Jumat, 29 November 2013

(Do'a of the Day) 25 Muharram 1435H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaftah 'alayya abwaaba rahmatika warzuqnii fii ziarati qabri nabiyyika shallalaahu 'alaihi wa sallama maa razaqtahuu auliyaa'aka wa ahla thaa'atika, waghfir lii warhamnii yaa khaira mas-uulin.

 

Ya Allah, bukakanlah kepadaku pintu-pintu rahmat-Mu dan berikanlah kepadaku dalam berziarah ke makam Nabi SAW apa yang telah Kau berikan kepada kekasih-kekasih-Mu (auliya) dan orang-orang yang taat kepada-Mu serta ampunilah aku dan berilah rahmat kepadaku, wahai Tuhan yang sebaik-baik penerima permohonan.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kesembilanbelas.

(Tokoh of the Day) KH. Zaini Mun'im, Paiton, Probolinggo - Jawa Timur


KH Zaini Mun’im, Seorang Santri Mbah Hasyim

 



 

Adalah KH. Zaini Mun’im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Kabupaten Probolinggo. Ia berasal dari Desa Galis, Pamekasan Madura. Lahir pada tahun 1906 silam, putra pertama dari dua bersaudara pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidahini memiliki nama kecil Abdul Mughni.


Ayahnya, KH. Abdul Mun’im adalah putra Kiai Mudarik bin Kiai Ismail yang merupakan generasi kedua penerus Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan Madura. Sedangkan ibunya, Ny. Hj. Hamidah merupakan keturunan Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar atau dikenal dengan Ratoh Sidabulangan, penguasa Kraton Pamekasan Madura.


Tahun 1937, Lora Abdul Mughni, yang juga dikenal dengan nama KH. Zaini Mun’im ini menikah dengan keponakan Kiai Abdul Majid Banyuanyar, Nafi’ah. Dari pernikahannya, ia dikaruniai enam putra dan satu putri. Yaitu, KH. Moh. Hasyim, BA, Alm. Drs. KH. A. Wahid Zaini, SH, Nyai Hj. Aisyah, KH. Fadlurrahman, BA, KH. Moh. Zuhri Zaini, BA, Alm. KH. Abdul Haq Zaini, Lc dan Drs. KH. Nur Chotim Zaini.


Sejak kecil, KH. Zaini Mun’im mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya. Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, ia sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, ia memperdalam Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, menantu Kiai Kholil di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura.


Dan tahun 1922, ia melanjutkan ke Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan putranya KH. Abdul Majid. Pada tahun 1925, merantau ke Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Disini KH. Zaini Mun’im hanya belajar satu tahun, karena ayah tercintanya wafat. Sebagai putra sulung, ia harus pulang ke Madura untuk menggantikan posisi ayahnya.


Di usia 22 tahun, KH. Zaini Mun’im mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Di pesantren ini, ia mempertajam ilmu agama dan ilmu bahasa Arab. Pertengahan tahun 1928, ia berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menetap di Sifirlain untuk menuntut ilmu, selama lima tahun. Sebelum pulang ke tanah air, ia sempat bermukim di Madinah selama enam bulan untuk ikut berbagai pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu.


Ketika awal kedatangannya di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, KH. Zaini Mun’im tidak bermaksud mendirikan lembaga pendidikan pesantren. Ia hanya ingin mengisolasi diri dari keserakahan dan kekejaman penjajah untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta, menemui teman seperjuangannya.


Tapi sebelum cita-cita luhur itu terealisasi, KH. Zaini Mun’im mendapat amanah dua orang santri. Keduanya mengaji di surau kecil yang berfungsi sebagai tempat shalat, juga ruang tamu, mengajar dan tempat tidur santri. Karena itulah, ia mengurungkan niatnya dan menetap di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo hingga akhirnya mendirikan Pesantren Nurul Jadid. []

 

(Syamsul Akbar)

Gus Mus: Pemilu Dan Kedewasaan Rakyat*)


Pemilu Dan Kedewasaan Rakyat*)

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

 

Sebelum pilpres, mengikuti perkembangan pilpres di Iran, banyak di antara kita yang ketir-ketir. Apalagi dinamika kampanye para kandidat dan tim-tim sukses mereka begitu luar biasa. ‘Kampanye putih’, ‘kampanye abu –abu’, hingga ‘kampanye hitam’ keluar semua dari sana-sini.

 

Namun, alhamduliLlah, pilpres kita kemarin berlangsung aman dan lancar. Rakyat yang berdatangan ke TPS-TPS terlihat begitu santai dan guyub. Setelah nyontreng, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing seperti biasa. Lalu mereka secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai nonton hasil pencontrengan mereka di quick count. Bahkan banyak yang nonton bareng sesama penyontreng yang berbeda pilihan. Mereka tertawa-tawa, kadang-kadang saling ledek laiknya sesaudara. Lihatlah, betapa dewasanya mereka.

 

Kalau harus ada yang diacungi jempol dalam pesta demokrasi ini, tidak diragukan lagi yang pertama-tama berhak kita acungi jempol adalah mereka, rakyat Indonesia.

 

Rakyat Indonesia rupanya benar-benar belajar dan menyerap pelajaran dengan baik. Dengan berkali-kali pemilu dan pilkada, mereka semakin terbiasa dengan pengamalan demokrasi. Sudah dua kali pilpres, mereka menunjukkan kedewasaan mereka. Bahkan dibandingkan dengan para pemimpin dan tokoh politik di atas yang sok demokratis, kelihatannya mereka lebih dewasa.


Mungkin mereka –rakyat Indonesia itu-- belajar juga dari kompetisi sepakbola dunia yang begitu enak ditonton. Para pemain begitu serius dan sungguh-sungguh dalam bertanding; masing-masing berusaha dengan segenap daya untuk mengalahkan lawan. Para penonton juga tidak kalah dahsyat di dalam menyemangati jago masing-masing. Namun begitu peluit panjang ditiup, para pemain bersalaman dan berangkulan dengan lawan; bahkan saling bertukar kaos. Mungkin yang tidak kunjung menyerap pelajaran seperti ini --ironisnya-- justru insan-insan persepakbolaan kita sendiri.


Seperti juga saat selesai pertandingan antara antara dua kesebelasan dunia, orang-orang –sering kali bersama-sama antara para pendudukung kesebelasan yang berbeda-- dengan santai melakukan evaluasi. Mengapa ini menang, mengapa itu sampai kebobolan. Dalam pilpres kali yang menarik mereka bicarakan adalah dua calon ‘incumbent’: SBY dan JK. Dari sejak mencalonkan diri hingga menjelang penyontrengan, JK tak henti-hentinya diberitakan berkibar dimana-mana. Tokoh-tokoh pengusaha, inteletual, dan kiai –bahkan ada yang secara kelembagaan-- beramai-ramai mendukung dan ikut mengampanyekannya. Tapi mengapa perolehannya –menurut quick count-- cuma sekian? Tentu tidak lucu jika kita menyalahkan quick count.


Beberapa pengamat pun melemparkan pendapat. Ada yang berpendapat, JK telalu mempet waktunya memperkenalkan diri sebagai capres. Ada yang mengatakan bahwa gaya JK yang ditampilkan, terlalu cepat ; mestinya untuk tahun 2019. Ada pula yang menyalahkan partainya: golkar. Tentu banyak juga yang mempertanyakan, kenapa begitu banyak kiai --bahkan ada yang membawa lembaganya, pesantren atau NU—yang terang-terangan dan dengan tegas mendukung JK, namun hasilnya seperti tidak ada?


Dalam hal ini, umat rupanya juga benar-benar belajar dan menyerap pelajaran terutama dari para pemimpin mereka itu sendiri. Selama ini mereka diajari untuk menyintai ilmu agama dan amal; konsentrasi ke urusan akherat ; tidak menggandrungi dunia, pangkat, dan kekuasaan; tidak membawa-bawa NU atau pesantren ke ranah politik praktis. Di lain pihakmereka juga mengamati sepak terjang para kiai panutan mereka itu. Nah, mereka pun kemudian mendapat ‘ilmu’dan berpikir positif: sepanjang berkaitan dengan ilmu agama, amal, dan urusan akherat ; mereka akan ikut dan sam’an watha’atan kepada para kiai panutan mereka itu. Tapi kalau soal dunia, pangkat ,kekuasaan, dan politik praktis; mereka akan ‘ijtihad’ sendiri. Bahkan tidak sedikit yang sengaja seperti ‘melawan’ terhadap ketidaksesuaian ajaran panutan mereka dengan perilakunya, lalu memilih asal bukan pilihan panutannya itu. Maka terbukti; baik dalam pilkada, pileg, maupun pilpres; kebanyakan calon yang didukung para kiai --apalagi yang membawa institusi – selalu kalah. Di ranah ini, dalam hal pengumpulan suara, para kiai seperti tidak mempunyai pengaruh apa-apa. JK bukan orang pertama yang terkejut dengan hasil yang begitu jomplang antara perkiraan sebelum pemilu dan hasil sesudahnya. Sebelumnya sudah ada yang terkejut seperti itu, termasuk para cagub dan cabup.


Demikianlah; apabila rakyat dan umat telah benar-benar belajar dan mengamalkan ‘ilmu titen’, rupanya tidak demikian dengan kebanyakan para tokoh pemimpin mereka. Para kiai yang ikut sibuk ngurusi politik praktis, ternyata tidak kunjung pandai dalam hal satu ini. (Rupanya sulit benar mereka memahami “khidaa’” dalam “alharb”) . Meki sudah sering berhubungan dengan umara dan politisi, tetap saja mereka tidak kunjung mengenal tipologi umara. Demikian pula sebaliknya, banyak umara dan politisi yang tidak kunjung mengenal tipologi kiai dan peta pengaruhnya.


Ya, rakyat Indonesialah yang cepat belajar dan karenanya tampak kian dewasa dan arif di hadapan demokrasi. Semoga para pemimpinnya segera belajar dari kedewasaan dan kearifan rakyat mereka. Mudah-mudahan yang menang tetap rendah hati dan berpikir: kemenangan adalah amanah dan bukan anugerah; selalu mengingat janji-janjinya pada saat kampanye. Sementara yang kalah tetap berjiwa besar laiknya pemimpin bangsa sejati dan berpikir: kekalahan adalah anugerah dan bukan musibah; mengabdi Indonesia tidak harus menjadi presiden atau wakil presiden.


Dan akhirnya Indonesia dan rakyat Indonesia akan memetik manfaatnya. Semoga.

 

Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

*) Oleh redaksi Jawa Pos judul ini diganti “Rakyat Sudah Dewasa”

(Ngaji of the Day) Hikmah Angkat Tangan bagi Imam Syafi‘i


Hikmah Angkat Tangan bagi Imam Syafi‘i

 

Segala sesuatu ada tempatnya? Kurang. Yang pas, segala sesuatu ada tempat dan waktunya. Segala sesuatu itu juga berlaku buat tindakan mengangkat tangan dalam sembahyang. Angkat tangan menjadi sunah tersendiri. Jangan sampai salah waktu. Salah-salah bisa menjadi makruh.


Angkat tangan dalam sembahyang disunahkan di empat waktu. Pertama, saat takbiratul ihram. Kedua, bila hendak turun untuk ruku’. Ketiga, ketika i‘itdal (berdiri tegak usai ruku‘). Keempat, bila berdiri kembali setelah duduk tasyahud awal.


Tindakan angkat tangan yang disunahkan itu bukan tanpa alasan. Ulama menyatakan sejumlah hikmah angkat tangan. Salah satunya dapat membuka hijab Allah. Perihal ini dicantumkan Syekh Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja berikut ini.


وحكمة رفع اليدين فى الصلاة كما قال الشافعى رحم الله تعالى تعظيمه تعالى حيث جمع بين اعتقاد القلب ونطق اللسان المترجم عنه وعمل الأركان. وقيل الإشارة الى طرح ما سواه تعالى والإقبال بكليته على صلاته. وقيل الإشارة الى رفع الحجاب بين العبد وبين ربه. وقيل غير ذلك

 

“Hikmah mengangkat tangan dalam sembahyang seperti dikatakan Imam Syafi‘i RA ialah praktik menakzimkan Allah SWT karena dengan angkat tangan seseorang menyatukan sekaligus keyakinan hati, ucapan yang mengungkapkan isi hati, dan tindakan anggota badannya.”

 

Syekh Nawawi Banten melanjutkan, sedangkan ulama lain mengatakan hikmah angkat tangan menjadi isyarat untuk menghalau segala selain Allah dari hati dan menghayati sembahyang secara total.

 

Sementara ulama lain berpendapat, angkat tangan bertujuan menguak hijab antara Allah dan hamba-Nya. Bahkan, ada hikmah lainnya. Wallahu A‘lam. []


Alhafiz Kurniawan

Kamis, 28 November 2013

Napak Tilas Jejak Bung Karno dan Bung Hatta di Rengas Dengklok, Karawang – Jawa Barat


Napak Tilas Jejak Bung Karno dan Bung Hatta di Rengas Dengklok, Karawang – Jawa Barat

 

Suatu malam yang belum begitu gelap, Firdaus Ananta Ababiel atau biasa dipanggil Mas Abiel menghampiri ayahnya seraya membawa buku pelajaran sekolahnya yang pada salah satu halamannya menyajikan sebuah puisi perjuangan karya sang maestro Nusantara, Chairil Anwar.

 

Karawang – Bekasi

 

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

 

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

 

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

 

Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami


Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat

 

Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian

 

Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

 

Ah, puisi legendaris itu, pernah juga dibaca secara perlahan-lahan oleh sang Ayah, dulu waktu dia seusia Mas Abiel. Entah rasa apa yang singgah di dalam benak sang Ayah ketika meresapi puisi hebat itu. Bergejolak, berkecamuk, bergemuruh, bergelegak, ataukah hanya sepoi – sepoi saja. Dan, apakah rasa yang sama juga hinggap di dalam benak Mas Abiel dan juga teman – teman seusianya saat ini?

 

“Yah, Mas Abiel ingin berkunjung ke RUMAH SEJARAH di Rengas Dengklok - Karawang,” pungkas Mas Abiel membuyarkan lamunan sang Ayah. “Tolong diantar, ya, Yah…”, Mas Abiel menyambung permintaannya sebelum sang Ayah memutuskan sikapnya.

 

“Lho, apa hubungannya antara puisi Chairil Anwar dan Rengas Dengklok, mas?” sang Ayah mencoba untuk menelisik.

 

“Yah, bukannya Bung Karno dan Bung Hatta pernah diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengas Dengklok yang masih masuk Karawang itu?”, jawab Mas Abeil cepat. Dan, sang Ayah pun tersenyum. “OK, Insya Allah nanti Hari Minggu Ayah akan antar. Ajak Mas Rizal juga sekalian,” punkas Ayah menyanggupinya.

 

Dan singkat cerita, Hari Minggu yang agak mendung namun cerah itu pun segera datang. Berbekal Honda Karisma 125 cc kesayangan dari Kota Metropolitan Cikarang, Ayah, Mas Abiel, dan Ar Rizal Ridwan Kinantaka atau lebih suka dipanggil Mas Rizal pun bersama-sama menuju titik awal di koordinat -6.274708,107.270929 atau titik (A).

 


 

Perempatan besar di titik koordinat (A) tersebut seringkali disebut dengan pertigaan Tanjungpura, Kabupaten Karawang. Dia berada hanya beberapa puluh meter setelah Sungai Citarum yang sangat besar. Sungai legendaris yang pembatas geografis sekaligus menjadi pemisah antara Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang.

 

Jalan nasional yang selalu ramai ini menjadi salah satu urat nadi transportasi sangat penting bagi warga di dua Kabupaten yang berbeda tersebut.

 

Ayah kemudian menyalakan lampu sign karisma kesayangannya untuk berbelok kea rah kiri, menyusuri Jl. Proklamasi. Teruuuuus menyusur dengan sangat pelan – pelan sekali. Pelannya laju karisma diisi Ayah dengan berdendang shalawat, terkadang berdendang senandung lainnya sambil menikmati keindahan hijaunya persawahan khas Karawang di kanan dan kiri jalan mulus itu, yang bersejajar dengan Sungai Citarum

 

Laju karisma akhirnya semakin diperlahan ketika sampai kepada titik koordinat -6.175804,107.297193 atau titik (B).

 



 

Di titik pertigaan ini, sign lampu kedip kuning tanda berbelok ke kiri dinyalakan kembali oleh Ayah. Ketika mendekati lokasi ini, Ayah menyarankan agar kita tidak malu untuk bertanya. Jangan segan mematikan mesin karisma untuk berhenti dan kemudian turun emnghampiri warga di sekitar untuk sekedar bertanya, “Nuhun, pak… apakah benar jalan ini menuju ke RUMAH SEJARAH nya Bung Karno?”.

 

Maka, niscaya dengan sangat ramahnya warga sekitar akan memberikan jawaban kepada kita. Ya, silahkan diingat – ingat bahwa jalan berbelok ke kiri menuju lokasi yang akan dituju itu bernama Jl. Tugu Proklamasi.

 



 

Entah kenapa ruas jalan ini beridentitas hampir sama dengan jalan utama Rengas Dengklok yang bernama Jl. Proklamasi ini. Jalan Tugu Proklamasi yang akan kita lewati ini terlihat belum lama dibangun. Beton semen tampak masih berusia muda, belum sampai puluhan tahun sebagaimana Jalan Utama yang beraspal.

 

 

Monumen Tugu Proklamasi

 

Ya, lokasi pertama yang akan dituju oleh Ayah, Mas Abiel, dan Mas Rizal adalah Monumen Tugu Proklamasi yang berada di koordinat -6.157798,107.289409 atau titik (C).

 

Sebuah bangunan yang sangat gagah, dengan berbagai macam bangunan beton berdominasi warna cat putih mengelilingi sebuah patung pergelangan tangan raksasa yang terbuat dari logam. Ya, ada berapa ya… Ada sekitar tiga pergelangan tangan yang entah dia menyimbolkan apa.

 



 
 

Mas Abiel dan Mas Rizal mencaba untuk mengelilingi kompleks Monumen ini. Duduk beristirahat sambil mengambil botol air minum mineral dalam kemasan (AMDK), kakak beradik ini berbicara santai dengan Ayahnya tentang berbagai macam sejarah perjuangan bangsa. Mengapa Bung Karno diculik dan dibawa ke Rengas Dengklok, mengapa tidak dibawa ke Bandung saja atau ke Lampung, misalnya.

 

Perbincangan yang astik dan seru itu disudahi setelah isi AMDK habis tanpa sisa. Lantas sang Ayah kembali menawarkan untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju ke koordinat -6.157049,107.288916 atau titik (D).

 

 

Monumen Kebulatan Tekad

 

Di titik (D) ini, berdiri sebuah bangunan yang jauh lebih terawat dari bangunan yang berdominasi warna cat putih sebelumnya tadi. Ketika sampai di bangunan bernama Monumen Kebulatan Tekad ini, Mas Abiel dan Mas Rizal kembali banyak bertanya berbagai hal kepada sang Ayah. Dan, kembali dengan senyum, sang Ayah menjelasakan semuanya.

 



 

Monumen Kebulatan Tekad seluas ± 1.500 meter persegi ini tepat berdiri di Kampung Bojong Tugu, Desa Rengas Dengklok, Kecamatan Rengas Dengklok, Kabupaten Karawang. Berdasarkan informasi dari papan nama yang ada di lokasi, bangunan bersejarah ini masuk dalam tanggungjawab Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, dan Nilai Tradisional Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

 

Tidak terlalu lama Mas Abiel dan Mas Rizal berada di lokasi ini, dikarenakan matahari sudah terlihat mulai mendekati titik tengah langit, sementara lokasi tujuan utama belum juga tersinggahi.

