Jumat, 27 Februari 2015

(Do'a of the Day) 08 Jumadil Awwal 1436H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Innaalill laahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Wa innaa ilaa rabbinaa lamunqalibuun. Allaahummak tubhu 'indaka fil muhsiniin, waj'al kitaabahuu fii illyyiin. Wa akhlifhu fiya ahlahii fil ghaabiriin. Wa laa tahrimnaa ajrahuu wa laa taftinnaa ba'dahu.

Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya. Sesungguhnya kepada Tuhanlah kita kembali. Ya Allah, catatlah dia agar berada pada golongan orang-orang yang baik di sisi-Mu. Dan jadikanlah kitab catatannya pada 'illiyyiin. Dan gantikanlah ia pada keluarganya yang tinggal. Dan janganlah Kau jadikan kami terhalang mendapatkan pahalanya dan jangan pula Kau uji dengan fitnah sepeninggalnya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 18.

(Tokoh of the Day) Habib Anis Al-Habsyi, Solo - Jawa Tengah



Mengenal Kepribadian Luhur Habib Anis Al-Habsyi


Dua minggu pasca-Lebaran tahun 2006, umat muslim di Soloraya tersentak mendengar kabar duka. Seorang tokoh ulama panutan yang juga keturunan dari Rasulullah saw, Habib Anis Al-Habsyi dikabarkan telah menghadap ke rahmatullah. Menurut keterangan dari dokter, Habib Anis yang kala itu berusia 78 tahun, wafat karena penyakit jantung yang dideritanya.

Sontak, kabar tersebut membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di penjuru dunia, bergegas untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru. Kota Solo di hari wafat Habib Anis diserbu puluhan ribu pentakziah. Dengan diiringi tangisan dan air mata, mereka melepas kepergian cucu Muallif Simtuddurar tersebut.

Ya, kepergian Habib Anis memang patut menjadi duka bagi semua, khususnya kaum Aswaja di wilayah Soloraya. Hal ini sama dengan yang diungkapkan Habib Abdullah Al-Haddad ketika menyaksikan kepergian gurunya itu:

“Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa mereka duduki telah kosong. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup para guruku, menempuh jalan leluhurku.”

‘Anak Muda Berpakaian Tua’

Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat pada tanggal 5 Mei 1928. Ayahnya, Habib Alwi, merupakan putera dari Habib Ali Al-Habsyi (Muallif Simtuddurar) yang hijrah dari Hadramaut Yaman ke Indonesia untuk berdakwah. Sedangkan ibunya bernama Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo, sampai akhirnya menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Habib Anis tumbuh menjadi seorang pemuda nan alim dan berakhlak luhur. Habib Ali Al-Habsyi, adik beliau menyebut kakaknya seperti “anak muda yang berpakaian tua”.

Tentang maqam ilmu dan akhlak yang dimiliki Habib Anis, salah satu cucunya yang bernama Muhammad bin Husain mengungkapkan sosok Habib Anis sebagai orang yang sangat mencintai ilmu.

“Ketika usia muda, beliau gemar sekali membaca buku. Tiap malam ketika istrinya tidur, beliau membaca kalam Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (kakek Habib Anis) sampai beliau terkadang menangis ketika membaca untaian nasehat kakeknya. Ketika istrinya terbangun beliau langsung mengusap airmatanya supaya tidak terlihat oleh istrinya,” ujarnya.

Bahkan ketika usia sudah mulai tua, Habib Anis masih haus kepada ilmu. “Beliau pernah berencana untuk membeli laptop dan belajar mengetik untuk bisa mencatat ilmu yang didapatnya. Beliau juga berencana untuk datang pameran kitab di Mesir supaya bisa membeli kitab-kitab langka yang dijual disana,” imbuh Habib Muhammad.

Ditambahkan oleh Habib Muhammad, meskipun Habib Anis termasuk ahli ilmu, akan tetapi dia lebih dikenal dengan kemuliaan akhlaqnya. “Karena beliau selalu menampilkan akhlaq yang mulia, padahal keluasan ilmunya tidak diragukan lagi,” terangnya.

Akhlak Habib Anis, diantaranya tercermin dari sikap sumeh (murah senyum) dan dermawan yang dimilikinya. Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya, orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus dan tidak pernah menyakiti hati orang lain, apalagi membuatnya marah,”

Seringkali menjelang Idul Fitri, Habib Anis memberikan sarung secara cuma-cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” kata Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan, salah seorang puteranya.

Guru Para Syuriyah

Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis mengabdikan untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya pengajian setiap harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman beliau. Pernah, ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk berta'ziyah. Namun begitu tiba waktunya pengajian, langsung beliau membuka kitabnya dan mulai membaca serta mengajar. Didalam rumah jenazah istrinya sedang dimandikan tapi beliau tetap istiqomah mengajar dan membimbing ummat,” terangnya.

Habib Anis juga dikenal sebagai pribadi yang istiqomah dalam segala hal, tentang keistiqomahan ini juga diakui oleh salah satu muridnya yang kini mengemban amanah sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sukoharjo, KH Ahmad Baidlowi.

“Dalam banyak hal, Habib Anis selalu tertata rapi, meskipun di banyak aktivitasnya sebagai imam sholat, pengajian, menerima tamu, membuka toko dan sebagainya,”

Dalam dakwahnya, Kiai Baidlowi menuturkan Habib Anis memiliki beberapa konsep, yang kesemuanya dapat dilihat langsung di Masjid Riyadh sampai sekarang. “Yakni, masjid sebagai tempat ibadah. Zawiyah, sebagai pusat ilmu dan toko sebagai media penggerak ekonomi,” ujarnya.

Terkait hal ini, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad saw.

Ulama asal Pasuruan itu menambahkan, meskipun tidak pernah masuk dalam struktur NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas kemajuan NU di wilayah Soloraya sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini menjadi Rais Syuriyah, diantaranya KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri).

Sebagai penerus kekhalifahan (imam) di Masjid Riyadh, Habib Anis meneruskan beerbagai kegiatan yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Kegiatan seperti Haul Habib Ali Al-Habsyi, Khatmul Bukhari, dan Maulid yang terselenggara setiap malam Jumat selalu dihadiri oleh ratusan bahkan puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah. Para ulama terkemuka, seperti TG Zaini Abdul Ghani, Abuya Dimyati, Kiai Siraj dan lainnya, bahkan pernah hadir di Masjid Riyadh untuk mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Habib Anis.

Sebagai seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab. Namun, hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya. “Belum sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh Allah,” tutur Habib Muhammad.

Pada hari Senin, tanggal 6 November 2006 atau 14 Syawal 1427 H pukul 12.55 WIB, Habib Anis wafat di RS. Dr. Oen dalam usia 78 tahun. Beliau dimakamkan di sebelah makam ayahnya, yang terletak di sisi selatan Masjid Riyadh. Kini, meski telah wafat, hampir setiap hari makamnya dikunjungi para peziarah dan namanya juga senantiasa disebut setiap ada pembacaan kitab maulid Simtuddurar. []

(Ajie Najmuddin)

Sumber:
Majalah Hidayah edisi 115, Maret 2011 hal. 64-68.
Wawancara Habib Muhammad bin Husein bin Anis, 28 Februari 2014.
Wawancara KH Ahmad Baidlowi di Masjid Riyadh Solo, 19 Februari 2014

Bernazar


Gus Dur: Yang Terbaik Ada di Tengah



Yang Terbaik Ada di Tengah
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Judul diatas diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “ Sebaik-baik persoalan adalah yang berada ditengah “ (khairul-umûri ausâthuha). Ia juga mencerminkan Pandangan agama Budha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh penganut agama tersebut. Walaupun demikian, judul itu dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku karya, tokoh Syi’ah terkemuka Dr. Musa Al Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu, katakanlah sebagai sebuah resensi, yang juga menunjukan kecenderungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri di tengah-tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah yang menjadi jalan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah tersebut dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “jalan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang independen dari bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut yang kuat dan menguasai kawasan antara pulau Madagaskar di lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan pulau Tahiti di tengah-tengah lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan tersebut hanyalah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang menguasai kawasan perairan tersebut selama berabad-abad. Kita tentu tidak senang dengan klaim tersebut karena mengartikan kita lemah, tetapi kenyataan sejarah berbunyi lain, Australia yang menjadi dominion Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara induk.

***

Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpangan-penyimpangan seperti itu. Umpamanya saja, seperti di tunjukan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang des Abendlandes" (The Decline Of The West). Buku yang menggambarkan kejayaan peradaban Barat dalam abad ke 20 ini ternyata mulai mengalami keruntuhan (untergang). Filosof Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, justru menunjuk kepada tantangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern terhadap karya-karya dan produk kaum elite, seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal “Rebellion of the Masses” (Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).

Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, “A Study of History”. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges) dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, kalau tantangan harus dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantangan banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemudian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk masa selanjutnya, akan melahirkan peradaban tepi sungai yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Eupharat, Gangga, Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahirnya Pusat-pusat peradaban dunia ditepian sungai-sungai itu, merupakan bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.

Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, menulis bukunya “Aera Eropa” ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste Algemeene menselijk Patron). PKU I itu, menurut karya Romein tersebut memperlihatkan diri dalam tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan-kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi kuat dibawah kekuasaan raja yang moralitas yang sama di mana-mana. Dalam abad ke-6 sebelum masehi, terjadi krisis moral besar-besaran yang ditandai dengan munculnya nama-nama Lao Tze dan Konghucu, Budha Gautama, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka para moralis hebat ini mengembalikan dunia kepada tradisionalismenya, karena memperkuat “keseimbangan”.

Sebaliknya, para filsuf Yunani Kuno, membuat penimpangan pertama terhadap PKU kesatu itu, dengan mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang terbaik. Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini di ikuti oleh penyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Renaissance (Abad kebangkitan), Abad pencerahan (Aufklarung), Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede Algemeene menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya.

***

Nah, kita menolak Theokrasi (negara agama) dan Sekularisme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila. Kompromi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak dominasi Agama maupun kekuasaan Anti Agama dalam kehidupan bernegara kita. Karena sekularisme di pandang sebagai penolakan kepada agama -dan bukannya sebagai pemisahan agama dari negara-, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila yang menggabungkan Sila pertama (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), dan sila-sila lain yang oleh banyak penulis dianggap sebagai penolakan atas agama.

Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran Agama” dan illmu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan berpikir oleh pengarangnya). Jelas yang dimaksudkan adalah sebuah sintensa baru yang terbaik bagi kita dari dua hal yang saling bertentangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “ yang bukan-bukan”. Sederhana saja masalahnya, bukan? []

*) Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 09 Oktober 2002.

Azyumardi: Parpol, DPR, dan Masyarakat Sipil



Parpol, DPR, dan Masyarakat Sipil
Oleh: Azyumardi Azra

Akhirnya Presiden Joko Widodo tidak jadi melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Sebaliknya, Presiden mengusulkan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri baru. Jelas keputusan Presiden yang telah ditunggu cukup lama—yang sempat membuat gemas dan gusar kalangan masyarakat, LSM, kelompok masyarakat sipil (civil society), pengguna internet (netizen) di dunia maya, dan politisi—cukup melegakan. Kini keputusan itu setidaknya sudah ada, kegundahan dan kegusaran berlalu sudah.

Namun, segera jelas, membatalkan Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri yang sudah disetujui DPR dan mencalonkan Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan DPR bakal tidak berjalan mulus. Hari-hari mendatang tampaknya kembali diliputi kegaduhan politik yang bisa meningkatkan eskalasi politik nasional.

Isyarat kembalinya kegaduhan politik itu sudah terlihat. Sejumlah politisi, khususnya dari PDI-P—partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla—sudah terdengar suara penolakannya atau sedikitnya mempersoalkan keputusan Presiden Jokowi. Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (PDI-P) menyatakan tetap menginginkan Presiden Jokowi melantik BG.

Secara umum, PDI-P terlihat kecewa berat atas keputusan Presiden Jokowi. Meski demikian, terdapat pihak yang ”memahami” keputusan Presiden, dan karena itu akan memperjuangkan semua kebijakan Presiden Jokowi di DPR. Dwi Ria Latifa, politisi PDI-P di Komisi III, menyatakan, sikap itu merupakan instruksi langsung Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Nada sama—atau lebih keras—juga datang dari kalangan parpol lain yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yang awalnya merupakan lawan politik Jokowi-Kalla. Sebagai kubu politik yang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi-Kalla, KMP mengagetkan publik ketika mereka secara aklamasi mendukung BG menjadi calon Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi.

Sikap ini, misalnya, terlihat dari pernyataan anggota Komisi III, Bambang Soesatyo (Partai Golkar), yang menyatakan pembatalan pencalonan BG dan pengajuan Badrodin Haiti bakal sulit diterima di Rapat Paripurna DPR. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu, dia menegaskan, keputusan Presiden Jokowi itu membawa Istana ke titik paling rendah. Ia menyatakan, ”Kita berharap Istana Negara menjadi sebuah istana rajawali, bukan istana kampret.”

Entah kenapa anggota dan pimpinan DPR bersikap seperti itu, yang disertai kalimat yang tidak dapat disebut santun. Apa sesungguhnya yang terjadi di balik layar dengan sikap rawe rawe rantas malang malang putung (semua kekuatan harus dikerahkan) dalam pencalonan BG itu? Political deal apakah yang berantakan gara-gara batalnya BG dilantik sebagai Kapolri? Sebaliknya, political deal apa lagi yang harus dibangun agar DPR bersetuju Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru? Kita tidak tahu dan tidak bisa berspekulasi tentang apa dan bagaimana political deal selanjutnya.

Terlepas ada tidaknya political deal di kalangan parpol di DPR, jelas pergaduhan politik yang terjadi di lembaga legislatif ini bakal menambah kekecewaan banyak pemilih. Jelas elite politik, baik di parpol maupun di DPR, lebih sibuk dengan kepentingan sendiri daripada kepentingan pemilih dan publik. Para pemilih yang mengharapkan elite politik dan anggota DPR mendukung pemberantasan korupsi bakal tambah kecewa, yang ujungnya boleh jadi meningkatkan frustrasi dan apatisme politik.

Namun, frustrasi dan apatisme politik tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, hanya membuka ruang lebih besar lagi bagi kian meningkatnya manipulasi dan the use and abuse politik demi kepentingan parpol dan koalisi masing-masing.

Oleh karena itu, frustrasi dan apatisme politik di kalangan masyarakat jangan dibiarkan tumbuh. Sebaliknya, masyarakat sipil mesti terus bertahan untuk berjuang menghadapi kegaduhan politik yang jelas merugikan kepentingan negara-bangsa.

Kasus pembatalan pencalonan BG oleh Presiden Jokowi sangat terkait dengan meningkatnya aktivisme masyarakat sipil. Kegaduhan politik yang terus meningkat terkait pencalonan BG serta penetapan dua komisioner KPK dan kriminalisasi terhadap sejumlah aparat KPK telah mendorong revitalisasi masyarakat sipil.

Masyarakat sipil terdiri dari berbagai kelompok kampus, LSM, ormas, Tim 9 Independen, sampai warga pengguna internet di dunia maya. Dengan banyaknya media massa yang cenderung memihak mereka, masyarakat sipil dapat menghadirkan tekanan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam kegaduhan politik terkait kasus pencalonan BG yang disertai kriminalisasi terhadap sejumlah fungsionaris KPK.

Tugas dan tantangan masyarakat sipil tampaknya jauh dari selesai. Mengantisipasi kegaduhan politik baru di DPR terkait gejala penolakan terhadap Badrodin Haiti, masyarakat sipil patut tetap waspada dan siap bergerak dengan damai dan keadaban.

Tidak kurang pentingnya adalah mencegah berlanjutnya kriminalisasi (fungsionaris) KPK. Publik menunggu—agaknya dengan gemas—apakah pemimpin sementara KPK Taufiequrachman Ruki dan calon Kapolri Badrodin Haiti dapat bersepakat menyudahi kriminalisasi itu, yang tidak kondusif bagi penciptaan sinergi antara KPK dan Polri dalam pemberantasan korupsi dan penciptaan pemerintahan bersih. []

KOMPAS, 24 Februari 2015
Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan