Rabu, 30 April 2014

(Do'a of the Day) 30 Jumadil Akhir 1435 H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma baa'id bainii wa baina khathaayaaya kamaa baa'adta bainal masyriqi wal maghribi.

Ya Allah, pisahkanlah aku dari kesalahanku sebagaimana Kau pisahkan jauhnya masyrik dan maghrib.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 35.

Mahfud MD: Tukang Survei



Tukang Survei
Oleh: Moh Mahfud MD

Kekeliruan, bahkan kesalahan, berbagai hasil survei politik kembali terjadi secara mengejutkan ketika pada 9 April 2014, sekitar jam 17.00 WIB, hasil quick count (hitung cepat) pemungutan suara untuk pemilu legislatif (pileg) diumumkan.

Ternyata, kembali terjadi perbedaan yang tajam antara hasil-hasil survei sebelumnya dengan hasil hitung cepat seperti yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta pada 2012. Pada Pilgub DKI Jakarta, sampai hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara, hampir semua hasil survei menyebut Foke-Nara sebagai pemenang signifikan. Tetapi, hasil pilgub membuktikan kesalahan berbagai survei karena yang menang ternyata Jokowi-Ahok, pasangan calon yang sebelumnya diremehkan berbagai survei. Pada Pileg 2014 kesalahan-kesalahan hasil survei tampak mencolok juga.

Partai-partai berbasis massa Islam yang semula diduga akan terkubur karena merosotnya kepercayaan masyarakat ternyata meningkat secara mengejutkan dengan kumulasi perolehan sampai sekitar 31%. Partai Golkar yang semula diunggulkan dengan kisaran suara 19% ternyata hanya meraih 15%. Perolehan PDIP terpaut signifikan dari hasil survei maupun targetnya. Kejutan perlawanan hasil hitung cepat terhadap hasil-hasil survei sebelumnya tampak jelas pula pada beberapa partai.

Partai NasDem yang oleh banyak survei dilihat secara pesimistis karena untuk mendapat 3,5% saja dianggap susah ternyata mendapat hampir 7%, menyamai partai lama, Partai Persatuan Pembangunan yang juga mengalami kenaikan sedikit. PKS yang karena terpaan isu korupsi hanya akan bertahan pas-pasan di dekat parliamentary threshold, ternyata mampu bertahan di posisinya pada kisaran 7%. PKB pun meroket secara mengejutkan dari perolehan Pileg 2009 sebesar 4,8% menjadi sekitar 9,1%.

Padahal sebelum pileg banyak survei yang selalu meletakkan PKB pada perolehan sekitar 4%, bahkan ada yang tega meletakkan di bawah parliamentary threshold 3,5%. Ada juga yang memang mendekati hasil survei yakni fakta bahwa PBB dan PKPI benar-benar tidak masuk ke parliamentary threshold. Begitu pula, meski angkanya kurang akurat, hasil survei menyatakan bahwa Partai Demokrat akan terjun bebas sesuai hasil pileg karena terjun dari 20% ke kisaran 9%. Hasil-hasil survei politik belakangan ini memang banyak yang meleset sehingga tak lagi bisa dijadikan pegangan sebagai produk kerja ilmiah yang logis dan predictable.

Hasil survei dan hasil pemilihan yang sesungguhnya kerapkali berbeda secara mengejutkan. Kalau metodologinya benar, mestinya hasil-hasil survei lebih banyak benarnya daripada salahnya, bahkan tingkat kesalahannya sudah bisa diukur sebelumnya oleh metode dan hasil survei itu sendiri yang dibatasi dengan margin tertentu. Ketika itu ditanyakan kepada pembuat survei, jawaban yang sama selalu dikemukakan bahwa hasil survei hanya memotret pada saat dilakukan survei dan bisa berubah pada saat-saat akhir.Ya, juga sih.

Survei memang potret saat dilakukan wawancara. Tetapi, tentu itu bukan jawaban yang tepat. Kalau jawabannya hanya begitu, ya tak perlu survei-surveian segala. Mestinya ada metode agar perbedaan itu tak terjadi dengan sangat mencolok. Mungkin benar yang dikatakan Dradjad Wibowo, banyak intelektual dan lembaga survei yang belakangan ini melacurkan diri, tidak melakukan survei dengan cara-cara profesional-ilmiah sehingga survei lebih banyak melesetnya atau malah dipelesetkan asal mendapat uang. Sekarang ini banyak lembaga survei yang mengerjakan survei sudah didahului dengan tendensi politis tertentu.

Bahkan ada penyurvei yang membawa lembaganya untuk menjadi tim sukses atau konsultan salah satu kontestan dalam sebuah kontestasi politik. Berusaha seobjektif apa pun, kalau sudah menjadi tim sukses atau konsultan suatu kontestan, akan menyebabkan hasil survei tak lagi akurat karena akan diarahkan membentuk dan menggiring opini untuk menguntungkan kliennya. Waktu saya masih ketua MK, ada pimpinan lembaga survei yang mengurus perkara kliennya yang diperkarakan di MK. Luar biasa. Dalam kenyataan kita sering dikagetkan oleh munculnya satu lembaga survei secara tiba-tiba yang kiprahnya belum pernah terdengar.

Tiba-tiba lembaga ini memasukkan nama orang yang tadinya ada di luar pusaran tokoh-tokoh populer menjadi bagian dari tiga atau lima besar. Kemasan metodologinya okey juga, tetapi substansinya tak masuk akal. Kemasan yang dipergunakan misalnya menyebut melibatkan 1500 orang di 33 provinsi yang diwawancarai secara langsung dengan toleransi kesalahan 2% dan berbagai tetek bengek kemasan lainnya. Dari kemasan yang seakanakan ilmiah itu dimunculkanlah orang yang sebenarnya tidak masuk dalam survei atau tidak pernah disurvei.

Itulah sebabnya banyak hasil survei yang tak sesuai hasil pemilihan yang sesungguhnya. Membaca fakta maraknya penyurvei yang instan dan tak jelas belakangan ini saya teringat pernyataan Gus Dur pada awal 1990-an bahwa di Indonesia banyak sekali ilmuwan tukang yakni ilmuwan yang menggunakan kepandaiannya untuk menukangi temuan ilmiah sesuai pesanan.

Sekarang pun banyak penyurvei dan lembaga survei yang tidak bekerja pada prinsip objektivitas-ilmiah, tapi bekerja sesuai pesanan. Mereka menukangi rencana dan hasil survei agar sesuai keinginannya sendiri atau pesanan klien sehingga lebih tepat disebut sebagai tukang survei atau ahli menukangi survei. []

KORAN SINDO, 12 April 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi

Perluasaan Mas’a Sempat Diusulkan Bung Karno



Perluasaan Mas’a Sempat Diusulkan Bung Karno

Sejak sebelum musim haji tahun ini umat Islam seluruh dunia berdebat soal perluasn mas’a (tempat sa’i) yang berada di samping Masjidil Haram, Mekah, karena tempat yang ada terlalu sempit sehingga harus diperluas. Tetapi persoalannya kalau melakukan sa’i di tempat perluasan itu apa masih termasuk sa’i, sehingga umrah atau hajinya menjadi absah secara fikih. Perdebatan tetap terjadi tetapi pelaksanaan terus berlangsung.

Pemikiran perluasan mas’a itu ide pertamanya justru dari Indonesia, yaitu saat Bung Karno melaksanakan haji pada tahun 1955, melihat tempat itu terlalu sempit, padahal menurut ukuran waktu itu dengan jumlah jemaah yang hanya ratusan ribu tempat itu masih memadai.

Lalu Bung Karno mengatakan pada Menteri Agama KH Masykur dari NU, Kiai tempat sa’i ini terlampau sempit sehingga tidak bisa menampung jamaah yang semakin banyak.

“Tetapi kelihatannya masih cukup layak Bung, terbukti jemaah masih bisa beribadah dengan lancar,” jawab Kiai Masykur.

“Iya sekarang masih bisa menampung,” sahut Bung Karno. “Bagaimana kalau jumlah umat Islam dunia mencapai satu milyar maka jelaah hajinya akan mencapai jutaan. Tentu tempat yang ada ini tidak memadai lagi.”

”Ya benar Bung,” jawab Kiai Masykur singkat.

Gagasan Bung Karno itu kemudian disampaikan oleh menteri agama itu pada raja Abdul Aziz, tetapi waktu itu belum ditanggapi karena memperluas tempat saai itu sulit di lakasanankan, harus mengubah struktur Masjidil Haram. Kedua, memang belum dibutuhkan.

Baru setelah jemaah mulai tidak tertampung sejak tahun 1980-an, maka tempat suci itu mulai diperluas, dan ternyata Bung Karno memiliki proyeksi jauh ke depan lebih dulu ketimbang raja Sudi sendiri, dan lebih dulu dibanding para tokoh agama yang ada. []

(Abdul Mun’im DZ)

Gus Dur: Islam, Perjuangan Etis ataukah Ideologis?



Islam: Perjuangan Etis ataukah Ideologis?
Oleh: KH Abdurrahman Wahid

Pada suatu pagi selepas olahraga jalan-jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktivis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti yang benar tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat. Padahal, justru Islam-lah pembawa pesan-pesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.

Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân, Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn) (QS al-Anbiya [21]:107), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).

Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemukakan bahwa kitab suci al-Qurân menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fil âkhirati minal khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qardhan hasanan)” (QS al-Baqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa menginginkan panen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsal âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS al-Syûra [42]:20).

****

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua (kailâ yakûna dûlatan bainal aghniyâ’i minkum)” (QS al-Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-Quran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku-suku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih (ahlul halli wal aqdi) baik langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.

Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaan-kerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara-bangsa (nation state) dan negara kota (city state). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negara-bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.

****

Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’ atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat (ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones mengupas perubahan arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan di jurnal Indonesia Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakan-gerakan Islam di sini belaka.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Jadi negara dapat saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hak-hak semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun non-muslim.

Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyatan praktis. Padahal Republik Indonesia tanpa mengunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, terjadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan 'ideologi masyarakat' yang mereka ingini melalui penegakkan etika Islam, bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional?

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 30 April 2002

(Ngaji of the Day) Dekonstruksi Pemikiran Liberal



Dekonstruksi Pemikiran Liberal

“Dewasa ini para penghujat Al-Qur’an bukan hanya kalangan orientalis, tapi juga para sarjana dengan titel akademis yang tinggi dan berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi Islam”. Inilah kutipan kata-kata sinopsis yang ada di cover belakang buku Al-Qur’an dihujat, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Henri Shalahuddin untuk meng-counter pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir modern Mesir yang telah dicap sesat dan berbahaya oleh kebanyakan ulama Mesir saat ini.

Bukan suatu yang aneh, memang, bila saat ini banyak internal umat Islam yang justru menggembosi Islam sendiri dengan berkedok ingin menyesuaikan Islam dengan era modern. Mereka dengan terang berani merombak al-Qur’an, menginterpretasi al-Qur’an dengan metodologi modern yang menyimpang dari kriteria penafsiran yang telah ditetapkan oleh mufassir-mufassir klasik. Bahkan, mereka lebih bangga dengan metodologi tafsir hermeneutika yang dianggapnya adalah salah satu metode penafsiran kontemporer yang patut diaplikasikan saat ini.

Sebagaimana yang telah diterapkan sendiri oleh Nasr Hamid Abu Zayd, di Indonseia, sejak mekarnya pemikiran Abu Zayd yang serba modern, metodologi hermeneutika telah menjadi salah satu kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Hasil dari pembelajaran metode inipun tidak tanggung-tanggung. Pada tahun 2004, Kampus IAIN Yogyakarta meluluskan sebuah tesis master yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu al-Qur’an”. Tesis ini juga menggugat kesucian al- Qur’an.(Adian Husaini: 2007)

Pemikir, intelektual, ilmuwan ataupun cendekiawan seperti Abu Zayd, Mesir; atau seorang dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sulhawi Ruba, yang secara sadar dan meyakinkan, pernah menginjak ‘Lafaz Allah’, pada 5 Mei 2006, itu bukanlah orang orientalis yang menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti yang dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran (bangsa-bangsa timur) termasuk bahasanya, kesusastrannya, dan secara umum kebudayaannya.

Namun, ironisnya, mengapa mereka berani dengan terang menyatakan bahwa yang dikakukannya adalah untuk menyesuaikan dengan era modern yang seakan-akan al-Qur’an yang telah diwahyukan dengan sempurna (QS al-Mâ’idah [5]: 3) itu masih kurang dan perlu diadakan dekonstruksi lagi?

Selain itu, kalau ditinjau dari alat dan metode yang mereka terapkan untuk menafsiri al-Qur’an, di sini akan ditemukan sebuah kecacatan dan pengkaburan otentisitas teks al-Qur’an dengan meninjau sejarah tafsir hermeneutika yang dicatat oleh sejarah sebagai metode yang digunakan dalam kajian Bibel. Dengan demikian, bila metode hermeneutika diterapkan dalam menginterpretasi al-Qur’an, di samping mengaburkan (merelatifkan) batasan antara ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât; ushûl dan furû’; tsawâbit dan mutaghayyirât; qat’iyyât dan zhanniyât; juga akan mereduksi sisi kerasulan Rasulullah Muhammad r, hingga pada tingkatan menyatakan Rasulullah sebatas manusia biasa yang sarat dengan kekeliruan dan hawa nafsu.(Henri Shalahuddin:2007)

Kalau diulas kembali sejarah masa-masa permulaan Islam, di sana juga akan terungkap kisah-kisah yang sama. Pada masa sahabat Abu Bakar, misalnya, selain mengaku sebagai nabi, Musaylamah al-Kadhdhab juga berani membuat Al-Qur’an tandingan yang juga tak kalah heboh dengan Al-Qur’an yang asli.

Akan tetapi, bila ditinjau latar belakang kehidupan dari pembuat Al-Qur’an tandingan itu, di situ akan ditemukan sebuah catatan sejarah yang telah menggoreskan nama Musailimah al-Kadzdzab sebagai tukang syair yang paling mahir di zamannya. Dengan demikian, jika tukang syair saja mampu membuat al-Qur’an tandingan hanya dengan modal ahli dalam memumpuni bidang syair Arab dan tidak mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, lalu bagaimana dengan kisah Abu Zayd, Amin Abdullah, Fazlurrahman, Mohammed Arkoun dan masih banyak tokoh liberal lainnya yang kesemuanya pernah mengenyam di bangku-bangku Universitas Islam lalu hijrah ke negeri Barat dengan tujuan untuk mencerahkan agama dari keterpurukan sosial, ekonomi dan budaya Islam yang identik dengan kemiskinan dan kemunduran dalam peradaban dunia?

Hal semacam ini, tentu merupakan kekeliruan yang tidak patut untuk mereka lakukan kalau hanya beralasan untuk memerdekakan Islam dari keterpurukan. Sebab, selain akan mencuci otak mereka dengan paham sekularisme, pluralisme, orientalisme dan liberalisme, orang-orang Baratpun akan menjadikan mereka sebagai alat untuk merobohkan Islam. Hal ini terbukti dengan diterimanya Abu Zayd di Belanda sekaligus mendapat penghargaan sebagai ilmuwan besar dalam bidang studi al-Qur’an, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.(Henri Shalahuddin: 2007)

Pada Abad Ketiga Hijriah, di masa itu, Islam juga telah mengenal pemikir-pemikir yang sering membuat kekacauan dengan mengeluarkan pendapat-pendapat baru yang kata mereka adalah menurut akal yang bebas. Segala pokok-pokok keyakinan Islam khususnya dan agama umumnya telah mereka coba goyahkan dengan mengemukakan pendapat akal yang materialistis. Diantara pemukanya yang terkenal adalah ar-Rawandi dan Thabib Abu Bakar ar-Razi.

Mulanya, ar-Rawandi terkenal karena mengutamakan kebebasan akal untuk mempertahankan agama. Tetapi, kemudian ar-Rawandi telah menyimpang keluar menjadi kafir. Sampai soal-soal yang berkaitan dengan peribadatan diganggunya dengan nama kebebasan akal. Sebagian contoh yang pernah diungkapkannya adalah mengenai salat. Menurutnya: shalat, apa perlunya wudu, padahal meskipun berwudu berkali-kali, namun isi perut kita tetap kotor. Apa guna melempar-lempar jumrah di Mina? Apa guna Sa’i, lari-lari di antara Shafa dan Marwah?

Berlari-lari diantara Shafa dan Marwah itu hanya membuat badan payah saja, faedahnya tidak ada. Wuquf di Arafah bersama-sama, pun tidak ada perlunya dan semuanya adalah pekerjaan yang tidak dapat diterima oleh akal. (Hamka: 1994)

Bayangkan kalau orang seperti ar-Rawandi masih hidup sampai saat ini. Mungkin, MUI Indonesia akan memfatwakan hukuman mati baginya. Lalu bagaimana dengan keberadaan liberalisme saat ini. Entahlah, tapi, yang jelas pemikiran-pemikiran seperti mereka itu layak dan kalau perlu diadakan pemberantasan massal.

Dengan demikian, tantangan zaman terhadap Islam tidak hanya di era modern ini saja. Sejak zaman Nabi pun agama Islam telah ditentang habis-habisan oleh orang-orang yang memang berambisi untuk menghancurkannya. Namun, tantangan Islam saat ini jauh lebih mengerikan dari pada dulu-dulunya. Sebab, yang menjadi perombak itu sendiri adalah orang-orang yang justru dilindungi, diidolakan oleh ilmuwan-ilmuwan kontemporer dan sering tampil dengan pendapat-pendapat akal yang mampu membuat terpesona, sepertinya jenius, tapi ternyata beracun dan konyol. Wallâhu a’lam. []

Penulis: M. Roihan Rikza