Jumat, 27 September 2013

(Do'a of the Day) 22 Dzulqa'dah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma a'idznii minasysyaithaanir rajiim, wa a'idznii min kulli suu-in wa qanni'nii bimaa razaqtanii wa baariklii fiihi.

 

Ya Allah, peliharalah aku dari syetan yang terkutuk, peliharalah aku dari tiap-tiap kejahatan dan jadikanlah aku bersifat qana'ah (sederhana) terhadap rezeki yang Kau limpahkan kepadaku dan berikanlah keberkahan padanya.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kelima.

Cak Nun: Haji: Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya


Haji: Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 

Haji Beneran dan Rasa Haji

 

Ini adalah tulisan tentang haji dari seorang yang belum pernah naik haji, bahkan belum pernah sekedar mendapat oleh-oleh air zamzam. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas kelemahan mendasar dari tulisan ini.

 

Taraf saya masih semacam Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng ada di Sulawesi. Pada musim haji, sejumlah orang Islam mendatanginya dan melakukan sejumlah ritus seolah-olah mereka sedang benar-benar menjalankan ibadah haji.

 

Tentu saja secara ‘syar’i, yuridis formal’, mereka tak bisa dianggap telah berhaji. Tapi sekurang-kurangnya mereka memperoleh kemungkinan ekonomi untuk sungguh-sungguh berangkat ke Tanah Suci yang asli.

 

Alhamdulillah, Islam punya kecenderungan besar untuk memudahkan pemeluk-pemeluknya. Kalau tak sanggup berdiri dalam menjalankan shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk, silahkan berbaring. Begitu juga haji.

 

Sementara ini ‘pangkat’ saya barulah penggembira, ikut bahagia ada fenomena peribadatan bernama haji. Ikut senang banyak orang berbahagia naik haji. Ikut bergembira dan menginternalisasikan — secara ‘platonis’ — ide-ide, gagasan, metode, tarikan, modus, serta pengembaraan rohaniah yang sedemikian total mewahidkan tiga dimensi esensial kehidupan manusia: kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

 

Haji adalah — atau kita sebut: semestinya — puncak totalitas penyatuan antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi: juga lebih dari sekedar ‘romantisme pengembaraan kultural’. Bukan aksesori keperluan politik, status dan kebanggaan sosial.

 

Adapun saya, tergolong di antara ratusan juta ummat Islam yang belum atau tidak pernah naik haji, sehingga hanya bisa ‘menabuh beduk’ dari kejauhan: Betapa benar mauatan inisiatif-Mu ya Allah. Betapa baik kandungan anjuran-Mu, ya Allah. Labbaika allahumma labbaik!

 

Nyayian cinta, lagu-lagu rindu, yang dilantunkan oleh jutaan hamba-Mu di tanah suci pada hari-hari haji, ditampung oleh ribuan malaikat dan diangkut ke langit, diserahkan kepada-Mu dengan deraian air mata syukur. Adapun Engkau abaikan kami-kami yang belum atau tidak sanggup berangkat ke rumah-Mu?

 

Padahal rasa rindu kami terlebih-lebih dari berlipat-lipat karena jarak ketidakmampuan kami. Padahal kalau saudara-saudara kami di tanah suci-Mu meneriakkan nama-Mu, kami memekikkannya. Di dalam kejauhan jarak ini tangis kami adalah hujan sunyi yang hanya Engkau belaka yang sanggup mendengarkannya. Jadi bolehlah kiranya dari rumah melarat di kampung kami sendiri, kami mendendangkan lagu Labbaika allahumma labbaik! Labbaika allhumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik!

 

Haji Dan ‘Tarian’ Sunnatullah

 

Haji adalah sebuah kemewahan ekonomi, bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari Tanah Suci. Tatkala para penempuh haji berpakaian ihram, mereka ‘melompat’ naik ke taraf transendensi budaya: menanggalkan status sosial, kedudukan, tingkat-tingkat jabatan dan profesi. Metode itu membawa manusia kembali ke kefitrian, ke otentisitas dan kesejatian dirinya.

 

Pada pengalaman berhaji, mungkin seseorang menjadi mengerti bahwa jati diri bukanlah to be pada tataran-tataran sosial-budaya, sebab itu semua hanyalah cara atau jalan menjadi seseorang, sesuatu atau ‘aku’ yang lebih sejati, lebih kualitatif, atau lebih berorientasi ke universalitas nilai ‘Aku primer’ manusia bukan ‘aku pedagang’, ‘aku partai’, ‘aku status sosial’: sebab puncak dari semua jenis ‘aku’ tersebut pada akhirnya adalah aku manusia.

 

Di dalam Islam, ‘aku manusia’ meningkatkan dirinya menjadi aku ‘Abdullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku wakil Allah’, kemudian meningkat atau lebih menginti lagi.

 

Ketika mereka berputar mengelilingi Ka’bah, yang mereka lakukan seolah-olah adalah tarian sunnatullah: gerakan pada inti atom atau sel, atau koreografi bintang-bintang, planet dan satelit; yang pada perspektif kesadaran local manusia hal itu menciptakan ikhtilafillaili wannahar, pergantian siang dan malam.

 

Haji dan Esensialisasi Diri

 

Dan tatkala para hamba Allah itu bersujud, yang mereka sembah bukanlah Ka’bah, melainkan merupakan simbolisasi ahad dan wahid. Ahad itu satu-Nya Allah, dan wahid itu penyatuan semua kuantitas indidividu manusia dan keummatan manusia, serta semua sistem kualitas nilai dirinya, pada satu mata air, yang menjadi sumber dan sekaligus muara segala sistem eksistensi.

 

Proses penegakan ‘ahad’ dan penempuhan ‘wahid’ itu disebut tauhid. Proses penyatuan. Menyatukan diri dengan Allah. Proses penyatuan diri dengan Allah itu ditempuh melalui metode transdimensi: status sosial, kedudukan budaya, bahkan pada akhirnya unsur biologis manusia harus ditanggalkan, karena ia bersifat sangat relatif dan temporer.

 

“Barangsiapa mendambakan kesatuan dengan-Ku, hendaklah ia berbuat baik….”, dalam pergaulan sehari-hari, melalui lembaga, partai, birokrasi dan apapun, meski dalam bentuk yang seolah-olah ‘non-agama’. Artinya, pertemuan dengan Allah tidak dalam keadaan biologis dan budayawi, melainkan ketika kita telah menjadi cahaya rohani, yakni telah menjadi inti perbuatan baik itu sendiri.

 

Ibadah shalat, puasa dan haji, juga landasan syahadat — kesadaran dan ikrar eksistensi manusia — adalah juga metode pengatmosfiran diri menuju kesadaran ‘ahad’ dan ‘keberadaan’ ‘wahid’. Namun peristiwa haji adalah kemewahan, adalah puncak dari segala kemungkinan semacam itu.

 

Dengan itu semua saya membayangkan bahwa menjalankan ibadah haji adalah kesempatan ‘mencicipi’ peristiwa pencintaan langsung dengan Allah, melalui sejumlah tahapan sublimasi, kristalisasi dan universalisasi dan esensialisasi diri.

 

Bermilyar-milyar kekasih Allah adalah penari-penari dan Allah adalah pusat tarian agung di mana Ia berkata — “Kalian kekasihku, semua kalian kekasihku, mendekatlah, mendekatlah kemari, berkerumunlah di seputarku. Akan kutaburi wajah kalian dengan cahaya sehingga seluruh keberadaan kalian akan bergelimang cahayaku. Dan nanti akan kubukakan wajahku, agar kalian melihat betapa indahnya Aku….”

 

Dengan demikian mestinya haji adalah produk dari proses kualifikasi diri seeorang muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan — tentu saja — pada mulanya ikrar syahadatain.

 

Syahadat memfokuskan diafragma idealisme hidup. Shalat mencahayai kejernihan. Obyektivitas akal, keseimbangan mental, ketulusan hati dan ketenteraman jiwa. Zakat melatih kesadaran bahwa “susu kambing harus diperah untuk anak-anaknya atau makhluk lain”, karena dalam harta yang kita miliki terdapat milik orang lain. Puasa membuat manusia jadi pendekar kehidupan. Dan haji adalah madu dari semuanya.

 

Madu bukan makanan bukan minuman: di antara keduanya. Haji pun adalah titik sublim dari seluruh proses peribadatan dan tradisi baik manusia. Maka apakah haji seseorang mabrur atau tidak, jawaban pastinya ada di tangan Allah, karena dia yang punya otoritas tunggal untuk menerima atau menolak.

 

Tapi gejala kemabruran haji seseorang, bayangannya, pantulannya, barangkali bisa dijumpai pada output sosial seorang haji. Pertanyaan itu sederhana: apakah sesudah haji, ia adalah madu bagi tetangga-tetangganya, bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa dan negara?

 

‘Menjadi madu’ itu punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi kemaslahatan umum. Dalam hal ini saya tidak bersedia ‘ngrasani’ tentang kualitas madu haji-haji kita. Kaum haji adalah tingkat manusia yang semestinya paling pandai bercermin diri.

 

Haji dan Kesusahan

 

Tetapi dengan perspektif itu kita masing-masing bisa kembali mengevaluasi. Misalnya seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman haji seorang merupakan peristiwa agama. Dan seberapa jauh ia ‘hanya’ merupakan peristiwa sosial.

 

Kalau seorang ‘gugup’ menaruh gelar haji di depan namanya, ia semata-mata kasus sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau berhaji diinstrumentalisasikan untuk kepentingan politik pribadi, untuk aksesoris kultural, atau untuk menambah ‘peci’ reputasi.

 

Kita yang naik haji dengan fasilitas mewah, tentu identitas dan ragam pengalaman batin kita akan kalah dengan dibanding nenek moyang kita yang berhaji berbulan-bulan dengan kapal. ‘Penderitaan’ dalam perjalanan haji secara psikologis bias merupakan ‘asset’ dari kualitas penghayatan ibadah haji, meskipun agama tidak menganjurkan agar Anda hidup untuk mencari penderitaan.

 

Tetapi saya tidak tahu apakah kalau penderitaan para jamaah haji itu ‘disengaja’ oleh berbagai keputusan birokrasi resmi perjalanan haji — dari standar harganya yang makin tidak meringankan hingga jenis-jenis korupsi kecil-kecilan yang besar yang lain — akan membuat para birokrat kita memperoleh pahala. Hanya karena tindakan mereka bisa memungkinkan intensifikasi penghayatan kehajian para jamaah.

 

Tetapi saya memang pernah mendengar isi pidato birokrat haji: “Kalau saudara-saudara mengalami kesusahan-kesusahan selama proses akan naik haji, ambillah hikmahnya, karena di Tanah Suci nanti akan ada kesulitan yang lebih besar dan serius….”

 

Haji dan Kiai

 

Kadar peristiwa haji sebagai pengalaman agama dan pengalaman sosial biasa, mungkin bisa kita cari indikatornya juga dari makna sosiologi haji dengan kiai.

 

Ada ratusan ribu haji dan kita bisa ‘melupakannya’, sementara ada tidak banyak kiai namun kita tak bisa melupakannya. Secara kultural kiai lebih ‘berwibawa’ dan lebih menjanjikan kualitas hidup dibanding haji. Padahal haji adalah produk agama, sementara kiai adalah produk masyarakat.

 

Kalau seseorang disebut haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi kalau seseorang disebut kiai, ada berbagai dimensi yang dikandungnya: kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian, dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitas-kapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin sama sekali tak terasosiasikan ketika seseorang disebut haji.

 

Kenapa secara sosiologis haji ‘kalah wibawa’ dibanding kiai? Kenapa syarat dan konvensi keulamaan seseorang lebih diwakili idiom kiai dibanding haji? Kalau disebut H. Bur, tak begitu terdengar di telinga. Tapi kalau ditambah menjadi KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?

 

Mungkin karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam kehidupan nyata. Mungkin. []

 

Arsip dan dokumentasi Progress. Pernah dimuat di Majalah MATRA No 71, Juni 1992, halaman 68-69.

(Tokoh of the Day) KH. Mursyid Abdul Ghoni atau Mbah Ahmad Sadjadi, Surakarta - Jawa Tengah


KH. Mursyid Abdul Ghoni atau Mbah Ahmad Sadjadi, Surakarta - Jawa Tengah

 



 

Semenjak kecil, almarhum KH Abdul Ghoni gemar mengembara untuk menimba ilmu di berbagai pesantren di tanah Jawa. Riwayat pendidikannya dimulai di madrasah diniyyah ibtida’iyyah Tegal Sari Sala.


Kemudian beliau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni di Madrasah Tsanawaiyyah dan Aliyyah Mamba’ul Ulum Sala, dan lulus tahun 1939. Selain pendidikan formal, beliau yang haus ilmu, memperdalam ilmu agama dengan nyantrik ke beberapa pondok pesantren. Di antaranya di Jawa Timur beliau pernah ngaji di Pesantren Termas Pacitan (tahun 1940) yang diasuh Raden Sayyid Hasan dan Kiai Hamid bin Abdullah, Pesantren Mojosari Nganjuk yang dipimpin Kiai Zainuddin, dan Pesantren Tebu Ireng Jombang. Di pesantren yang disebut terakhir tadi, Mbah Sadjadi mengkhususkan untuk mengkhatamkan kitab hadist Shohih Bukhori.


Di Jawa Tengah, ia pernah nyantri di Pesantren Lasem asuhan Mbah Kiai Ma’sum, Pesantren Watucongol Muntilan asuhan Kiai Dalhar, dan Pesantren Bustanul Usyaqil Qur’an Demak asuhan Kiai Raden Muhammad bin Mahfudz at-Tirmizi. Di pesantren ini, ia berhasil menghafalkan Al-Qur’an selama 3 tahun (1941-1944). Ia juga pernah nyantri di Serang Banten di bawah bimbingan Kiai Haji Syam’un.


Tak heran jika akhirnya Kiai Abdul Ghoni, atau yang lebih akrab disapa Mbah Sadjadi ini menjadi ulama yang sangat luas ilmunya. Ia menguasai berbagai macam keilmuan, seorang hafidul qur’an, ahli tafsir, ahli hadist, dan juga seorang ahli fiqih. Kiai Sadjadi menguasai ilmu perbandingan fiqih 4 mazhab.


Aktif berdakwah dan berorganisasi


Kiai Sadjadi sejak 1977 berada di lingkungan masjid M Tohir, Yosoroto Laweyan Solo. Dua tahun kemudian ia dipercaya untuk tinggal di masjid Yosoroto. Dan sejak itulah, para tamu dari thariqah asy-Syadziliyyah banyak yang berkunjung ke masjid. Setiap hari, puluhan orang bertamu ke Yosoroto.


Menurut cerita dari KH Adib Zain, Sekretaris Jendral JATMAN, salah satu pengganti mursyid thoriqoh asy-Syadziliyyah, usai KHR Ma’ruf Mangun Wiyoto wafat, diantaranya adalah Mbah Sadjadi yang di usia lanjutnya dikenal dengan sebutan KH Abdul Ghoni.

 

Ijazah Mbah Sadjadi diperoleh dari Kiai Ma’ruf dan Kiai Ahmad Abdul Haq, pengasuh Pondok pesantren Watucongol Muntilan.


Saat mengemban amanah di masjid Yosoroto, kiai yang juga dikenal sayang dengan anak-anak dan selalu berusaha shalat berjama’ah ini, mengadakan banyak kegiatan keagamaan, di antaranya adalah sema’an Al-Qur’an yang diselingi dengan penjelasan ayat yang dibaca, rutin setiap malam Rabu. Dan, khusus pada malam Rabu terakhir diselingi dengan pembacaan shalawat Burdah karya Imam Bushiri.


Mbah Sulaeman Tanon Sragen, salah satu santri Kiai Umar Al-Muayyad bercerita, ketika masih mondok di Al-Muayyad beliau sering disuruh untuk sema’an di masjid Yosoroto. Menurutnya, banyak kitab yang telah diserap dari lisan sang kiai, di antaranya tafsir Jalalain, Riyadus Shalihin dan lainnya.


Selain mengajar di Yosoroto, Kiai Sadjadi juga mengajar santri-santri Al-Muayyad. Kitab yang diajarkannya adalah tentang perbandingan madzhab “Al-Mizanul Kubro” karya Syekh Abil Mawahib bin Ahmad bin Aly al-Anshory. Sedangkan di Masjid Tegalsari Solo beliau mengajarkan Tafsir Jalalain, matan ghoyah wat taqrib dan Jawahirul Bukhori.


Tidak hanya itu, ternyata Kiai Sadjadi juga seorang dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta sejak 1947-1987. Pernah bergabung dalam Laskar Sabilillah Kota Surakarta (1946), juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kota Surakarta dari fraksi NU (1964-1965) dan menjabat mustasyar NU Kota Surakarta (1987). Sampai akhir hayat pada tahun 1987, beliau terus mengabdi untuk masyarakat.


Sabtu Pon 21 Maret 1987 bertepatan dengan 22 Rajab 1407 H sekitar pukul 19.00 WIB. Beliau pergi dalam usia 68 tahun. Kepergiannya membawa duka bagi keluarga, sahabat, para ulama dan santri-santri beliau. Kiai Sadjadi meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Chammah Sadjadi, 5 putra dan 3 putri.


Ada beberapa kesaksian menarik saat prosesi pemakaman beliau. Sebagaimana dikisahkan Ibu Nyai Hj. Baidhowi Syamsuri (istri KH Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo) dan juga KH Abdul Karim Ahmad yang menyaksikan kepergian beliau. Saat keranda beliau diangkat oleh para santri dan keluarga secara silih berganti, keranda terasa ringan.


Orang-orang yang membawa keranda Kiai Sadjadi seakan berlari-lari sambil bershalawat burdah, “Karena ringannya keranda almarhum, yang mengangkat tak bisa menahan kakinya untuk berlari.” Kata KH Abdul Karim. Menurut Kiai yang akrab disapa Gus Karim, itu merupakan pertanda bahwa almarhum sudah tidak sabar ingin bertemu Allah swt, “Para Malaikat penyambut almarhum juga sudah tak sabar menunggu pecinta shalawat itu.” []

 

Ajie Najmuddin, disarikan dari tulisan A. Himawan asy-Syirbany di Tabloid TAJAM Jamuro

(Ngaji of the Day) Musyawarah Ujung Tombak Pergaulan


Musyawarah Ujung Tombak Pergaulan

 

Tugas pengrajin meja dan kursi memotong, membelah kayu, dan membentuk produknya. Mereka juga harus memakunya agar bentuk yang sudah jadi tidak berantakan seperti tumpukan potongan kayu bakar di sudut dapur.


Jelas ini tugas mereka. Jangan sekali coba selain mereka melakukan. Kalau itu terjadi, maka meja dan kursi akan kehilangan bentuknya. Sekurang-kurangnya menjadi bahan tertawaan anak-anak. Karena, kegiatan memaku dan memotong kayu ada ilmunya sendiri. Menggergaji pun pakai ilmu. “Serahkan kepada ahlinya,” kata pepatah. Setuju. Agar, sabda orang bijak itu ada benarnya. ingat, keahlian tidak berkaitan dengan gelar jabatan di kantor, kampus, atau pasar. Keahlian semata urusan ketelatenan.


Selesai tugas, mereka lepas tangan dari penggunaan meja dan kursi yang dibuatnya. Mereka tidak tahu kalau suatu saat meja dan kursi digunakan untuk belajar, makan, menunjang komputer, atau lain-lain keperluan. Tetapi mereka juga tidak mengira kalau tempo-tempo kursi itu dilempar atau meja dibanting seorang suami yang tengah sewot terhadap istrinya atau anak kolokan yang durjana kepada orang tuanya.


Meskipun tidak harus, meja dan kursi bisa saja dipakai untuk musyawarah dalam menentukan persoalan. Meja dan kursi sangat penting di sini sepenting musyawarah itu sendiri. Musyawarah diperlukan untuk menentukan duduk persoalan. Persoalan apapun. Mencari maslahat dan mengusir mafsadat tentu mesti duduk bareng. Tanpa musyawarah, seseorang akan berbuat sekenanya sendiri. Ia akan liar dan idiot di tengah masyarakat.


Karena pentingnya peran musyawarah, agama sangat menenkankan praktik musyawarah kepada umat manusia. Dalam kitab Al-Azkar, Imam Nawawi menyebut perihal itu.


قال الله تعالى وشاورهم فى الأمر والأحاديث الصحيحة فى ذلك كثيرة مشهوره. وتغني هذه الأية الكريمة عن كل شئ، فإنه إذا أمر الله سبحانه وتعالى فى كتابه نصا جليا نبيه صلى الله عليه وسلم بالمشاورة مع أنه أكمل الخلق، فما الظن بغيره؟

“Allah berfirman, ‘Hendaknya kamu (Muhammad) bermsyawarah dengan mereka dalam suatu urusan’.

 

Sementara hadis sahih perihal musyawarah ini banyak sekali dan terkenal. Satu ayat mulia ini cukup memadai untuk menyebutkan yang banyak itu. Perhatikan, dalam kitab-Nya dengan nash yang terang Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah. Kalau Nabi-Nya sebagai makhluk paling mulia diperintah untuk itu, apalagi yang bukan Nabi?”


Musyawarah menjadi tiang pergaulan antaramanusia dari pergaulan seluas-luasnya hingga yang terkecil antara suami-istri dan orang tua-anak. Tanpa dialog terbuka untuk menetapkan masalah dan kesepakatan tertentu, arus pergaulan menjadi kusut. Kalau tidak cekcok terus menerus, sekurang-kurangnya satu sama lain merajuk tanpa penjelasan. Dan musyarawah baru pintu pertama dalam kehidupan bersama. Sedangkan konsisten atas hasil musyawarah menjadi pintu selanjutnya. Wallahu a‘lam. []


Penulis: Alhafiz Kurniawan

Kamis, 26 September 2013

(Do'a of the Day) 21 Dzulqa'dah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma lakal hamdu hamdan yuwaafii ni'amaka, wa yukaafi'u maziidaka, ahmaduka bi jamii'I mahaamidika maa 'alimtu minhaa wa maa lam a'lam 'alaa jamii'I ni'amika maa 'alimtu minhaa wa maa lam a'lam, wa 'alaa kulli haalin.

 

Ya Allah, bagimu segala puja dan puji, puji yang yang bertaut dengan nikmat dan puji yang menambah nikmat karena bersyukur. Aku persembahkan pujian kepada-Mu dengan sekuruh jenis pujian yang baik yang aku ketahui dan yang tidak kuketahui atas nikmat-Mu, baik yang aku ketahui dan yang tidak kuketahui atas segala keadaan.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Kelima.

Sendiri Menopang Pagi

Gerimis dingin mengguyur bumi, membuat dia sedikit ragu untuk melangkah lagi. Tangan kanan menopang kepala, membuat semakin berat kaki melangkah. Ayo, semangat kak...

(Hikmah of the Day) Syair-syair Hikmah KH Wahid Hasyim (2)


Syair-syair Hikmah KH Wahid Hasyim (2)

 

Ketokohan KH Abdul Wahid Hasyim tentu sulit diingkari. Dalam usia 21 tahun, Wahid muda sudah membuat terobosan-terobosan cemerlang di dunia pendidikan, utamanya pesantren.


Ketika bergabung di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), usianya baru genap 25 tahun. Namun setahun kemudian, Wahid justru mengetuai federasi organisasi massa dan partai Islam ini.


Karir perjuangannya menanjak cepat. Wahid turut memimpin PBNU, menjadi anggota BPUPKI, dan akhirnya ditunjuk sebagai menteri agama. Artinya, selain berjihad menumpas kaum penjajah, Wahid terlibat aktif dalam segenap tahapan paling menentukan dalam proses pendirian negara.


Masa-masa hidup Wahid hampir dihabiskan seluruhnya dengan penuh manfaat. Ulama dan tokoh nasional ini tutup usia pada 19 April 1953, sebelum ulang tahunnya yang ke-38 diperingati. Berikut ini adalah sejumlah syair inspiratif pegangannya, yang sarat pesan perjuangan, kerja keras, penghargaan atas waktu, cita-cita, serta keinsafan tentang dinamika hidup.

 

وَلَمْ أَجِدِ الْإِنْسَانَ إِلاَّ ابْنَ سَعْيِهِ # فَمَنْ كَانَ أَسْعَى كَانَ بِالْمَجْدِ أَجْدَرَا

وَبِاْلهِمَّةِ العُلْيَا تَرَقَّى إِلَى العُلىَ # فَمَنْ كَانَ أَعْلَى هِمَّةً كَانَ أَظْهَرَا

وَلَمْ يَتَأَخَّرْ مَنْ أَرَادَ تَقَدُّماً # وَلَمْ يَتَقَدَّمْ مَنْ أَرَادَ تَأَخُّرَا

 

Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.

 

وَلَا تَحْتَقِرْ كَيْدَ الضَّعِيْفِ وَرُبَّمَا # تَمُوْتُ الأَفَاعِي مِنْ سُمُومِ العَقَارِبِ

وَقَدْ هَدَّ قِدْماً عَرْشَ بُلْقِيْسَ هُدْهُدٌ # وَخَرَّبَ حَفْرُ الفَأْرِ سَدَّ الْمَأرِبِ

 

Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh.

 

وَمِنْ عَادَةِ اْلأَيَّامِ أَنَّ خُطُوْبَهَا # إِذَا سُرَّ مِنْهَا جَانِبٌ سَاءَ جَانِبُ

 

Sudah menjadi tabiat waktu, membahagiakan satu pihak akan menyedihkan pihak lainnya.

 

بِذَا قَضَتِ الْأَيَّامُ مَا بَيْنَ أَهْلِهَا # مَصَائِبُ قَوْمٍ عِنْدَ قَوْمٍ فَوَائِدُ

عَرَفْتُ سَجَايَا الدَّهْرِ أَمَّا شُرَوْرُهُ # فَنَقْدٌ وَأَمَّا خَيْرُهُ فَوعُوْدُ

 

Begitulah waktu menentukan takdir untuk penghuninya (manusia). Musibah bagi sekelompok orang adalah keberuntungan bagi kelompok lain. Aku sudah mafhum dengan kelakuan zaman yang sekilas ini: keburukannya merupakan kritik, sedangkan kebaikannya hanyalah janji.

 

فَإِنَّ غُبَارَ الصَّافِنَاتِ إِذَا عَلاَ # نَشَقْتُ لَهُ رِيْحاً ألَذُّ مِنَ النَّدِّ

وَرَيْحَانَتِي سَيْفِيْ وَكَأْسَاتُ مَجْلِسِيْ # جَماَجِمُ سَادَاتٍ حِرَاصٍ عَلَى الْمَجْدِ

 

Ketika debu kavaleri berhamburan, aku justru menghirup keharuman yang melampaui wangi kemenyan. Semir mata pedang dan gelas-gelas di meja rapatku pun menjelma tengkorak para pembesar (musuh) yang rakus kejayaan.

 

جَزَى اللهُ خَيْراً كُلَّ مَنْ لَيْسَ بَيْنَنَا # وَلَا بَيْنَهُ وُدٌّ وَلَا مُتَعَرِّفُ

فَمَا نَالَنِي ضَيْمٌ وَلَا مَسَّنِي أَذَى # مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مِنْ فَتَى كُنْتُ أَعْرِفُ

 

Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada setiap manusia yang belum saling sayang dan saling kenal. Tak pernah aku mengeluh dan diterpa kesulitan kecuali dari orang yang sudah aku kenal.

 

وَلَدَتْكَ أُمُّكَ يَابْنَ آدَمَ بَاكِياً # وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا

فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَواْ # فِيْ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْرُوْراً

 

Saat bunda melahirkanmu, engkau menangis, sementara orang-orang sekeliling menyambutmu dengan tawa gembira. Berjuanglah, hingga saat mautmu tiba, mereka manangis, sementara engkau tertawa ria. [] Mahbib Khoiron

 

Dikutip dan diterjemah ulang dari KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011

(Ngaji of the Day) Syiar Agama dan Politik Populasi


Syiar Agama dan Politik Populasi

Oleh: Ahmad Dairobi

 

Konon, Firaun-lah yang mula-mula menerapkan kebijakan politik berupa tahdidun-nasl, atau pembatasan populasi, dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana telah maklum, Firuan menghabisi bayi-bayi lelaki Bani Israil dan membiarkan bayi perempuan mereka hidup, sebagai strategi politik untuk melanggengkan kekuasaannya.


Kalau dilihat dari sudut pandang agama, kebijikan pembatasan keturunan memang kurang pas dengan beberapa nilai ajaran. Dalam Islam, terdapat banyak anjuran agar seseorang memperbanyak keturunan. Jumlah yang besar memiliki sisi yang penting sebagai syiar atau simbol kekuatan. Islam memiliki perhatian yang cukup besar terhadap kesan ini, misalnya melalui syariat salat, jemaah, salat Jumat, salat Id, dan wuquf di Arafah. Momen-momen ibadah tersebut, memiliki sisi pengesanan kuantitas yang kuat, besar, kokoh dan bersatu.


Perhatian utama Islam tentu saja pada kualitas. Namun demikian, Islam juga memilik perhatian yang sangat besar terhadap kuantitas. Hal itu tergambar dengan sangat jelas dalam sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya aku membangga-banggakan jumlah banyak kalian terhadap umat-umat yang lain di hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban).


Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathur-Bari dan Imam asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat menyatakan bahwa memperbanyak keturunan kaum muslimin merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Hal ini termasuk bagian dari maqasidus-syari'ah yang berupa hifzhun-nafs (menjaga keberlangsungan hidup). Oleh karena itu, Islam mensyariatkan pernikahan, melarang perzinahan, pengebirian (kasim), aborsi dan kehidupan membujang aja biarawan. Termasuk juga memakruhkan suami melakukan tindakan 'azl (mencabut zakar sebelum ejakulasi/mengeluarkan sperma di luar rahim).


Mengenai penggunaan terapi atau obat-obatan pencegah kehamilan, Syekh Izuddin bin Abdissalam menyatakan, “Tidak boleh bagi perempuan (juga lelaki) menggunakan obat-obatan untuk mencegah kehamilan.” Namun demikian, menurut Imam Syihabuddin ar-Ramli dalam Nihayatul-Muhtaj, ada ulama lain yang menyatakan bahwa hukum tindakan tersebut sama halnya dengan 'azl (makruh). Ar-Ramli juga memberikan catatan bahwa pendapat yang tidak memperbolehkan tindakan tersebut seharusnya diarahkan pada obat pencegah kehamilan yang bersifat permanen. Sedangkan yang bersifat sementara, lebih tepatnya disamakan dengan 'azl (berhukum makruh).


Inilah hukum aslinya secara fikih. Dalam kondisi tertentu, hukum tersebut bisa berubah sesuai tuntutan kondisi, misalnya bila tindakan pencegah kehamilan atau pembatas keturunan dilakukan karena faktor ekonomi, pendidikan atau menjadi kebijakan penguasa yang diterapkan secara umum untuk menekan laju populasi penduduk yang meningkat dengan cepat. Masalah ini termasuk permaslahan masa kini yang tidak muncul pada masa hidup pada para ulama salaf dahulu. Maka, jelas melahirkan perbedepatan dengan sudut pandang yang amat beragam.


Syekh Abdul Majid Salim, mufti Diyar Mishriyah, pada tahun 1355 H. mengeluarkan fatwa memperbolehkan pencegahan kehamilan karena alasan-alasan tersebut. Ha itu, apabila suami-istri sudah sepakat dan pencegahannya hanya bersifat sementara. Jika pencegahan itu bersifat permanen, maka haram, baik untuk istri atau suami.


Syaikhul-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat kebijakan membatasi keturunan, karena hal itu bertentangan dengan fitrah manusia dan sunnatullah. Namun, jika hal itu dilakukan oleh perorangan dalam bentuk pengaturan kelairan karena faktor kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan semacamnya, maka hal itu tidak bertentangan dengan syariat dan fitrah manusia. Menurut beliau, itu boleh-boleh saja, atau bahkan bisa dianggap baik.


Syekh Abdullah al-Qalqili, Mufti Yordania, menyatakan bahwa Islam memang menganjurkan pemeluknya untuk memperbayak anak. Namun, hal itu terkait erat dengan kondisi di masa lampau, di mana Islam saat itu sangat membutuhkan kuantitas pemeluk sebagai syiar dan tiang kekuatan politik-militer. Semantara, kondisi saat ini justru sebaliknya.


Menurut beliau, persoalan ekonomi, kepadatan penduduk, juga kualitas pendidikan yang dihadapi umat Islam saat ini menyebabkan perlunya pengaturan kelahiran atau pembatasan keturunan.


Nalarnya, menurut al-Qalqili, berangkat dari Hadis bahwa Rasulullah SAW menganjurkan nikah bagi pemuda yang memiliki kemampuan ekonomi. Sedangkan, untuk pemuda yang tidak mampu, beliau menganjurkan puasa, menahan nafsu. Jika persoalan ekonomi menyebabkan seorang lelaki boleh membujang, maka pembatasan anak lebih boleh lagi.


Pendapat al-Qalqini ini bertentangan dengan Syekh Yusuf az-Zawawi, mufti Trengganu Malaysia. Beliau menyatakan, kebijakan pembatasan anak karena alasan ekonomi tidak dapat diterima dalam pandangan syariat. Sebab, Islam sangat menganjurkan kepada pemerintah dan masyarakat agar memperbanyak keturunan supaya kaum muslimin terlihat kuat di hadapan umat-umat yang lain.


Pandangan senada dengan az-Zawawi banyak muncul dari kalangan ulama Wahabi. Rata-rata mereka menolak pembatasan anak karena faktor ekonomi, sebab sudah dengan sangat jelas dinyatakan dalam al-Qur’an, bahwa urusan ekonomi ditanggung oleh Allah SWT. Abdul Aziz bin Baz, ulama Wahabi yang sangat masyhur, secara khusus menaggapi pernyataan al-Qalqili sebagai argumentasi dan nalar yang aneh. Nalar tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang shahih mengenai anjuran memperbayak anak dan bahwa rezeki mereka ditanggung Allah SWT. Lebih dari itu, ulama Wahabi yang lain, Muhammad Jamil Zainu, menyatakan bahwa ketakutan dalam mesalah ekonomi merupakan bisikan yang sering didengungkan oleh setan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 268.


Bahkan beberapa ulama Wahabi menengarai bahwa meluasnya kabijakan penekanan angka kelahiran di berbagai negara Islam sejak 1950-an merupakan strategi yang dihembuskan oleh orang-orang Yahudi dan musuh-musuh Islam untuk melemahkan kekuatan kaum Muslimin. Populasi umat Islam yang terus meningkat menggoreskan kengerian di hati mereka. Pada tanggal 21 Juli 1969, Herri Kissinger, penesehat keamanan Amerika Serikat di era pemerintahan Nixon menyatakan di hadapan senat, “Pesatnya populasi di Dunia Ketiga merupakan ancaman bagi kemanan bangsa Amerika.”


Selanjutnya, pernyataan tersebut dipertajam oleh stafnya, Brent Scow Croft, sampai-sampai dia melontarkan wacana agar Amerika Serikat berupaya mengurangi populasi di Dunia Ketiga dengan cara perang dan penyebaran virus epidemik. (Jaridah al-Khalij edisi 6/9/1995).


***


Menyikap pro-kontra tersebut, sebaikanya kita mempertimbangkan keadaan nyata yang sedang dialami, dengan disertai keyakinan yang benar, niat yang baik dan landasan yang kuat. Sebab, berbagai sudut pandang di atas sama-sama memiliki nalar rasional dan layak dijadian pertimbangan. Oleh karena itu, pertimbangan selanjutnya terserah Anda... “Li kulli unasin fi ba’rihim khubrah; Masing-masing orang lebih tahu tentang ciri khas untanya.” Demikian kata pepatah Arab. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 66, Halaman 17 – 20.

Rabu, 25 September 2013

(Do'a of the Day) 20 Dzulqa'dah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma ana 'abduka wabnu 'abdika, ataituka bi dzunuubin kabiiratin wa a'maalin sayyi'atin, wa haadza maqaamul aa'idzi bika minan naari, faghfir lii innaka antal ghafuurur rahiimu.

 

Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, aku datang menghadap-Mu dengan membawa dosa-dosa yang besar dan amal-amal yang jahat, sedangkan ini adalah tempat memohon perlindungan kepada-Mu dari neraka, maka ampunilah kesalahanku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Keempat.

Gus Mus: Kyai Pesantren dan Perubahan Zaman


Kyai Pesantren dan Perubahan Zaman

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

 

 
Mengapa ada kyai pesantren? Mengapa ada orang yang mau mengorbankan tenaga, pikiran dan hartanya untuk masyarakat? Mengapa ada orang yang bersedia mendidik anak-anak orang tanpa dibayar? Mengapa ada orang yang ikhlas menunjukkan jalan mereka yang tidak ingin tersesat dan siap menampung keluh-kesah mereka yang gelisah?

 

Jawabnya, tentu saja tidak sesederhana mubalig menyitir dalil. Karena ada janji Allah bagi mereka yang berjuang fii sabiiliLlahi biamwaalihim wa anfusihim akan mendapatkan pahala yang luar biasa. Karena ada sabda Rasulullah SAW “Man lam yahtam biamril mu’miniina falaisa minhum” (Barangsiapa tidak memperhatikan urusan orang-orang mukmin, maka dia tidak termasuk golongan mereka). Atau, karena dalil-dalil lain yang menyarankan untuk berbuat baik kepada orang.


Dalil-dalil itu ”hanyalah” semacam motivasi. Kondisi masing-masing pribadi yang bersangkutanlah yang lebih menentukan. Kondisi yang memenyebabkan dirinya mudah termotivasi oleh dalil-dalil mulia agama itu. Kondisi al-mu’minul qawwiy, mukmin yang kuat. Memiliki cukup ilmu, kearifan; kemuliaan akhlak; kesungguhan dan ketekunan, kepekaan sosial dan kaya terutama secara batin.


Mungkin dari sudut ilmu, yang bersangkutan tidak terlalu istimewa, tapi pemahaman tentang inti ajaran agamanya mendalam. Sehingga dengan demikian, muncul dari dirinya kearifan, perilaku yang terpuji dan kepekaan sosial yang tinggi. Mungkin dari sudut harta, tidak terlalu kaya; tapi sikap qana’ah dalam dirinya menjadikannya seorang yang ”kaya raya dari dalam” atau kaya secara batin. (Kalau kaya dalam pengertian umum, yakni memiliki banyak materi, saya sebut ”kaya dari luar”. Kaya dalam bahasa Arab disebut ghaniy, kebalikannya ialah faqiir. Ghaniy memiliki arti tidak butuh, sedang faqiir berarti membutuhkan. Allah=Al-Ghaniy dan kita hamba-hambaNya=Al-Fuqaraa, orang-orang yang faqiir).


Dari sekian faktor yang disebutkan, boleh jadi faktor kekayaan-dalam dua pengertiannya-merupakan kondisi pendukung yang penting-kalau tidak paling penting-bagi seseorang melakukan peran kemasyarakatan dan pendidikan masyarakat secara ikhlas dan lilllaahi ta’alaa, sebagaimana yang dilakukan kyai pesantren di zaman dahulu.


Lain dahulu lain sekarang. Meski dalil-dalil mulia masih tetap yang itu-itu juga (dari Quran dan Sunnah Rasulullah SAW), namun kekuatannya sebagai motivasi tidak lagi sama seperti dahulu. Kehidupan telah berubah sedemikian rupa. Pandangan terhadap hidup dan kehidupan serta cara dan gaya hidup orang sudah berubah sama sekali. Kaya dari dalam, misalnya, sudah langka kita temukan. Sementara, untuk menjadi kaya dari luar, tidak cukup kesungguhan. Kesungguhan dan ketekunan seperti sudah bertekuk-lutut kepada apa yang disebut sebagai budaya instan. Padahal, iming-iming materi bagi menikmati kehidupan semakin merajalela.


Dari segi sosial-politik, perubahan pun luar biasa. Di zaman Orde Lama, politik menjadi panglima. Di zaman Orde Baru, panglimanya ganti ekonomi. Lalu, di zaman yang konon disebut era reformasi ini, kembali politik menjadi panglima. Bedanya-setelah melewati era Orba yang sangat mendewakan dunia-”sang panglima” pun berupa politik dengan ”rasa ekonomi”. (Artinya, politik yang dapat menunjang perekonomian dan kesejahteraan politisi sekeluarga).


Perubahan melindas semua, tidak terkecuali kyai mubalig; kyai dukun atau kyai pesantren. Tinggal siapa lebih kuat menghadapi semua perubahan itu. Sabda Nabi Muhammad SAW, Al-mu’minu lqawiyyu khairun wa ahabbu ilaLlaahi mina lmu’minidh dha’iif…” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah r.a.). Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.

 

Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

Hubungan Ideologis NU Soekarno


Hubungan Ideologis NU Soekarno

 

Ketika masih menjadi aktivis pergerakan Bung Karno belum mengenal NU bahkan cenderung meremehkan orang Islam pesantren yang dianggap kolot. Apalagi saat itu ia sangat terpengaruh oleh ide-ide Amir Ali, Kemal Attaturk, Abdel Razik dan sebagainya. Dalam kenyataannya Soekarno bayak bersimpati dengan Islam modernis.

 

Begitu menjelang kemerdekaan Bung Barno baru mengenal kelompok pesantren ini secara lebih dekat, karena itu menunjukkan simpati yang besar. Di situ Bung Karno melihat NU adalah kelompok yang nasionalis dan kerakyatan berdasarkan ajaran Islam. Ini sanagat cok dengan ideologinya yang nasionalis dan marhaenis.

 

Sementara terhadap Islam modernis Bung Karno semakin lama semakin mengalami keretakan, terutama setelah kemerdekaan, ketika beberapa elemen kelompok itu terlibat dalam pemberontakan DI-TII dan kemudian PRRI Permesta. Bung Karno merasa mereka bukan teman seideologi, terbukti bersekutu dengan kekuatan asing merongrong keutuhan republik, tidak sedikit di antara pemimpinnya yang ditahan.

 

Sementara NU merasa dekat dengan Bung Karno, bukan karena dia berkuasa tetapi ada kesamaan ideologi yang nasionalistis dan populis. Orang sering salah paham dengan prinsip dasar itu sehingga melihat NU oportunis, hanya mengikuti kebijakan Bung Karno. Padahal NU ikut Bung Karno karena mersa ideologi dan cita-citanya sama. Dalam kenyataannya NU tetap Kritis terhadap kebijakannya.

 

Kiai Waahab misalnya pernah mengatakan dalam pidatonya bahwa, ”Sukarno tanpa NO (NU) akan menjadi Sukar (susah) menjalankan program politiknya. Demikian juga Bung Karno tanpa NO (NU) akan menjadi bongkar (didongkel orang).”

 

Ternyata pernyataan itu ada benarnya, ketika tuntutan NU pada Bung Karno untuk segera membubarkan PKI, karena partai itu selalu menimbulkan ketegangan gontok-gontokan dan konflik sosial di mana-mana. Hubungan NU Bung Karno menjadi renggang, maka saat itu Bung Karno bergerak tanpa NO akhirnya Bung Karno dijatuhkan oleh berbagai kekuatan termasuk kekuatan kolonialisme asing. []

 

(Mun’im)

(Ngaji of the Day) Rakyat Bukan Tumbal Penguasa


Rakyat Bukan Tumbal Penguasa

Oleh: Teguh Ansori*

 

Sampai saat ini banyak fenomena yang sangat memilukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Faktanya, rakyat dari masa kemasa semakin sengsara dan menjadi objek kekuasaan orang-orang elite dan para wakil rakyat.


Mereka dijadi budak-budak, objek-objek pembangunan. yang semestinya bukan budak, bukan objek melainkan subjek yang harus merasakan pelayanan orang-orang elit dan para wakil rakyat. Semakin hari rakyat bukan semakin dientaskan dari kemiskinan, namun sekain hari semakin dijerat, terpuruk dalam kepedihan hidup sebagai budak penguasa.


Belum lagi isu-isu kenaikan BBM yang akan menjadikan gonjang-ganjing kehidupan orang-orang miskin. Sudah barang yang jelas, kenaikan BBM akan membuat perbudakan karena kebijakan yang dibuat oleh penguasa ekonomi politik. Beberapa fakta membuktikan, keputusan fakta yang diambil oleh penguasa cenderung meminggirkan rakyat dan menjadikan budak-budak BBM.


Masih ingat dengan nama Waginem (80) Wadiman (70) dan kasipah (80)? Mereka mengembuskan nafas terakhirnya secara tragis saat antre untuk mendapatkan dana kompensasi BBM. Fakta itu masih saja terusik dalam benak kita, ketika terdengar rencana kenaikan harga BBM.


Sampai sekarang ini kenaikan harga BBM menumbuhkan buntut yang panjang, dan buntut itu manjerat leher orang-orang miskin yang selalu diiming-imingi dengan BLT. Iming-iming ini yang menjadikan beberapa orang menjadi tumbal kenaikan BBM. Lain halnya maut, sebagian besar harus bersusah payah antre berjam-jam, berjalan puluhan kilo hanya demi mendapatkan sepeser BLT. Faktanya lagi, rakyat miskin mendapatkan BLT, harga sembako malah ikut-ikutan naik. Kendati demikian BLT tak bisa lagi menjadi penyambung rakyat miskin.


Pemiskinan Mutlak


Keputusan pemerintah dalam menaikkan BBM adalah untuk menyalurkan BLT yang akan membantu kehidupan para kaum miskin. Namun demikian, BLT tersalurkan keluarga miskin malah semakin tercekik oleh keadaan. Mereka dilemahkan dalam hal sumber daya manusia. Program pemberian hadiah poya-poya secara Cuma-Cuma ini yang akan membuat mereka tidak berdaya. Pemerintah seharusnya memberikan peningkatan sumber daya manusia terhadap keluarga miskin tersebut.


Kemajuan ekonomi perlu diimbangi dengan sumber daya manusia yang cukup. Sumber daya manusia dapat diperoleh dengan kualitas pendidikan yang cukup bukan memberikan BLT. BLT hanya akan menumpulkan daya pikir keluarga miskin, karena akan menciptakan manusia yang bersifat konsumtif. BLT tak lain halnya dengan ganja dan narkoba yang membuat manusia hilang akal dan pasrah terhadap apa yang ada, menidurkan mereka dari dorongan bekerja. Hal demikian yang disebut dengan pemiskinan secara mutlak.


Lebih parahnya lagi, pemiskinan secara mutlak ini masih saja diimbangi dengan kerusuhan dan kecurangan yang tak terkendalikan oleh lembaga. Sejumlah warga miskin yang mengeluh karena tidak mendapatkan jatah BLT, mereka yang mampu malah mendapatkan jatah BLT tersebut.


Tumbal Pembangunan


Tidak ada bedanya antara Orde Baru dan masa reformasi, dua masa yang telah menunjukkan wajah brutal para penguasa. Penguasa yang sewenang-wenang mamperbudak rakyat miskin. Dr. Mochtar Pabotinggi (1998) menegaskan, kita sedang mengalami momen yang lebih terpuruk dibandingkan tahun 1945, 1955, dan 1965. Empat pilar Negara Indonesia sudah mulai dijungkirbalikan dicampur aduk dengan tumpukan sampah. UUD 1945 sudah lama tak ada yang menjalankan, dan yang lebih memiriskan lagi adalah Negara ini berubah menjadi negara kekuasaan bukan Negara hukum.


Repulik Indonesia terancam bahaya penyempitan paham kebangsaan. Tidak lama lagi bangsa Indonesia ini akan mengalami strok dalam seluruh sendi kehidupan bernegara, berbangsa, dan juga bermasyarakat. Bhineka Tunggal Ika dan pancasila tak lagi mampu membendung masalah yang ada. Para penguasa seenaknya bermain politik antas nama jabatan, dan rakyat jelata yang akan merasakan permainan politik itu.


Kenyataan demikian, di tengah kesengsaraan rakyat dan juga kelangkaan BBM, masih ada yang tega menggelapakan dan menyelundupkan demi kepentingan sendiri dan juga kepentingan kelompok. Lain halnya lagi bangunan megah di sana sini terlihat membentang menculang kelangit, namun di sana sini juga masih saja kita temui rakyat yang kelaparan, lumpuh layu, tak berpendidikan, dan juga pencurian.


Merindukan Wakil Rakyat yang Prorakyat


Menurut UUD 1945 yang telah diamandemen, kedudukan rakyat ditempatkan dalam kedudukan yang paling penting dan strategis. Rakyat adalah pemegang kedaulatan Negara. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat. Kendati demikian perlu dipertanyakan sudahkan MPR melaksanakan kedaulatan rakyat dan juga memikirkan kepentingan rakyat?


Selama ini yang kita rasakan adalah rakyat sebagai objek segala keputusan dan ketetapan MPR. Dan hal yang demikian yang membuat rakyat menjadi diperbudak dan dijadikan tumbal keputusan. Rakyat semakin memprihatinkan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah, karena tak melihat dan mendengar apa yang di inginkan oleh rakyat. Keterlibatan rakyat hanya dalam pemilihan umum, dan itupun banyak para caleg yang menyuap dengan uang. Lagi-lagi rakyat diperbodoh dan dimiskinkan secara mutlak. Akibatnya wakil rakyat terus terlibat dalm konflik kepentingan kelompok dan golongan. Ujung-ujungnya rakyatlah yang terlantar, rakyat menjadi budak dan tumbal para penguasa.


* Penulis adalah pengurus Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Selasa, 24 September 2013

(Do'a of the Day) 19 Dzulqa'dah 1434H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaghfir warham wa'fu 'ammaa ta'lamu wa antal a'azzul akramu.

 

Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku dan maafkanlah kesalahanku yang hanya diketahui oleh Engkau, sedang Engkau Maha Mulia.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9, Fasal Keempat.

Dahlan: Tiba Begitu Ruwetnya, Pulang Begitu Indahnya


Tiba Begitu Ruwetnya, Pulang Begitu Indahnya

Senin, 23 September 2013

 

Hampir 3.000 pemain bridge dan keluarga mereka dari seluruh dunia berkumpul di Bali. Mereka lagi bertanding di kejuaraan dunia ke-43 yang berlangsung di Nusa Dua.

 

“Waktu tiba di Bali Anda mungkin mengeluh. Bandaranya ruwet dan jalan menuju Nusa Dua macetnya bukan main,” kata saya dalam pidato pembukaan Kamis lalu.

 

“Tapi waktu Anda-anda meninggalkan Bali minggu depan keadaan sudah berbeda. Anda kembali ke bandara akan melewati jalan baru di atas laut yang sangat indah. Dan Anda akan meninggalkan Bali melalui bandara baru yang juga sangat indah,” kata saya.

 

Saya adalah Ketua Umum Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (GABSI). Peserta dari 63 negara itu bertepuk tangan gemuruh. Kejuaraan dunia ini memang berlangsung hampir dua minggu sehingga bisa mengalami dua dunia: tiba serba ruwet pulang serba indah.

 

Jalan tol dan bandara baru Bali itu diresmikan Bapak Presiden SBY hari ini. Inilah jalan tol terindah dengan waktu pembangunan tercepat di Indonesia. Dua-duanya didesain, dibangun, dibiayai, dan dioperasikan oleh BUMN: PT Jasa Marga Bali untuk jalan tol dan PT Angkasa Pura 1 untuk bandara.

 

Selama seminggu ke depan masyarakat diberi kesempatan secara gratis untuk mencoba tol atas laut. Sekalian untuk menguji keandalan sistemnya.

 

Sedang untuk New Ngurah Rai, ujicoba sudah dilakukan Jumat lalu dengan mengalihkan seluruh kedatangan internasional ke bandara baru. Alhamdulillah. Lancar. Mulai dari sistem imigrasi, visa on arrival, bea cukai, sampai ke pengambilan bagasinya.

 

Penggunaan bandara baru, di mana-mana di seluruh dunia, selalu ruwet. Terutama handling bagasinya. Karena itu boyongan bandara ini dilakukan bertahap. Untuk seluruh keberangkatan internasional baru boyongan tanggal 29 minggu depan.

 

Kalau boyongan itu nanti lancar, maka ini akan mengulang sukses boyongan di Medan dari bandara Polonia ke Kuala Namu, Juli lalu.

 

Akhir tahun ini akan menyusul bandara baru Sepinggan Balikpapan yang selesai dibangun. Juga tidak kalah indah dan besarnya. Bahkan bandara baru Sepinggan ini akan jadi bandara-mal pertama di Indonesia. Di dalam bandara itu benar-benar ada mal sungguhan.

 

Pada saat yang hampir bersamaan Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya juga selesai dibangun. Hanya bandara baru Semarang yang masih memerlukan proses. Perencanaan sudah matang, dana BUMN sudah tersedia, dan kegiatan fisik sudah lama siap dimulai. Tapi lokasinya masih harus di-clear-kan. Bandara baru itu akan menempati tanah milik TNI sehingga harus diselesaikan prosesnya.

 

Bandara memang persoalan rumit. Jumlah pesawat bertambah terus dengan derasnya. Pertambahan penumpang juga tidak terbendung. Pengaturan lalu-lintas udaranya benar-benar menantang.

 

Banyaknya pesawat yang dulu harus muter-muter di udara menunggu giliran landing sudah bisa diatasi. Caranya: Airnav Indonesia, BUMN baru, meningkatkan kapasitas sistemnya untuk Soekarno-Hatta Jakarta. Kalau dulu satu jam hanya bisa naik-turun sebanyak 60 kali, sekarang sudah bisa 69 kali.

 

Bahkan Airnav mengatur lalu-lintasnya sejak dari bandara asal. Keberangkatan pesawat dari bandara asal akan diminta maju atau mundur beberapa menit daripada memaksa berangkat on time tapi harus muter-muter di udara Jakarta menunggu giliran landing.

 

Memang ke depan sudah harus diputuskan untuk mengurangi frekuensi penerbangan dari dan ke Jakarta. Antre take off di Cengkareng sudah sangat mengganggu kepastian jadwal pesawat. Urgensi banyaknya penerbangan dari Jakarta ke Surabaya (lebih 40 kali sehari) atau Jakarta-Medan (lebih 30 kali sehari) harus dipertanyakan. Untuk apa harus 40 kali sehari” Bukankah 30 kali juga sudah cukup?

 

Perusahaan penerbangan sudah harus di-warning untuk segera memiliki pesawat yang lebih besar dari B737 atau sejenisnya. Tentu yang masih ekonomis untuk jarak pendek. Membangun landasan ketiga di Cengkareng memang penting, tapi terobosan manajemen lebih penting lagi.

 

Saya ingat apa yang dilakukan Dirut Pelindo II RJ Lino di Padang. Di masa lalu kapal harus antre sampai 15 hari di pelabuhan Teluk Bayur. Semua pihak berpendapat harus segera dibangun dermaga baru. Tentu amat mahal. Hanya Lino yang tidak sependapat. Dia lakukan perubahan manajemen.

 

Lino benar. Sejak enam bulan lalu kapal tidak perlu antre sama sekali di Teluk Bayur. Kapal datang bisa langsung berlabuh.

 

Dermaga baru tidak jadi dibangun. Uang triliunan bisa dihemat. (***)

 

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

Sumber: