebut yang sengaja disajikan secara implisit untuk menjebaknya di awal pembicaraan.

Kiai Wahab Chasbullah sebagai Kiai yang sekian lama nyantri di banyak pesantren termasuk berguru ilmu alat kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, pastilah beliau telah matang dalam menguasai ilmu mantiq (logika Aristoteles) dan balaghoh (susastra arab) sehingga tidak sulit bagi Kiai Wahab memahami esensi yang terkandung di balik kalimat pertanyaan tersebut.

Kiai Wahab dengan cepat mampu menafsirkan bahwa “pohon hidup” yang dikehendaki Van der Plas ialah Nabi Isa yang masih hidup sampai kini di langit. Hal ini sebagai representasi agama Kristen agamanaya pemerintah Hindia Belanda, dan “pohon mati” diinterpretasikan dengan Nabi Muhammad yang sudah wafat sebagai representasi agama Islam, agamanya mayoritas orang pribumi Nusantara.

“Saya lebih memilih beteteduh di pohon mati,” jawab Kiai Wahab mantap.

Mendengar jawaban Kiai Wahab, Van der Plas kaget, tak mengira sebelumnya bila Kiai Wahab akan menjawab demikian.

“Bagaimana bisa Kiai memilih berteduh di bawah pohon mati, apa argumentasinya?”

“Sejam saja saya berada di bawah pohon hidup di waktu malam sudah begitu tersiksa, ada gigitan nyamuk, hawa dingin, suasana senyap, semua itu membuat saya tidak tahan. Tapi tiap malam saya berteduh di pohon mati justru begitu nikmat dan nyamannya. Lihat dalam gedung ini, itu reng-reng di atas, balok-balok,  bukankah itu semua pohon mati,” jawab Kiai Wahab begitu taktisnya.

Fragmen cerita perdebatan di atas beberapa kali penulis dengar dari cerita almagfurlah KH Abdul Aziz Mansyur, Pengasuh Pondok Pesantren Pacul Gowang Jombang dan Pimpinan Badan Pembina dan Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L) dalam beberapa kesempatan ceramahnya. 

Meskipun belum ditemukan dalam literatur tertentu atau buku sejarah, tapi setidaknya fragmen seperti ini dapat kita golongkan sebagai sejarah lisan munurut Kuntowijoyo. Pasti almarhum KH Abdul Aziz Mansur yang wafat pada akhir tahun lalu punya referensi. Setidaknya pernah mendapat tuturan cerita di atas dari orang tua terdahulu yang menjumpai langsung zaman kolonialisme Belanda. []

(M Haromain)

Gus Sholah: Pancasila, Antara Cita dan Fakta (Bagian 1)



Pancasila, Antara Cita dan Fakta (Bagian 1)
Oleh: Salahuddin Wahid

Pada 1 Juni 1945, para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyimak dengan saksama pidato Bung Karno tentang dasar negara yang kemudian dinamakan Pancasila. Pidato itu luar biasa isinya, dan kemampuan berpidato Bung Karno amat memukau, terdengar tepuk tangan dan sorak-sorai berkali-kali.

Susunan Pancasila yang disampaikan Bung Karno adalah Kebangsaan Indonesia, Perikemanusiaan, Persatuan, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Ternyata, pembahasan usulan Pancasila dari Bung Karno perlu waktu panjang dan terjadi perdebatan seru di antara kelompok nasionalis Pancasila dan nasionalis Islam.

Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menyetujui Piagam Jakarta yang berisi Pembukaan UUD, di mana terkandung Pancasila sebagai dasar negara yang susunannya adalah: 1. Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Para Pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Bung Karno meminta supaya dalam Sidang Pleno BPUPKI, kelompok nasionalis Pancasila menerima Piagam Jakarta. Menjelang peresmian UUD oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, muncul penolakan rumusan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Menghadapi penolakan pada saat-saat akhir, para tokoh Islam yang merumuskan sila pertama itu dengan sikap negarawan yang bijak menyetujui perubahan sila pertama menjadi Ketuhananan Yang Maha Esa.

Partai-partai Islam di dalam sidang Konstituante (1956-1959) memperjuangkan kembali dasar negara Islam, tetapi kalah dalam pemungutan suara; 46,7 persen untuk partai Islam dan 53,3 persen untuk partai-partai pendukung Pancasila. Kebuntuan politik dalam Konstituante diselesaikan oleh Bung Karno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.

Pada Desember 1984, organisasi NU dalam Muktamar ke-27 menyatakan, NU mendukung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan juga dasar organisasi NU. Sikap ini diikuti hampir semua ormas Islam.

Setelah itu, terjadi perubahan mendasar pada sikap banyak tokoh dan ilmuwan Islam tentang hubungan Islam dan negara. Saya bisa membayangkan akan sering timbul jurang perbedaan lebar antara tokoh dan kelompok Islam dengan kelompok yang pendapatnya bertentangan seperti saat membahas UU Pornografi atau LGBT, tentang ajaran Syiah dan Ahmadiyah, munculnya Ahok sebagai calon gubernur, seandainya sila pertama kita masih mengikuti rumusan Piagam Jakarta.

Potensi masalah, misalnya, dalam izin mendirikan rumah ibadah diperparah dengan kegamangan pihak Polri untuk menjalankan tugasnya saat menghadapi kerumunan manusia dalam jumlah besar.

Setelah 1998, PDI Perjuangan mengajukan usul supaya 1 Juni dijadikan Hari Lahir Pancasila. Sebaliknya, sejumlah tokoh Islam menyatakan bahwa 18 Agustus adalah tanggal yang tepat untuk hari lahir Pancasila. Terkadang menarik untuk melihat fakta bahwa kita mampu menyelesaikan perbedaan substansial tentang Pancasila, tetapi kita tidak selalu mampu menyelesaikan masalah yang tidak terlalu mendasar seperti hari lahir Pancasila.

Saya ingin mengusulkan penetapan 1 Juni menjadi Hari Lahir Pancasila dan sekaligus menetapkan 18 Agustus menjadi hari resmi berlakunya Pancasila sebagai dasar negara.

Hak asasi manusia

Sejumlah anggota BPUPKI termasuk Bung Karno menentang dimasukkannya sebanyak mungkin prinsip HAM ke dalam batang tubuh UUD 1945. Saya menyambut baik dimasukkannya prinsip HAM ke Pasal 28 huruf A sampai huruf J. Itu adalah perincian dari sila kedua dan sila kelima.

Yang lebih menarik adalah munculnya Pasal 28 huruf J yang menjadi pembeda antara HAM Indonesia dari HAM universal, diharapkan menjadi titik temu antara HAM dan nilai Islam. Bagi aktivis HAM, Pasal 28 huruf J menjadi semacam duri dalam daging masalah HAM di Indonesia.

Tentu, perikemanusiaan yang adil dan beradab hendaklah sejalan dengan prinsip HAM dan nilai-nilai kemanusiaan yang suci. Di UU HAM dan Pasal 28 UUD hasil amendemen, pemerintah harus menjamin pemajuan dan pelaksanaan hak sipil dan politik serta hak ekonomi sosial dan budaya.

Itu berarti kita harus menghormati kehidupan bagi tiap warga dan hak untuk hidup, hak untuk mendapat perlakuan hukum yang tidak berbeda dengan orang lain. Selain itu, menjamin terpenuhinya hak mendapat pelajaran pendidikan yang baik, hak mendapat pelayanan kesehatan, hak menyampaikan pikiran secara terbuka, hak memeluk agama yang diyakini, dan juga hak untuk ibadah.

Di negara maju sudah diakui hak untuk perumahan dan hak mendapat pelayanan pengangkutan publik yang aman dan terjangkau. Rakyat juga berhak mendapat pelayanan atas perlindungan terhadap rasa aman, hak mendapat perlindungan keamanan. Anak-anak juga berhak atas perlindungan rasa aman.

Sekian banyak hak rakyat yang harus dijamin pemenuhan haknya oleh pemerintah itu ternyata belum banyak diberikan. Yang sudah mulai dinikmati masyarakat secara meluas ialah hak atas pelayanan kesehatan yang dikelola BPJS.

Memang harus diakui pelayanan oleh rumah sakit dan BPJS masih perlu diperbaiki, jumlah rumah sakit dan tenaga medis mesti perlu ditambah dan ditingkatkan mutunya. Kita berharap perbaikan berarti bisa dilakukan dalam waktu beberapa tahun ke depan. Pelayanan pendidikan dasar/menengah masih belum bisa banyak dilakukan pemerintah.

Yang terbanyak hanya SD (lebih dari 90 persen). SMP dan SMA hanya sekitar 50 persen. Untuk MI, MTs, dan MA, pemerintah hanya bisa membiayai sekitar sembilan persen. Pemerintah belum mampu memberi pelatihan untuk peningkatan mutu guru (sekitar 30 persen dari sekitar tiga juta guru adalah guru swasta).

Hak hidup, antara lain, mencakup kemampuan memenuhi makanan sesuai kadar gizi. Menurut laporan World Nutrition Report 2014, di Indonesia masih terdapat lima persen penduduk bergizi buruk dan 15 persen bergizi rendah. Diperkirakan, penduduk di bawah tiga tahun sekitar 23 juta-24 juta.

Jadi, sekitar 1,2 juta anak batita bergizi buruk. Kalau sejak lahir sampai usia lima tahun si anak bergizi buruk, dia akan berbadan kontet dan berotak kosong. Berarti, mereka akan menjadi generasi hilang.

Unit Gizi Pusat Kesehatan Pesantren Tebuireng mencoba mencari penderita gizi buruk di Dusun Tebuireng. Alhamdulillah jumlahnya jauh di bawah angka lima persen. Tetapi, data menunjukkan, sekitar 37 persen anak-anak punya prevalensi menderita stunting (kontet) yang punya kaitan erat dengan kekurangan gizi.

Pemerintah menyadari betul bahwa masalah gizi buruk dan gizi kurang adalah tanggung jawab pemerintah sehingga diadakan program raskin. Sayang sekali program seperti itu pun masih dikorupsi.

Karena diletakkan pada urutan terakhir, sila Keadilan Sosial bagi kebanyakan rakyat Indonesia, termasuk oleh pemerintah, dianggap kurang penting. Bagi saya, justru itu adalah sila terpenting. Kalau sila Keadilan Sosial terwujud, akan membantu terwujudnya sila lainnya.

Tidak sulit untuk mengetahui bahwa keadilan sosial selama ini terabaikan. Rasio gini kita yang pada era Orde Baru masih pada angka 30-an, kini sudah hampir mencapai angka 45. Penguasaan aset oleh satu persen rakyat Indonesia melebihi kondisi di Amerika Serikat.

Koefisien angka kemiskinan rakyat bukanlah koefisien yang dipakai Bank Dunia. Kalau standar Bank Dunia yang dipakai (dua dolar AS/orang/hari atau Rp 3 juta/keluarga/bulan), jumlah angka kemiskinan kita melonjak menjadi 3-4 kali, mendekati 50 persen, tidak sekitar 12 persen seperti yang dikatakan pemerintah.

Persatuan Indonesia

Persatuan Indonesia mengalami banyak tantangan. Pada 1948, PKI memberontak, tapi dapat digagalkan dalam belasan hari. PRRI dan Permesta berontak pada 1957. PKI kembali berontak pada 1965.

DI/TII beraksi di berbagai tempat, mulai di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, sejak 1949 hingga 2005 di Aceh (GAM). Kelompok separatis lain yang hingga kini masih bertahan ialah OPM di Papua dan RMS di Maluku.

Pemerintah Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan keamanan dalam menjaga persatuan sehingga terjadi pelanggaran HAM, terutama di Aceh dan Papua. Seharusnya pendekatan kesejahteraan yang diutamakan. Keragaman dinafikan dan yang lebih dikedepankan keseragaman. Pemaknaan kesatuan RI lebih bersifat kesatuan wilayah, bukan kesatuan nasib dan cita-cita.

Kelompok separatis yang muncul pasca-Orde Baru adalah yang menggunakan strategi terorisme menyerang sasaran sipil. Mereka tidak memahami ajaran Islam dengan benar dan juga tidak mengetahui sejarah Indonesia dengan baik.

Sebagian sudah berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Pemerintah seharusnya menganggap mereka telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Menurut survei, mereka yang condong ke ISIS cukup besar, sekitar tiga persen. Harus ada upaya untuk mengenali mereka dan memberi pemahaman Islam yang benar.

Kelompok lain ialah yang memperjuangkan negara berdasar Islam dan kelompok yang memperjuangkan khilafah Islamiyah, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut mereka, Pancasila sebagai dasar negara NKRI telah gagal memberi kesejahteraan kepada rakyat. Pemahaman yang salah ini mudah diterima sebagian masyarakat. Oleh karena itu, mereka harus diberikan pemahaman yang benar untuk memperbaiki kesalahpahaman itu. []

REPUBLIKA, 27 April 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng