Selasa, 31 Maret 2015

(Do'a of the Day) 10 Jumadil Akhir 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahummahzimhum wa zalzilhum.

Ya Allah, hancurkan mereka dan goncangkanlah kesatuan mereka.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 10, Bab 5.

Ke 'Mesir' via Jababeka - Lippo, Rp 1000?



Telah tersedia jalur baru, jalan pintas menuju Egyp via Jababeka dan Lippo, hanya seribu rupiah sahaja. Konon lebih cepat dan aman, terhindar dari desingan berbagai macam peluru.



ANANTO PRATIKNO

Dahlan: Dua Ratus Juta Cell Muda untuk Saya Coba

Dua Ratus Juta Cell Muda untuk Saya Coba
Oleh: Dahlan Iskan
9 Februari 2015

”Saya harus percaya pada kemampuan anak muda ini,” pikir saya dalam hati.

Hari itu, hampir dua tahun lalu, saya membaca edisi khusus Jawa Pos yang amat tebal. Yang menampilkan prestasi puluhan anak muda Indonesia yang menakjubkan. Salah satunya wanita muda ini: Dr dr Purwati SpPD FINASIM.

Saat itu sebenarnya saya sudah mendaftarkan diri ikut ke Jerman dan Swiss. Untuk menjalani apa yang lagi mode di kalangan tertentu belakangan ini: stem cell. Lalu saya batalkan. Saya pun melakukan diskusi lanjutan: apakah benar sudah ada dokter kita yang ahli stem cell. Ternyata benar. Maka saya harus percaya pada kemampuan dokter muda dari RSUD dr Soetomo Surabaya itu.

Saya memang gelisah melihat betapa banyak orang kita yang ke Jerman atau Tiongkok untuk stem cell. Padahal yang di Jerman itu tidak murah: Rp 2,5 miliar. Belum termasuk tiket pesawat dan hotelnya. Itulah harga yang harus dibayar orang-orang yang takut tua. Atau takut terlihat tua.

Agen-agen stem cell kini banyak beroperasi di Jakarta. Ada yang mencari pasien stem cell beneran, ada yang stem cell-stem cell-an. Banyak orang bingung yang mana yang benar. Padahal begitu besar risiko. Tapi siapa peduli? Menjadi tua rupanya begitu menakutkan. Banyak yang asal tabrak.

Waktu memutuskan untuk ikut mendaftar ke Jerman, bukan karena saya takut tua. Tapi ingin menjalani uji coba. Bisa jugakah stem cell membuat saya tidak lagi tergantung obat seumur hidup? Sebenarnya saya pun tidak keberatan minum obat seumur hidup. Toh kapsulnya sangat kecil. Sekecil butiran beras. Dosisnya pun hanya 0,5 mg, dosis terkecil. Efek sampingnya pasti juga kecil. Inilah obat yang harus saya minum untuk mengurangi jumlah T cell (sel T) saya.

Saya memang tidak boleh memiliki T cell dalam jumlah yang normal. Tugas T cell adalah mengusir semua benda asing yang masuk ke tubuh kita. Hati saya yang baru itu, yang menggantikan hati lama saya yang rusak karena kanker delapan tahun lalu, termasuk dianggap benda asing yang harus ditolak. Karena itu, kalau saya berhenti minum obat, jumlah T cell saya normal dan punya kemampuan menyerang hati baru saya. Lantaran minum obat itu, menurut hasil tes terakhir darah saya, jumlah T cell saya 460. T cell orang normal 600-an.

Dari diskusi dengan Dr dr Purwati saya mengambil kesimpulan bahwa dia menguasai ilmu itu. Go! Lakukan stem cell itu. Pada saya. Tidak usah ke Jerman. Syukur-syukur ada juga efek bisa membuat saya terlihat lebih muda.

Tentu ada ngeri-ngeri-sedapnya. Bahwa, misalnya, tidak berhasil pun tidak masalah. Yang penting jangan berbahaya. ”Yang aman ya, Dok. Hati-hati,” pesan saya sebelum proses pengambilan darah dari sumsum tulang pinggul dilakukan.

Darah itulah yang diproses untuk diambil cell-cell mudanya. Lalu dibiakkan di dalam laboratoriumnya. Setelah mencapai 200.000.000 cell lantas dimasukkan ke dalam tubuh saya. Melalui saluran darah di lengan. Angka 200 juta itu disesuaikan dengan berat badan saya yang 73 kg. ”Ramuan” untuk mengantarkan cell muda itulah yang ditemukan Dr Purwati. Sehingga ratusan juta cell muda itu bisa menyatu dengan darah yang sedang beredar dengan aman. ”Saya lagi mengajukan paten untuk temuan saya itu,” ujar Dr Purwati.

Jutaan cell muda itulah yang bertugas menggantikan cell saya yang sudah menua. Juga mengganti cell yang rusak. Termasuk mengganti cell yang sudah dihinggapi penyakit seperti kanker.

Bulan lalu saya sudah menjalani stem cell yang ketiga kalinya. Memang kurang sempurna kalau hanya satu kali stem cell. Baiknya tiga kali, berselang tiga bulan. Yang di Jerman pun demikian. Satu seri, istilahnya. Rp 2,5 miliar. Yang di Surabaya tentu jauh lebih murah.

Saya pun sekarang merasa sangat fit. Entahlah, terlihat lebih muda atau tidak. (*)

Sumber:

Mahfud MD: Hukum Islam Modern



Hukum Islam Modern
Oleh: Moh. Mahfud MD

Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa metodologi yang ketat.

Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai hukumnya orang-orang kolot yang hanya mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam didukung oleh metodologi penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah dari metode- metode ilmu hukum modern.

Ketika belajar di fakultas hukum yang, katanya, muatan maupun metodologinya sudah modern, saya merasa mudah karena sudah mempelajari asas dan metodologinya saat dimadrasah, pondok pesantren, dan sekolah-sekolah Islam yang saya tempuh. Teori penjenjangan hukum (hierarki perundang-undangan) atau Stufenbautheorie dari Hans Kelsen, misalnya, sudah diajarkan di dalam metodologi hukum Islam melalui dialog antara Nabi Muhammad dan Muadz bin Jabal, belasan abad sebelum Hans Kelsen lahir.

Ketika akan menugaskan Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang cara menetapkan hukum jika ada masalah yang harus dihukumi. Muadz pun menjawab, dirinya akan menghukumi sesuai dengan ketentuan Alquran. ”Bagaimana jika tidak ditemukan ketentuannya di dalam Alquran?” tanya Nabi. ”Saya akan berpedoman pada Sunah Rasul,” jawab Muadz.

”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya Nabi lagi. ”Saya akan menggunakan rarayu (akal) untuk berijtihad,” jawab Muadz. Lalu, Nabi memuji Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum. Berdasarkan hadis tersebut, secara metodologis sejak awal kehadirannya, Islam sudah mengajarkan susunan hukum yang hierarkis, tak bisa dibalik karena yang lebih tinggi harus menjadi dari dasar dari yang sesudahnya, yakni, Alquran, Sunah Rasul, ijtihad, dan semua tingkatan-tingkatan dari ijtihad itu sendiri.

Teori ini mendahului teori stupa dari Hans Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun secara berjenjang dan berlapis dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus bersumber dan tak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang hidup pada abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa peraturan perundang-undangan berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga seterusnya ke bawah.

Dalam tata hukum Indonesia pun, teori penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan peraturan dan perundang- undangan mulai UUD 1945, tap MPR, UU/perppu, PP, perpres, perda, hingga seterusnya ke bawah. Begitu pun dalam soal hubungan antara hukum dan masyarakat. Ada teori bahwa hukum berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya karena hukum bukan ada dalam vacuum.

Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya, sehingga kalau masyarakat berubah maka hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau tempatnya berubah maka hukumnya pun bisa berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (untuk masyarakat itu). Dalam teori konstitusi, ada teori resultante dari KC Wheare yang mengatakan bahwa konstitusi itu adalah produk resultante (kesepakatan) sesuai dengan keadaan sosial ekonomi, politik, dan budaya saat dibuat.

Karena itu, menurut Wheare, yang melempar teorinya pada abad ke-20, konstitusi bisa berbeda- beda dan bisa berubahubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat, baik waktu maupun tempatnya. Belasan abad sebelum Wheare lahir, dalam hukum Islam sudah ada kaidah yang kemudian dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang berbunyi, ”Tak terbantahkan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat, dan budaya masyarakatnya”, laa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awaid.

Atau kaidah bahwa ”hukum berubah sesuai dengan illah atau latar belakangnya”, alhukmu yaduuru maalhukmu yaduuru maa illatihi. Umar ibn Khatthab dapat disebut sebagai fuqohafuqoha yang memberi contoh bahwa implementasi hukum itu disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat.

Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf (orang-orang yang baru masuk Islam), padahal dalam Alquran disebutkan mualaf adalah salah satu dari delapan kelompok yang berhak mendapatkan zakat. Alasan Umar, zaman sudah berubah dan Islam sudah kuat sehingga tak perlu memberi insentif agar orang masuk Islam. Adanya asas dalam hukum modern bahwa jika ada hukum baru maka hukum lama tak berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di dalam Islam sudah ada asas naasikh dan mansuukh (hukum baru menghapus hukum lama dalam hal yang sama).

Dalam konteks taksonomi hukum Islam juga dikenal pembidangan dalam berbagai jenis hukum seperti hukum perdata (syakhshiyyah) , hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan ketatanegaraan (siyaasah) , dan hukum pemerintahan(imaamah) . Kaidah hukmul hakim yarfaul khilaaf, putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan, adalah kaidah di dalam hukum Islam yang, hebatnya, kemudian berlaku di semua negara dan semua sistem hukum.

Meskipun ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban manusia sudah jelas, kerap timbul perselisihan di antara manusia karena pelanggaran ataupun karena perbedaan tafsir atas hukum. Karena itulah, ada lembaga pengadilan dan hakim sebagai pengadil. Jika hakim sudah memutus dengan kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu mengikat, mengakhiri perselisihan, terlepas dari disetujui atau tidak disetujui oleh pihakpihak yang bersengketa.

Kaidah ini menjamin kepastian agar perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam membuat putusan ternyata hakim melakukan kesalahan, hakimnya bisa dihukum tanpa harus mempersoalkan vonisnya yang sudah final. Jauh sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya hukum Islam sudah modern lebih dulu.

Menurut beberapa literatur metode kodifikasi dan unifikasi hukum modern, yang ditandai oleh munculnya code penal (kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum perdata) di Prancis, didahului dengan pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami metodologi hukum Islam di Universitas Al Azhar, Mesir. []

Koran SINDO, 28 Maret 2015
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi

Kang Komar: Hak Paten Islam



Hak Paten Islam
Oleh: Komaruddin Hidayat

Dalam dunia bisnis dan industri dikenal istilah hak paten (copyright). Anda tidak boleh sembarangan membuka outlet McDonalds, misalnya, tanpa seizin pemilik hak patennya.

Begitu pun merek-merek dagang lain, Anda tidak bisa seenaknya menggunakan tanpa mengantongi izin pemiliknya. Bahkan meniru sebuah produk lalu dilempar ke pasaran, Anda akan terkena delik pidana. Sedemikian ketat pengaturan tentang hak paten atas merek-merek dan nama. Termasuk jika ingin mendirikan dan mendaftarkan nama sebuah yayasan atau badan usaha ke pemerintah, Anda harus mencari nama baru yang belum dipakai pihak lain.

Lalu bagaimana dengan nama atau merek Islam yang sedemikian menyejarah, mendunia, dan pengaruh nama itu sangat kuat dalam benak masyarakat? Di sinilah uniknya. Tak ada instansi atau figur siapa pun yang bisa mengklaim sebagai pemilik nama dan kata ”Islam” yang kepadanya orang mesti minta izin dan membayar royalti ketika menggunakan nama Islam untuk usaha ekonomi dan gerakan politik.

Ini berbeda dari nama NU atau Muhammadiyah, meskipun agendanya adalah gerakan Islam, masih ada instansi dan mekanisme untuk memperoleh nama itu. Sedangkan kata Islam, siapa yang berhak melarang atau mengizinkan ketika kata itu dijadikan label bisnis, politik, usaha sosial, dan entah apa lagi? Pertanyaan ini muncul karena akhir-akhir ini kata Islam tidak selalu menimbulkan kesan dan asosiasi sebagai gerakan keagamaan yang mengajarkan kedamaian, kecerdasan, dan peduli pada peradaban, melainkan justru sebaliknya.

Pada tingkat global ketika Islam melekat pada gerakan ISIS, satu sisi telah memberikan kekuatan magnetic. Ratusan bahkan ribuan orang lintas negara menjadi terbius untuk bergabung ke Suriah dengan taruhan nyawa, dengan alasan demi perjuangan Kekhalifahan Islam. ISIS adalah solusi dari beragam krisis yang melanda dunia. Namun, pada sisi lain, ISIS juga telah menimbulkan citra Islam yang kejam, sadis, dan anti peradaban.

Pada tingkat lokal dan nasional, ketika orang mendengar nama, misalnya, FPI (Front Pembela Islam), NII (Negara Islam Indonesia), pasti konotasinya berbeda ketika disebut, misalnya, ICMI, HMI, PMII, meskipun semuanya melekatkan kata Islam. Umat Islam meyakini bahwa kata Islam dari Allah yang diterima Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, sehingga yang memiliki hak paten adalah Allah atau Nabi Muhammad sebagai penerimanya.

Namun, waktu itu tak dikenal konsep pemegang tunggal hak paten, sehingga Islam sebagai nama gerakan keagamaan yang dimotori oleh Nabi Muhammad, lalu dipakai oleh siapa saja. Tak ada lembaga yang memiliki otoritas efektif untuk mengontrol dan melarang penggunaan kata Islam.

Jadi, jangan heran kalau suatu saat Anda akan bertemu merek: Restoran Islam, Bus Islam, Hotel Islam, Partai Islam, Negara Islam, Pakaian Islam, Sepak Bola Islam, Bank Islam, Televisi Islam, dan sekian banyak lagi kata Islam dijadikan label dan modal gerakan, entah bisnis, dakwah, politik, ataupun gerakan lain yang tidak selalu mencerminkan nilai dan etika Islam.

Kalau sudah terjadi penyimpangan, lalu siapa yang bisa meluruskan secara efektif? Apakah organisasi semacam Muhammadiyah, NU, dan MUI mampu dan punya kewenangan untuk melarang mereka? Secara moral tentu punya kewenangan, tetapi secara legal tidak punya karena tak ada yang memiliki hak paten penggunaan kata Islam.

Mengingat selama ini kata Islam sering dibajak dan disalahgunakan untuk tujuan yang merusak ajaran Islam, lalu siapa yang mesti dan mampu menjaga? Setidaknya ada empat pihak yang menjaga kemuliaan Islam. Pertama, kemuliaan dan kebenaran sebuah agama akan dijaga oleh dirinya sendiri. Dalam konteks Islam, Alquran bagaikan sosok yang hidup yang akan menjelaskan pesan kemuliaan ilahi yang terkandung di dalamnya.

Sejarah telah membuktikan, betapa banyaknya intelektual yang terinspirasi dan terbentuk pribadinya menjadi orang baik setelah mempelajari Alquran dengan tulus, rendah hati dan cerdas. Kedua, setiap zaman selalu ada ulama atau ilmuwanilmuwan yang saleh yang selalu menjaga kemurnian dan kemuliaan agamanya. Mereka ini menjadi pengingat dan pencerah zaman ketika penyimpangan, kerusakan dan kegilaan melanda masyarakat dengan dalih dan simbol-simbol keagamaan.

Ketiga, kemuliaan Islam juga akan terjaga oleh undang-undang dan hukum negara. Jika ada kejahatan kemanusiaan yang mengatasnamakan agama maka pelakunya akan berurusan dengan aparat penegak hukum negara. Keempat, orang beriman yakin bahwa Tuhan akan menjaga kebenaran dan kemuliaan ajaran-Nya yang diwahyukan pada manusia dengan berbagai cara yang kadang terjadi di luar perkiraan nalar manusia. Dulu peristiwa ini disebut mukjizat. Sekarang pun mukjizat Tuhan masih berlangsung dalam sejarah tetapi sering kali kita tidak mampu atau terlambat memahaminya. []

Koran SINDO, 27 Maret 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah