Geger
Advokat
Oleh: Moh
Mahfud MD
Kita
masing-masing pasti pernah melihat ambiguitas sikap banyak advokat. Suatu saat,
ketika menangani kasus tertentu, ada advokat yang membela Polri dan memujinya
sebagai lembaga penegak hukum yang bagus.
Tapi tak
lama setelah itu, setelah menangani kasus lain, dia menyerang Polri sebagai
lembaga yang tidak profesional dan sewenang-wenang. Ada lagi advokat yang dalam
debat di televisi menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
perekayasa kasus, tetapi pada saat lain dan dalam kasus lain advokat yang sama
memuji KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang paling dipercaya..
Ada lagi
advokat yang membela Fulan dalam kasus korupsi di suatu instansi dan menyatakan
bahwa yang korupsi adalah Fulanah, tetapi setelah Fulan dihukum dan Fulanah
memintanya menjadi kuasa hukum dalam kasus berikutnya, sang advokat berbalik
mengatakan Fulanah adalah bersih. Banyak orang menganggap dunia advokat sebagai
dunia munafik, padahal masih banyak advokat yang baik.
Ambiguitas
sikap advokat yang seperti itu masih bisa dipahami dengan jawaban, posisi
advokat memang harus berubah-ubah sesuai dengan siapa yang dibelanya. Tapi yang
tak bisa dipahami adalah fakta bahwa advokat selalu masih ribut di antara para
advokat sendiri dalam hal yang tak ada kaitannya dengan perkara konkret yang
sedang ditangani.
Sampai
sekarang, dunia advokat masih geger, apakah organisasi advokat akan diatur
dengan sistem multibar (banyak organisasi advokat) atau sistem singlebar (satu
organisasi advokat). Pekan lalu saya diundang ke acara pelantikan Ikatan
Advokat Indonesia (Ikadin) Surabaya untuk menjadi pembicara tentang sikap
Ikadin menghadapi isu multibar.
Menurut
saya adanya pembicaraan kembali tentang itu merupakan langkah mundur. Itu juga
memperkuat bukti bahwa sejarah advokat kita adalah sejarah perpecahan. Masalah
sistem tersebut dulu sudah dibicarakan sampai berbusa-busa dan akhirnya yang
dipilih adalah sistem singlebar. Advokat-advokat senior seperti Adnan Buyung
Nasution, Todung Mulya Lubis, Otto Hasibuan, Trimoelja D Soerjadi sudah
berdiskusi tuntas, membawanya ke DPR, dan lahirlah UU No 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
Yang
menganut sistem singlebar, artinya hanya ada satu wadah resmi organisasi
advokat yang membina advokat mulai dari perekrutan sampai pengawasan. Kemudian
lahirlah Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai wadah tunggal itu. Belum
lama Peradi berdiri sudah ada yang menggugat ke MK melalui permohonan judicial
review. Melalui Putusan No 015/ PUU-IV/2006 MK memutus bahwa Peradi sah sebagai
wadah tunggal organisasi advokat. Tapi dunia advokat terus ribut.
Yang
dipersoalkan berikutnya bukan keberadaan Peradi sebagai wadah tunggal,
melainkan pengurusnya yang, katanya dibentuk secara tidak sah. Adnan Buyung
Nasution termasuk yang mempersoalkan kepengurusan Peradi. Kata dia, seharusnya
DPP Peradi dibentuk melalui kongres advokat, bukan berdasar kesepakatan
pimpinan organisasi advokat yang sudah ada.
Mereka
pun mengadakan kongres dan terbentuklah Kongres Advokat Indonesia (KAI). KAI
pun mengajukan permohonan judicial review ke MK agar ditetapkan menjadi
organisasi tunggal yang sah, menggantikan Peradi. Melalui Putusan No 101/
PUU-VII/2009 MK menyatakan Peradi dan KAI diakui sah, tetapi diberi waktu untuk
bersatu dalam waktu dua tahun. Jika dalam dua tahun belum bisa bersatu, mereka
bisa beperkara ke pengadilan untuk menentukan salah satunya sebagai organisasi
tunggal yang sah.
Semula
ada secercah harapan ketika pada 24 Juni 2010 Ketua Peradi Otto Hasibuan dan
Ketua KAI Indra Sahnun Lubis menandatangani piagam bahwa keduanya bersepakat
untuk bersatu. Piagam itu ditandatangani di depan Ketua Mahkamah Agung Harifin
Tumpa. Menurut MK kesepakatan yang ditandatangani di depan Ketua MA itu sudah
sesuai dengan vonis MK yang mengharuskan bersatu paling lama dua tahun.
Tapi
kemudian Indra Sahnun Lubis menyatakan bahwa KAI tidak setuju dengan isi piagam
itu karena coretan-coretan yang diusulkannya sebagai revisi tidak ditampung.
Dunia advokat geger lagi, apalagi sampai ada yang menginjak-injak foto Ketua MA
di depan publik. Setelah itu Mulya Lubis, Frans Hendra Winata, dan kawan-kawan
ikut mendukung pengajuan judicial review lagi ke MK agar ketentuan singlebar di
dalam UU No 18 Tahun 2003 dibatalkan. Tapi MK menolak permohonan tersebut
dengan alasan, penentuan singlebar atau multibar bagi organisasi advokat adalah
soal pilihan politik hukum DPR dan pemerintah.
Kalau mau
diganti dengan multibar bisa saja, tetapi yang menetapkan penggantian itu bukan
MK, melainkan pembentuk UU. Mulailah lobi-lobi ke DPR untuk itu dan di DPR pun
ide itu mendapat sambutan. Dalam keadaan tarik-menarik seperti itu KAI pecah
sendiri setelah kongres di Palembang pada April 2014. Peradi juga ikut pecah
menjadi tiga setelah kongres di Makassar pada Maret 2015.
Dalam
keadaan runyam seperti itu muncullah Surat Ketua MA (KMA) No 73/
KMA/Hk.01/IX/2015 yang memerintahkan kepada semua pengadilan tinggi untuk
mengambil sumpah calon advokat baik dari Peradi dan KAI maupun dari delapan
organisasi advokat yang ada sebelum lahirnya UU No 18 Tahun 2003. Surat KMA
menimbulkan problem meluas. Secara substansi surat tersebut dapat dinilai
bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2003 yang menganut singlebar ,tetapi secara
formal jika dilihat bentuknya yang hanya berupa surat Ketua MA (bukan perma
atau sema yang bersifat regelings) tidak bisa digugat melalui judicial review.
Kalau
akan digugat ke PTUN juga tidak bisa karena isinya abstrak-umum, bukan konkret
individual yang bisa dijadikanobjeksengketadiPTUN. MA, dengan cerdik, tampaknya
sengaja memilih bentuk ituagar tak bisa digugat-gugat. Runyamlah dunia advokat.
Setelah keluarnya Surat KMA itu sekarang ada 13 organisasi advokat: 8
organisasi sudah ada sebelum lahirnya Peradi dan KAI, 3 pecahan Peradi dan 2
pecahan KAI.
Dalam
keadaan begini, penyelesaiannya hanyalah jalur politik agar bisa lahir politik
hukum baru di bidang advokat yang bisa menyelesaikan pertikaian. Yang paling
utama dan terhormat untuk menyelesaikan kerunyaman tersebut hanyalah para
advokat sendiri. Dengan dasar integritas moral dan kemuliaan profesi, mereka
harus ikut membangun politik hukum baru tentang advokat. Daripada gegeran
(ribut-ribut), lebih baik gergeran (canda tawa). []
KORAN
SINDO, 26 Maret 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013