 

Akhirnya, setelah kesepakatan bersama diambil, karisma kembali menunaikan tugas mulianya untuk mengantar mereka bertiga munuju persinggahan Utama: RUMAH SEJARAH.

 

 

Rumah Sejarah

 

Dan, sesungguhnya lokasi tujuan utama ini berjarak tidak lebih dari 200-an meter dari Monumen Kebulatan Tekad. Dengan sebuah tanda pintu gerbang bebentuk gapura yang menyambut menuju ke sebuah bangunan di koordinat -6.156734,107.290115 atau titik (E) ini, kita rmulai asakan napak tilas sejarah perjuaangan anak bangsa.

 



 

Melalui gapura ini, akan kita susuri jalan perkampungan yang masih sangat asri. Sama sekali tidak ada bau polusi industry di sini, sebagaimana mudah tercium di Kota Metropolitan Cikarang. Hanya bau segar dedaunan dan tanah basah yang tercium. Tidak ada bau cerobong pabrik dan bau anyir limbah cair.

 

Dari kejauhan bangunan yang dianntikan sudah terlihat mengendap-endap. Bangunan yang dijadikan lokasi Bung Karno dan Bung Hatta “diculik dan disembunyikan” oleh para pemuda menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

 



 

Tiba di depan Rumah Sejarah, semilir angin sepoi menggerakkan hati untuk memasukinya. Ada rasa penasaran yang dibaluti rasa mistis yang turut mendorong agar kita segera memasukinya. Tidak hanya sekedar gerbang halaman, namun juga memasuki dan merasakan setiap jengkal pelataran serta di dalam rumah sejarah ini.

 



 



 

Bagaimana ruang tamunya, kamar Bung Karno, kamar Bung Hatta dan semua perabotannya serasa memiliki daya magis yang luar biasa.

 



 

Kamar Bung Karno


 

Kamar Bung Hatta


 



 




Walaupun penggalan napak tilas yang dilakukan MAs Abiel dan Mas Rizal ini hanya secuil, namun sesungguhnya dari Rengas Dengklok lah percikan percikan gaung Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ini sepertinya bermula.

 

ANANTO PRATIKNO

(Do'a of the Day) 24 Muharram 1435H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma fa ashhibnii 'aafiyata fii badanii wa 'ishmata fii diinii, wa ahsin munqalabii warzuqnii thaa'ataka maa abqaitanii wajma' lii khairayil aakhirati wad dun-yaa innaka 'alaa syaiin qadiirun.

 

Ya Allah, senantiasakanlah badanku disertai dengan afiat dan agamaku disertai dengan perlindungan. Baikkanlah kepulanganku, berikanlah kepadaku ketaatan selama sisa umurku dan himpunkanlah kepadaku kebaikan dunia dan akhirat, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kedelapanbelas.

(Hikmah of the Day) Ketika Rasulullah Biarkan Orang Kencing di Masjid


Ketika Rasulullah Biarkan Orang Kencing di Masjid

 

Sebagai pengemban risalah suci, Nabi Muhammad SAW selalu dihadapkan dengan peristiwa yang beraneka ragam. Mulai dari percobaan pembunuhan hingga tingkah aneh umatnya lantaran kejahilan.


Suatu ketika Rasulullah bersama para sahabatnya sedang duduk di sebuah masjid. Mereka dikejutkan dengan kehadiran orang asing dengan tingkah kurang menyenangkan. Seseorang berkebangsaan Badui mendadak kencing di pojokan masjid.


Sontak, kelakuan orang Badui ini membuat sahabat Nabi marah. Kata-kata bernada keras pun meluncur dari lidah mereka. Para sahabat hendak mencegah air najis si Badui mengotori kesucian masjid.


Menaggapi peristiwa ini, Rasulullah tetap tenang. Beliau justru melarang reaksi sahabatnya yang berlebihan itu dan membiarkan si Badui menuntaskan buang air kecilnya. Usai kencing, Nabi lantas memberi nasihat bijak kepada si Badui tentang fungsi dan etika memperlakukan masjid.


“Berdirilah, ambilkan seember air dan guyurlah air kencing tersebut,” tutur Nabi kepada para sahabat. Mereka kemudian bangkit dan melaksanakan perintah ini.


”Fa innama bu‘itstum muyassiriin wa lam tub’atsu mu‘assirin. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan,” pesan Nabi selanjutnya.


Sepenggal kisah ini sekali lagi membuktikan derajat kemuliaan akhlak Rasulullah. Dalam situasi yang sangat ganjil sekali pun, Rasulullah tetap menampilkan sisi ketawadukan, berpandangan jernih, dan memecahkan persoalan dengan tanpa memberatkan. []

 

Mahbib Khoiron,

Disarikan dari hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lainnya

Dahlan: Senyum Tulus Marketing Para Dirut


Senyum Tulus Marketing Para Dirut

Senin, 25 November 2013

 

“Senyum saya sudah betul, Pak?” tanya seorang direktur utama BUMN kepada saya melalui SMS. Dirut tersebut prestasinya luar biasa hebat. Tapi, senyumnya juga luar biasa pelit.

 

Setiap kali bertemu sang Dirut saya memang terus mempersoalkan wajahnya yang selalu tegang. Dan kaku. Dan cemberut.

 

“Anda itu Dirut yang hebat,” kata saya. “Kalau bisa sering tersenyum, Anda akan lebih hebat,” tambah saya.

 

Beberapa minggu kemudian, ketika sang Dirut belum juga bisa tersenyum, saya berikan pengertian mengapa harus tersenyum. “Anda itu harus menjadi seorang marketer. Bahkan, harus menjadi marketer terbaik di BUMN Anda. Bagaimana seorang marketer wajahnya terlihat tegang terus?” kata saya.

 

Saya tidak dalam posisi memarahi dia. Saya menempatkan diri bukan sebagai menteri. Saya ajak dia bicara lebih seperti kakak kepada adik. Sebelum bicara itu pun saya lebih dulu bertanya kepada dia: bolehkah saya bicara mengenai hal yang sangat pribadi? Dia bilang: boleh.

 

Jadilah saya bicarakan hal wajah dan senyum itu kepadanya. Sayang sekali, seorang CEO yang kerja dan prestasinya luar biasa, tapi lebih banyak kelihatan cemberut. Tekanan pekerjaan yang berat dan menumpuk mungkin membuatnya tegang.

 

Pun waktu yang dia habiskan di lapangan memang panjang. Siang menemukan persoalan, malam menemukan kerumitan. Orang luar selalu menekannya, orang dalam menjengkelkannya.

 

Mungkin juga bukan karena semua itu. Mungkin juga karena latar belakang pekerjaan lamanya di dunia keuangan. Itu membuatnya “selalu bersikap keuangan”. Banyak kata, orang yang hidup lama di “sikap keuangan” sulit berubah menjadi “bersikap marketing”. Entahlah.

 

Tapi , saya percaya orang bisa berubah. Yang jelas, seorang CEO akan tidak sempurna ke-CEO-annya kalau tidak bisa tersenyum, tidak bisa mengajar, mendidik, dan tidak bisa jadi orang marketing.

 

Maka, sang Dirut berjanji untuk berubah. Menyempurnakan prestasinya dengan meramahkan wajahnya.

 

Suatu saat saya kaget. Dia mengirim BBM kepada saya. Disertai foto wajah yang lagi tersenyum. “Senyum saya yang seperti ini sudah tepat, Pak?” tanyanya.


“Belum!” jawab saya. “Kurang tulus,” tambah saya.


“Wah, sulit ya?” tanyanya lagi.


“Tidak!” jawab saya. “Coba terus!”

 

Minggu berikutnya dia kirim foto lagi yang juga tersenyum. “Sudah bagus, Pak?” tanyanya.


“Sudah 70 persen! Bagus! Anda maju sekali!” jawab saya. Saya kagum akan kesungguhannya tersenyum.

 

Minggu-minggu berikutnya dia terus mengirimkan foto wajahnya yang lagi tersenyum. 75 persen. 80 persen. 90 persen. Akhirnya 100 persen! Senyum terakhirnya, enam bulan setelah usaha yang keras, sangat sempurna, natural, dan tulus.

 

Senyum itu lantas saya pilih untuk cover buku yang diterbitkan untuk ulang tahun perusahaannya. Buku yang sangat bagus mengenai prestasinya yang hebat dalam mentransformasikan BUMN yang dia pimpin. Buku itu kini sudah tiga kali cetak ulang dan jadi best seller. Tentu senyum tulusnya di cover ikut memberi andil.

 

Itulah buku yang bercerita: bagaimana sang Dirut mampu melakukan transformasi perusahaan yang luar biasa hebatnya. Bahkan, lebih hebat daripada yang dilakukan menteri BUMN.

 

“Pasien” saya yang seperti itu tidak hanya satu. Tidak dua. Tidak tiga. Banyak! Satu per satu saya ajak bicara. Bukan hanya perusahaannya yang harus bertransformasi, tapi juga penampilan pribadi Dirutnya. Saya gembira mereka yang prestasinya hebat-hebat itu juga berani menyempurnakan dirinya.

 

Saya juga berterima kasih kepada owner MarkPlus, Pak Hermawan Kartajaya, yang ikut mengubah BUMN-BUMN kita. Terutama dari sisi marketing. BUMN Marketeers Club yang rutin bertemu dari satu BUMN ke BUMN lain, mendapat sambutan antusias dari teman-teman direksi BUMN. Begitu juga BUMN Marketing Award yang juga digagas Pak Hermawan.

 

Saya sempat menghadiri beberapa pertemuan forum marketing itu. Termasuk untuk menyosialisasikan keinginan saya bahwa seorang CEO/Dirut di BUMN harus juga menjadi orang terbaik untuk urusan marketing di BUMN masing-masing.

 

Saya juga bangga bahwa setiap kali MarkPlus menyelenggarakan acara tahunan yang amat bergengsi, Marketeer of the Year, para CEO BUMN tampil di jajaran pemenang. Mengalahkan sektor swasta. Bahkan, hampir selalu terpilih menjadi yang terbaik, menjadi Marketeer of The Year. Seperti yang diraih Emirsyah Satar, CEO Garuda; Sofyan Basyir, CEO BRI, dan saya sendiri waktu menjabat CEO PLN.

 

Tentu bukan hanya senyum yang harus bertransformasi. Cara para CEO berpidato pun harus berubah. Harus menjauhkan kebiasaan lama berpidato dengan membaca teks yang formal, kaku, dan hierarkis.

 

Untuk urusan ini saya juga melihat kemajuan yang sangat besar. Saya mencatat beberapa CEO sudah mampu tampil dengan pidato yang memikat. Bahkan, beberapa di antaranya sudah seperti CEO multinational corporation.

 

Pidato Dirut Bank Mandiri, Dirut Telkom, Dirut BRI, Dirut BNI, Dirut RNI, dan Dirut Pelindo I Medan sudah sangat cair, dan “lebih marketing”. Sudah berubah total dan dengan penuh percaya diri bisa mengemukakan kiprah dan masa depan perusahaan dengan gamblang.

 

Tentu saya tidak akan melarang pidato pakai teks. Dalam beberapa kesempatan malah seharusnya pakai teks. Tapi, saya belum puas dengan penampilan beberapa CEO yang ketika di podium masih seperti kurang menguasai persoalan. Saya akan sabar mengikuti perubahan-perubahan itu.

 

Mengapa saya merasa perlu untuk menekankan semua itu? Sebab, CEO di samping seorang marketer nomor satu di perusahaannya, dia juga manajer personalia terbaik di korporasinya. Kalau seorang CEO tidak terlatih dalam mengemukakan ide, hope, dan programnya, dia tidak akan bisa meyakinkan anak buahnya.

 

Siapakah sang CEO yang selalu kirim foto wajahnya yang sudah tersenyum itu? Dialah Dirut PT KAI, Ignasius Jonan. (*)

 

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

Sumber: