Pancasila,
Antara Cita dan Fakta (Bagian 1)
Oleh:
Salahuddin Wahid
Pada 1
Juni 1945, para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) menyimak dengan saksama pidato Bung Karno tentang dasar negara yang
kemudian dinamakan Pancasila. Pidato itu luar biasa isinya, dan kemampuan
berpidato Bung Karno amat memukau, terdengar tepuk tangan dan sorak-sorai
berkali-kali.
Susunan Pancasila yang disampaikan Bung Karno adalah
Kebangsaan Indonesia, Perikemanusiaan, Persatuan, Keadilan Sosial, dan
Ketuhanan. Ternyata, pembahasan usulan Pancasila dari Bung Karno perlu waktu
panjang dan terjadi perdebatan seru di antara kelompok nasionalis Pancasila dan
nasionalis Islam.
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menyetujui Piagam
Jakarta yang berisi Pembukaan UUD, di mana terkandung Pancasila sebagai dasar
negara yang susunannya adalah: 1. Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan
Syariat Islam bagi Para Pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3.
Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan
Permusyawaratan Perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Bung Karno meminta supaya dalam Sidang Pleno BPUPKI,
kelompok nasionalis Pancasila menerima Piagam Jakarta. Menjelang peresmian UUD
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945,
muncul penolakan rumusan sila pertama Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan
Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Menghadapi penolakan pada saat-saat
akhir, para tokoh Islam yang merumuskan sila pertama itu dengan sikap negarawan
yang bijak menyetujui perubahan sila pertama menjadi Ketuhananan Yang Maha Esa.
Partai-partai Islam di dalam sidang Konstituante
(1956-1959) memperjuangkan kembali dasar negara Islam, tetapi kalah dalam
pemungutan suara; 46,7 persen untuk partai Islam dan 53,3 persen untuk
partai-partai pendukung Pancasila. Kebuntuan politik dalam Konstituante
diselesaikan oleh Bung Karno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang memberlakukan kembali UUD 1945.
Pada Desember 1984, organisasi NU dalam Muktamar
ke-27 menyatakan, NU mendukung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan
juga dasar organisasi NU. Sikap ini diikuti hampir semua ormas Islam.
Setelah itu, terjadi perubahan mendasar pada sikap
banyak tokoh dan ilmuwan Islam tentang hubungan Islam dan negara. Saya bisa
membayangkan akan sering timbul jurang perbedaan lebar antara tokoh dan
kelompok Islam dengan kelompok yang pendapatnya bertentangan seperti saat
membahas UU Pornografi atau LGBT, tentang ajaran Syiah dan Ahmadiyah, munculnya
Ahok sebagai calon gubernur, seandainya sila pertama kita masih mengikuti
rumusan Piagam Jakarta.
Potensi masalah, misalnya, dalam izin mendirikan
rumah ibadah diperparah dengan kegamangan pihak Polri untuk menjalankan
tugasnya saat menghadapi kerumunan manusia dalam jumlah besar.
Setelah 1998, PDI Perjuangan mengajukan usul supaya 1
Juni dijadikan Hari Lahir Pancasila. Sebaliknya, sejumlah tokoh Islam
menyatakan bahwa 18 Agustus adalah tanggal yang tepat untuk hari lahir
Pancasila. Terkadang menarik untuk melihat fakta bahwa kita mampu menyelesaikan
perbedaan substansial tentang Pancasila, tetapi kita tidak selalu mampu
menyelesaikan masalah yang tidak terlalu mendasar seperti hari lahir Pancasila.
Saya ingin mengusulkan penetapan 1 Juni menjadi Hari
Lahir Pancasila dan sekaligus menetapkan 18 Agustus menjadi hari resmi
berlakunya Pancasila sebagai dasar negara.
Hak asasi manusia
Sejumlah anggota BPUPKI termasuk Bung Karno menentang
dimasukkannya sebanyak mungkin prinsip HAM ke dalam batang tubuh UUD 1945. Saya
menyambut baik dimasukkannya prinsip HAM ke Pasal 28 huruf A sampai huruf J.
Itu adalah perincian dari sila kedua dan sila kelima.
Yang lebih menarik adalah munculnya Pasal 28 huruf J
yang menjadi pembeda antara HAM Indonesia dari HAM universal, diharapkan
menjadi titik temu antara HAM dan nilai Islam. Bagi aktivis HAM, Pasal 28 huruf
J menjadi semacam duri dalam daging masalah HAM di Indonesia.
Tentu, perikemanusiaan yang adil dan beradab hendaklah
sejalan dengan prinsip HAM dan nilai-nilai kemanusiaan yang suci. Di UU HAM dan
Pasal 28 UUD hasil amendemen, pemerintah harus menjamin pemajuan dan
pelaksanaan hak sipil dan politik serta hak ekonomi sosial dan budaya.
Itu berarti kita harus menghormati kehidupan bagi
tiap warga dan hak untuk hidup, hak untuk mendapat perlakuan hukum yang tidak
berbeda dengan orang lain. Selain itu, menjamin terpenuhinya hak mendapat
pelajaran pendidikan yang baik, hak mendapat pelayanan kesehatan, hak menyampaikan
pikiran secara terbuka, hak memeluk agama yang diyakini, dan juga hak untuk
ibadah.
Di negara maju sudah diakui hak untuk perumahan dan
hak mendapat pelayanan pengangkutan publik yang aman dan terjangkau. Rakyat
juga berhak mendapat pelayanan atas perlindungan terhadap rasa aman, hak
mendapat perlindungan keamanan. Anak-anak juga berhak atas perlindungan rasa
aman.
Sekian banyak hak rakyat yang harus dijamin pemenuhan
haknya oleh pemerintah itu ternyata belum banyak diberikan. Yang sudah mulai
dinikmati masyarakat secara meluas ialah hak atas pelayanan kesehatan yang
dikelola BPJS.
Memang harus diakui pelayanan oleh rumah sakit dan
BPJS masih perlu diperbaiki, jumlah rumah sakit dan tenaga medis mesti perlu
ditambah dan ditingkatkan mutunya. Kita berharap perbaikan berarti bisa
dilakukan dalam waktu beberapa tahun ke depan. Pelayanan pendidikan
dasar/menengah masih belum bisa banyak dilakukan pemerintah.
Yang terbanyak hanya SD (lebih dari 90 persen). SMP
dan SMA hanya sekitar 50 persen. Untuk MI, MTs, dan MA, pemerintah hanya bisa
membiayai sekitar sembilan persen. Pemerintah belum mampu memberi pelatihan
untuk peningkatan mutu guru (sekitar 30 persen dari sekitar tiga juta guru
adalah guru swasta).
Hak hidup, antara lain, mencakup kemampuan memenuhi makanan
sesuai kadar gizi. Menurut laporan World Nutrition Report 2014, di Indonesia
masih terdapat lima persen penduduk bergizi buruk dan 15 persen bergizi rendah.
Diperkirakan, penduduk di bawah tiga tahun sekitar 23 juta-24 juta.
Jadi, sekitar 1,2 juta anak batita bergizi buruk.
Kalau sejak lahir sampai usia lima tahun si anak bergizi buruk, dia akan
berbadan kontet dan berotak kosong. Berarti, mereka akan menjadi generasi
hilang.
Unit Gizi Pusat Kesehatan Pesantren Tebuireng mencoba
mencari penderita gizi buruk di Dusun Tebuireng. Alhamdulillah jumlahnya jauh
di bawah angka lima persen. Tetapi, data menunjukkan, sekitar 37 persen
anak-anak punya prevalensi menderita stunting (kontet) yang punya kaitan erat
dengan kekurangan gizi.
Pemerintah menyadari betul bahwa masalah gizi buruk
dan gizi kurang adalah tanggung jawab pemerintah sehingga diadakan program
raskin. Sayang sekali program seperti itu pun masih dikorupsi.
Karena diletakkan pada urutan terakhir, sila Keadilan Sosial bagi kebanyakan
rakyat Indonesia, termasuk oleh pemerintah, dianggap kurang penting. Bagi saya,
justru itu adalah sila terpenting. Kalau sila Keadilan Sosial terwujud, akan
membantu terwujudnya sila lainnya.
Tidak sulit untuk mengetahui bahwa keadilan sosial
selama ini terabaikan. Rasio gini kita yang pada era Orde Baru masih pada angka
30-an, kini sudah hampir mencapai angka 45. Penguasaan aset oleh satu persen
rakyat Indonesia melebihi kondisi di Amerika Serikat.
Koefisien angka kemiskinan rakyat bukanlah koefisien
yang dipakai Bank Dunia. Kalau standar Bank Dunia yang dipakai (dua dolar
AS/orang/hari atau Rp 3 juta/keluarga/bulan), jumlah angka kemiskinan kita
melonjak menjadi 3-4 kali, mendekati 50 persen, tidak sekitar 12 persen seperti
yang dikatakan pemerintah.
Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia mengalami banyak tantangan. Pada
1948, PKI memberontak, tapi dapat digagalkan dalam belasan hari. PRRI dan
Permesta berontak pada 1957. PKI kembali berontak pada 1965.
DI/TII beraksi di berbagai tempat, mulai di Jawa
Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, sejak 1949 hingga 2005 di Aceh (GAM). Kelompok
separatis lain yang hingga kini masih bertahan ialah OPM di Papua dan RMS di
Maluku.
Pemerintah Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan
keamanan dalam menjaga persatuan sehingga terjadi pelanggaran HAM, terutama di
Aceh dan Papua. Seharusnya pendekatan kesejahteraan yang diutamakan. Keragaman
dinafikan dan yang lebih dikedepankan keseragaman. Pemaknaan kesatuan RI lebih
bersifat kesatuan wilayah, bukan kesatuan nasib dan cita-cita.
Kelompok separatis yang muncul pasca-Orde Baru adalah
yang menggunakan strategi terorisme menyerang sasaran sipil. Mereka tidak
memahami ajaran Islam dengan benar dan juga tidak mengetahui sejarah Indonesia
dengan baik.
Sebagian sudah berangkat ke Suriah untuk bergabung
dengan ISIS. Pemerintah seharusnya menganggap mereka telah melepaskan
kewarganegaraan Indonesia. Menurut survei, mereka yang condong ke ISIS cukup
besar, sekitar tiga persen. Harus ada upaya untuk mengenali mereka dan memberi
pemahaman Islam yang benar.
Kelompok lain ialah yang memperjuangkan negara
berdasar Islam dan kelompok yang memperjuangkan khilafah Islamiyah, yaitu
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut mereka, Pancasila sebagai dasar negara
NKRI telah gagal memberi kesejahteraan kepada rakyat. Pemahaman yang salah ini
mudah diterima sebagian masyarakat. Oleh karena itu, mereka harus diberikan
pemahaman yang benar untuk memperbaiki kesalahpahaman itu. []
REPUBLIKA,
27 April 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng