Kamis, 28 Maret 2013
Cak Nun: Konspirasi Semesta
Konspirasi Semesta
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Anis Matta Presiden baru PKS menolong bangsa
Indonesia dengan menyatakan bahwa ada konspirasi global yang mengancam nasib
seluruh bangsa Indonesia, menghalangi kebangkitannya dan merancang secara
sistematis kehancurannya. Sebagai seorang warganegara NKRI saya mengucapkan
terima kasih yang mendalam atas petunjuk beliau, terutama karena yang menjadi
fokus keprihatinan saya adalah nasib anak cucu saya dan kita semua.
Sebab konspirasi
global pasti urusannya bukan satu dua tahun, satu dua dekade atau era,
melainkan minimal satu dua abad, mungkin malah sudah berlangsung dua millenium
lebih sedikit. Dan anak-anak saya kalau sudah dewasa akan ditimpa puncak sukses
rekayasa global itu untuk menjadi budak dari suatu pemerintahan global yang
melakukan kontrol absolut memasang micro-chip di jidat mereka.
Sesungguhnya sangat
indah dan patriotik andaikan wacana tentang Konspirasi Global itu menjadi salah
satu alasan mendasar berdirinya PKS dulu. Kenapa sih mas Anis kok baru omong
sekarang. Kenapa menunggu Pak Luthfi dijaring KPK. Kenapa setelah PKS dikepung badai
baru mas Anis membukakan pengetahuan tentang Konspirasi Semesta Raya itu.
Padahal kan yang
menjadi korban seluruh bangsa Indonesia sampai para generasi penerus kita
kelak. Apa tega saya menyimpulkan bahwa PKS hanya memikirkan dirinya sendiri
saja, sehingga setelah beliau-beliau sendiri terkena “sabet” konspirasi, baru
muncul kepentingan untuk melawannya. Kan Konspirasi Global itu musuh kita
bersama.
Sebelum ini banyak
terdakwa yang membuat pernyataan yang sama tentang konspirasi “besar”. Ada
terdakwa video porno, pelecehan seks dll yang juga bilang sedang mengalami
“character assassination” oleh suatu konspirasi besar. Ketika muncul isyu di
kalangan masyarakat tertentu bahwa saya punya tiga istri, seorang teman juga
memberitahukan bahwa ada konspirasi global yang sedang memproses penghancuran
citra saya. Untunglah saya tidak punya citra, sehingga penghancuran itu tidak
ada sasarannya. Bahkan saya berterima kasih kepada para penyebar rumor itu,
sebab langsung fungsional menjadi pengontrol atas diri saya agar tetap bertahan
dengan satu istri saja.
Mas Johan Budi jubir
KPK aneh juga pernyataannya: “KPK jangan dikait-kaitkan dengan politik”. Pasti
yang beliau pakai adalah bahasa publik yang kontekstual dan konotatif. Sebab
denotasinya KPK itu lahir dari keputusan politik, dan seluruh pekerjaannya juga
sangat bersubstansi politik. Makna dan tujuan seluruh penyelenggaraan politik
nasional kenegaraan adalah untuk mengamankan hak-hak seluruh rakyat, harta
bendanya, martabat dan nyawanya, dari setiap kemungkinan pencurian, pelecehan
dan penghancuran. KPK adalah salah satu ujung tombak kuratif dari proses
pengamanan nasional atas hak-hak rakyat itu.
Saya punya saran yang
mungkin “kelabu” secara moral, “hitam” secara hukum Indonesia, tapi “putih”
secara akal sehat manusia. Di luar kedudukan masing-masing di PKS dan KPK, mas
Johan mengajak mas Anis taruhan saja untuk membuktikan salah tidaknya mantan
Presiden PKS. Dengan pengawasan berdua atas kebersihan proses peradilannya,
kalau beliau divonis bersalah: mas Anis mencabut pernyataan tentang konspirasi.
Kalau beliau bebas, mas Johan datang ke rumah mas Anis untuk minta maaf secara
pribadi sambil membawa kue-kue, bebuahan dan souvenir.
“Taruhan” ini saya
sarankan karena dalam “ushulul-fiqh” atau filsafat hukum Islam ada asas bahwa
kemudharatan kecil boleh dilakukan dalam rangka menghindarkan kemudharatan
besar. Kalau jutaan kader PKS dan rakyat Indonesia dibiarkan bingung oleh soal
konspirasi besar yang mas Anis “sengaja tidak mau menyebutnya”, bisa menjadi mudharat
besar. Jadi kayaknya bolehlah beliau berdua taruhan saja, kalaupun berdosa ya
insyaallah bobot dosanya lebih kecil dibanding kadar manfaat yang
dihasilkannya.
Umpamanya ada orang
yang bertanya, “Sudahlah, nggak usah ngobrol soal konspirasi, nyatakan saja:
mencuri atau tidak?”, rasanya “kurang elite” atau “nggak level” untuk terseret
menjawabnya. Termasuk kalau ada yang menjelaskan: kalau KPK memastikan
seseorang menjadi terdakwa, itu berbeda dengan apabila dakwaan itu berasal dari
Kejaksaan. KPK tidak punya wewenang untuk menerbitkan SP3, sehingga tingkat
soliditas yuridisnya sangat tinggi untuk menterdakwakan seseorang.
Oleh karena itu kalau
memang saran untuk taruhan ini “syubhat” atau bahkan “haram”, opsi saya
berikutnya adalah mas Anis sebagai Presiden PKS bikin konferensi pers lagi,
membawa Al-Quran, kemudian bersumpah di bawah Kitab Suci kepada Allah swt dan
seluruh bangsa Indonesia bahwa beliau Pak Luthfi Hasan tidak melakukan korupsi.
Lebih afdhal jika
acara sumpah itu diawali dan diakhiri dengan pembacaan statemen Tuhan: “Apakah
kalian mengira bahwa Aku menciptakan kalian semua itu untuk main-main? Dan
apakah kalian menyangka bahwa hidup dan segala urusan kalian ini akan bisa
menghindar untuk kembali kepada-Ku?”
Kalau saran kedua itu
kurang produktif juga secara KPK, PKS atau ke-Indonesia-an, opsi berikutnya
adalah mengambil kejadian ini sebagai momentum heroisme nasional mas Anis Matta
dan PKS. Tentu saja karakter PKS jauh dari kecenderungan riya’ dan takabbur
untuk mempahlawan-pahlawankan dirinya. Tetapi maksud saya adalah bahwa ini
momentum sangat bagus bagi PKS untuk menolong seluruh bangsa Indonesia dan
mengamankan masa depan kita semua.
PKS tidak melihat
kasus mantan Presidennya bukan sekedar kasus korupsi dan urusan hukum. Melainkan
jauh lebih besar dari itu. KPK hanyalah urusan sejengkal waktu. PKS melakukan
kebangkitan besar untuk urusan yang juga sangat besar. PKS menjadi “KPK” untuk
menterdakwakan pelaku-pelaku Konspirasi Global demi nasionalisme dan
kemerdekaan ummat manusia di seluruh muka bumi. Mas Anis Matta memimpin suatu
pergerakan nasional dan dunia, menjadikan momentum ini sebagai trigger sejarah:
membuka cakrawala peradilan sejarah dunia, menguakkan rahasia tipudaya sejarah
yang berlangsung sejak Nabi Isa lahir yang berhasil memfitnah beliau dan
merekayasa hingga ke kayu salib — terlepas dari versi kontra versi tentang
fakta penyaliban itu.
Tahap berikut
tipudaya itu yang dirundingkan 37 tahun sesudah penyaliban, yang buah-buah
keberhasilannya tidak saya sebutkan di tulisan ini. Kemudian pembaharuan
strategi dan modifikasi aplikasinya sesudah Renaissance, pengkayaan-pengkayaan
sesuai dengan tonggak-tonggak perubahan sejarah, abad 17, 18, 19. 20, hingga
hari ini, yang berlangsung sangat panjang dan detail, melalui pasal-pasal
Takkim, Shadda, Parokim, Libarim, Babill, Onan, Protokol, Gorgah, Plotisme,
Qornun, menelusup ke dunia pendidikan, media massa, ruang-ruang sidang
parlemen, lembar-lembar informasi jenis apapun saja, bahkan menggerogoti
berita-berita firman Tuhan.
Indonesia yang kaya
raya adalah “janda muda” yang cantik jelita bahenol sexy yang semua “jawara”
dunia tergiur ingin menguasainya, dengan metoda penaklukan dan penjajahan yang
terus diperbaharui. PKS berkesempatan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa
zaman VOC bukanlah satu-satunya era penjajahan yang kita alami. Dari yang
transparan eksplisit penjajahan teritorial hingga yang implisit kultural,
intelektual, spiritual, institusional, sistemik-struktural, taktis-strategis,
serta semua yang samar-samar lainnya yang tak mungkin tampak di mata awam.
Dan karena ghirrah
menentang penjajahan itulah maka PKS lahir. Statemen Allah swt bisa dikutip
oleh PKS yang memang masyhur dekat dengan-Nya: “Apa yang tidak kalian sukai ini
bisa jadi membawa kebaikan bagi kalian, dan apa yang kalian sukai malahan bisa
membawa keburukan bagi kalian”. PKS bisa menguraikan ilmu dan pengetahuan kepada
rakyat Indonesia untuk melakukan reidentifikasi nilai-nilai. Apa yang mereka
junjung selama ini, mungkin justru yang seharusnya mereka tinggalkan. Apa-apa
dan siapa-siapa yang mereka idolakan, mereka berhalakan, mereka “tuhan”kan,
mungkin saja sebenarnya harus mereka hindarkan. Sebaliknya, yang selama ini
mereka remehkan, buang dan singkirkan: itu sesungguhnya yang menyimpan
kemashlahatan dan harapan.
Akan tetapi kalau itu
semua terlalu ruwet dan merepotkan waktu mas Anis yang sangat sibuk siang malam
di banyak tempat, mungkin cukup lakukan satu hal saja: kumpulkan kader-kader
PKS di berbagai tempat seluruh Nusantara, misalnya bikin Muhasabah wa Mubahalah
di hadapan Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw, yakinkan mereka dengan sumpah
bahwa mantan Presiden mereka bukan maling. []
Kolom Majalah Tempo:
Edisi 10 Februari 2013
(Hikmah of the Day) Pribadi yang Lembut
Pribadi yang Lembut
Oleh: Rifqy el-Mahmudi
Diceritakan dari Nadhor bin Sahal dari
ayahnya berkata: Suatu hari Khalifah Umar bin Abd. Aziz ra berkata pada seorang
budak perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur”. Kemudian budak tadi
mengipasi sang Khalifah hingga tertidur. Tanpa terasa si budak merasa capek,
akhirnya ia juga tertidur.
Kemudian sang Khalifah terbangun dari
tidurnya. Beliau mendapati budaknya tertidur sangat pulas mungkin karena
terlalu capek. Dengan penuh iba sang Khalifah pun mengipasi si budak yang
sedang tidur lelap. Lalu sibudak pun bangun dengan perasaan bersalah. Kemudian
Khalifah berkata, “Jangan takut, kau juga manusia yang kadang merasakan gerah
seperti yang aku rasakan, salahkah jika aku mengipasimu sebagaimana kau telah
mengipasiku?”.
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
(Ngaji of the Day) Potret Kemakmuran Pemerintah Pada Masa Sayidina Umar
Potret Kemakmuran
Pemerintah Pada Masa Sayidina Umar
Oleh: Syuaib*
Ketika Abu Bakar menderita penyakit parah,
kekhawatiran terbesit dihatinya. Ia takut umat Islam berselisih pendapat
tentang siapa yang akan menjadi kahilfah setelah beliau berpulang ke hadapan
Allah, sebagaimana yang terjadi pasca wafatnya Rasulullah saw.
Agar hal itu tidak terulang kembali,
Sayyidina Abu Bakar langsung menunjuk pengganti untuk menempati posisinya.
Dengan pertimbangan matang, ia mempercayakan posisi itu kepada Umar bin al
Khattab. Sebab Sayyidina Umar dipandang paling pantas untuk mengemban amanah
agung ini.
Dan kenyataannya, pada masa kepemerintahan
Sayyidina Umar, kedaulatan Islam semakin membaik, perluasan kekuasan terus
bergerak, dan kemakmuran semakin memperindah catatan kepemimpinannya. Inilah
pencapaian Sayyidina Umar selama menggengam kekhalifahan. Ia adalah pemimpin
ideal yang tegas, adil, bijaksana dan pemurah.
Sistem Pengaturan Negara
Pada masa Sayyidina Umar bin Khattab, wilayah
kekuasaan Islam semakin merebak ke berbagai penjuru dunia. Seiring meluasnya
wilayah Islam, Sayyidiana Umar berinsiatif untuk membuat undang-undang yang
mengatur hubungan antara pemerintahan dengan bangsa-bangsa tersebut sesuai syariat
Islam. Maka ia membentuk pemimpin wilayah di wilayah-wilayah taklukkan Islam.
Namun pusat kepemerintahan tetap berada dibawah kekuasaannya.
Luasnya wilayah Islam ternyata juga berdampak
positif pada income negara. Sektor ini terus mengalami gejala peningkatan
hingga tidak memungkinkan hanya ditangani oleh satu orang saja. Maka atas
pertimbangan itu Sayyidina Umar mengangkat pegawai khusus untuk menangani
keuangan negara.
Adapun sumber-sumber pemasukan negara yang
dominan pada masa kepemerintahan Sayyidina Umar adalah zakat, harta rampasan,
pajak, kharaj, dan zakat dagangan sebesar 10 persen dari para pedagang kafir
harbi. Kebijakan ini merupakan inisiatifnya yang diilhami oleh sabda
Rasulullah: “Supaya pembagian harta dan pembelanjaannya jangan sampai
terlambat”.
Sementara itu, dalam mengurusi
pendistribusian kekayaan Negara, ia pun membentuk badan khusus, agar uang
Negara terbagi secara adil dan merata. Dari sinilah, muncul sebuah kepengurusan
yang menangani bidang dokumentasi dan arsip Negara. Dengan demikian Umar bin
al-Khathab adalah orang pertama yang melakukan pembukuan dan arsip Negara dalam
sejarah Islam.
Pendistribusian Dana Negara
Pendistribusian pendapatan Negara pada masa
Umar bin khattab, dibagi tiga prosedur. Pertama, pendistribusian harta zakat
dan hal-hal yang terkait dengannya. Harta ini didistribusikan pada delapan
golongan yang telah tercantum dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang
berhutang, untuk orang yang berjalan di jalan allah dan orang-orang yang sedang
dalam perjalana, sebagai suatu ketetapan yang di wajibkan oleh Allah, dan Allah
maha mengetahui lagi maha bijaksana “ (QS At-Taubat [09]:60)
Kedua. Pendistribusian kharaj dan pajak,
cukai sebesar 10 persen dari pedagang kafir harbi. Pendapatan ini difungsikan
sebagai dana yang dialokasikan untuk menggaji para pegawai Negeri, tentara
perang, keluarga Nabi dan isteri para mujahid.
Ketiga. Pendistribusian harta rampasan.
Pendapatan ini seperlimanya dialokasikan kepada orang-orang yang disebut dalam
ayat al-Qur’an: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil” (QS Al Anfal
[08]: 41). Sementara sisanya yakni empat seperlima dari harta rampasan tersebut
dialokasikan kepada para tentara. Dengan perincian sebagai berikut; para
penunggang kuda mendapat tiga bagian, dua bagian diberikan untuk kudanya,
sementara satu bagian yang lain diberikan pada penunggangnya. Dan untuk tentara
yang berjalan kaki mendapatkan satu bagian saja.
Membentuk Administrasi Negara
Pada permulaan kepemerintahan Umar bin
Khattab para gubernur diberbagai wilayah penaklukan Islam menjalankan kebijakan
mereka sebagaimana yang dijalankan Umar di Madinah. Mereka memegang kekuasaan
legislatif, eksekutif dan pimpinan mileter dalam satu kekuasaan. Hanya saja,
ketika mereka menjadi lebih sibuk dengan urusan wilayah-wilayah secara umum
serta pemusatan politiknya melebihi apa yang harus dipikul ketika mereka
dilantik. Berita-berita angkatan bersenjata di Irak dan Syam menyita banyak
waktu dan perhatiannya. Maka Segala tindakan tunduk pada para pejabat di
berbagai daerah kedaulatannya. Hal itu menjadi pokok perhatian dan pikiran sang
Khalifah.
Di samping itu, jumlah penduduk semakin
membeludak dan income Negara masuk semakin bertambah. Usaha pembebasan dan
penaklukan terus maju. Lalu, sang Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan para
mentrinya untuk mengadakan rapat sebagai solusi dari problema ini. Oleh karena
itu mau tidak mau ia harus mengangkat beberapa pembantu yang dapat mengatur
segala kepentingan perorangan, terpisah dari kepentingan Negara. Maka, dari
hasil musyawarah tersebut terbentuklah Adsministrasi Negara.
Mengangkat Para Hakim
Dalam hal ini, yang pertama kali dilakukan
oleh sayyidina Umar ialah memisahkan kekuasaan yudikatif di Madinah dari
kekuasaannya oleh karena itu ia mengangkat Abu Darda’ sebagai hakim. Segala
permasalahan hukum diajukan dan diputuskan olehnya. Sesudah selesai pembangunan
kota Kufa dan Basrah serta penghuni yang terus bertambah. Dan banyak pula
anggota masyarakat yang terlibat dalam berbagai macam aktivitas, Sayyidina Umar
mengangkat Syuriah sebagai hakim Kufa, sementara untuk kota Basrah ia
memercayakannya kepada Abi Musa al-Asy’ari. Dan untuk kota Mesir ia percayakan
kepada Qois bin al ‘Ash as Sahmi sebagai hakim.
Semua hakim ini senantiasa memutuskan suatu
permasalahan dengan berlandasan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Pengangkatan
mereka itu merupakan langkah awal dalam mengatur penguasaan yang terpisah satu
sama lain. Tetapi langkah inilah yang memang diperlukan dan dapat mengembangkan
kondisi pemerintahan, untuk selanjutnya dibutuhkan figur-figur Agama. Keadaan
ini terus berlanjut, dan baru bisa direalisasikan sebagai prinsip tetap untuk
diterapkan di seluruh kedaulatan setelah masa Umar.
Sikap Umar Terhadap Para Pejabatnya
Untuk tujuan di ataslah Umar mengirim
sebagian para pejabatnya kepada orang-orang Arab pedalaman, hal ini bukan untuk
merendahkan mereka, melainkan untuk menegakkan hukum Allah seadil-adilnya.
Kepada mereka ia berkata : “Perlakukanlah semua orang di termpat kalian itu
sama, yang dekat seperti yang jauh dan yang jauh seperti yang dekat.
Hati-hatilah terhadap suap dan menjalankan hukum karena hawa nafsu dan
bertindak diwaktu marah tegakkan dengan benar walaupun sehari hanya sesaat.” Ia
merasa dirinya bertanggung jawab terhadap hati nuraninya dan terhadap Allah
untuk menegakkan keadilan di segala tempat. Jika ada pejabatnya di ujung dunia
merugikan seseorang, maka seolah dialah pelakunya. Suatu hari ia berkata kepada
orang-orang di sekitarnya: “Bagaimana kalau saya menempatkan orang yang terbaik
yang saya ketahui atas kalian lalu saya perintahkan dia berlaku adil, sudah kah
saya menjalankan tugas saya ?” Mereka menjawab, Ya!. “Tidak” kata Umar,
“Sebelum saya melihat sendiri pekerjaannya, dia melaksanakan apa yang saya
perintahkan atau tidak.” Itu sebabnya ia mengadakan pengawaasan terhadap para
pejabatnya begitu ketat.
*Santri Ponpes Sidogiri – Pasuruan, Jawa
Timur, Anggota LPSI FK Adab, PPS K-6 Asal Bangkalan
Referensi:
·
Muqaddimah Ibnu Khaldun; hlm 243
·
Siyasatul Mali fi al Islam; hlm 155
·
Asrul Khilafah ar-Rasyidun, hlm 217
·
Ibid hal 184
·
Shahih At Tautsiq Fi Sirah Wa Hayat Al
Faruq Umar Bin Al Khattab 373
·
Mahmud Muhammad al-Khazandar, Fiqih al
I’tikaf 164
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
(Do'a of the Day) 16 Jumadil Awwal 1434H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Rabbanaaa innaka mantud khilinnaa rafaq akhzaitahu, wa maa lidhdhaalimiina min anshaarin.
Ya
Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka,
maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang lalim
seorang penolongpun.
Dari
Al Qur’an Surat Al Imran (3), ayat (192), Juz 3.
Rabu, 27 Maret 2013
(Catatan of the Day) Tempo & Kang Aher: Ah, Akhirnya Dapat Juga
Majalah Mingguan Tempo memang fenomenal.
Jurnalisme investigatif yang dianutnya, membuat banyak pembaca setianya menjadi
semakin penasaran ingin mengetahui lebih dalam isinya. Dulu, saat heboh
kasus Sang Jenderal, sungguh teramat
sangat susah mencarinya
Namun, kali ini Tuhan berbaik hati kepada
saya, sehingga diberi kesempatan mendapatkan dan membaca edisi yang luar biasa
pada minggu ini:
Dahlan: Bedol-bedolan untuk Rusun Kemayoran
Bedol-bedolan untuk
Rusun Kemayoran
Senin, 25 Maret 2013
Saya ajak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
untuk mojok sebentar. Itu terjadi saat kami menunggu kedatangan Bapak Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang akan meresmikan dimulainya proyek terbesar dalam
sejarah BUMN di bidang pelabuhan Jumat sore lalu.
Kami pun bisik-bisik
agar tidak menarik perhatian orang sekitar.
Di situ, di ruang
tunggu direksi PT Indonesia Port Corporation, nama baru PT Pelindo II (Persero)
Tanjung Priok, saya bisikkan ide tentang fungsi rumah susun untuk perbaikan
perkampungan kumuh di Jakarta. Ide itu sebenarnya sudah saya pidatokan saat
peletakan batu pertama pembangunan rumah susun Perumnas di Kemayoran sehari
sebelumnya.
Sebelum upacara itu,
saya mampir dulu ke rumah susun yang sudah lebih dulu berdiri di sebelahnya.
Itulah dua tower rumah susun 18 lantai yang dibangun BUMN Perum Perumnas di
awal pemerintahan SBY-JK.
Rusun itu awalnya
dirancang sebagai awal dari program pembangunan 1.000 tower rumah susun di
seluruh Indonesia. Tapi, pelaksanaannya tidak mulus. Perizinan yang waktu itu
dijanjikan serba-Ferrari ternyata seperti Tucuxi. Berhenti sama sekali.
Namun, dengan
semangat Jokowi yang berjanji memperlancar segala perizinan, saya minta
Perumnas untuk kembali membangun tower-tower rumah susunnya. Kalau bisa, tekad
saya, rumah susun Perumnas ini menjadi rumah susun pertama yang menjadi
kenyataan di era Jokowi ini. Untuk membuktikan benarkah birokrasi di DKI sudah
berubah.
Dalam kunjungan ke
lantai 17 rumah susun Kemayoran itu, saya merasakan seperti berada di sebuah
apartemen yang enak. Lokasi rumah susun tersebut sungguh istimewa. Pemandangan
sisi utaranya adalah Laut Jawa yang biru. Pemandangan arah sebaliknya adalah
lapangan golf yang indah.
Dalam hati, saya
berkata: pantas penghuni rumah susun ini terlihat sangat sejahtera. Rupanya,
yang masuk rumah susun di Kemayoran ini adalah mereka yang pendapatannya sudah
relatif baik. Buktinya terlihat dari fasilitas yang mereka miliki di kamar
masing-masing.
Saya pun
berkesimpulan pola penghunian rumah susun seperti ini tidak akan bisa
memperbaiki perkampungan Jakarta yang padat dan kumuh. Yang masuk rumah susun
ini bukanlah mereka yang berasal dari perkampungan yang sangat miskin. Penghuni
rumah susun seperti ini adalah mereka yang minimal sudah punya tabungan Rp 15
juta (untuk membayar uang muka).
Akibatnya, rumah
susun bisa saja terus tumbuh, tapi perkampungan padat dan kumuh tidak bisa
berkurang.
Inilah yang saya
bisikkan ke Jokowi. “Ayo kita ubah cara berpikir seperti itu,” bisik saya.
Caranya: rumah susun yang pemancangan tiang pertamanya saya lakukan Kamis lalu
itu tidak lagi disiapkan untuk mereka yang mendaftar. Tapi untuk menampung
“bedol RT” atau “bedol RW”.
Saya bisikkan: Kita
cari satu atau dua RT daerah padat dan miskin. Kalau seluruh warga RT yang
sangat miskin itu sepakat boyongan serentak bersama-sama ke rumah susun yang
hebat itu, maka merekalah yang harus ditampung.
Mereka tidak perlu
membayar uang muka (karena memang tidak akan punya). Namun, mereka harus
menyerahkan lokasi satu atau dua RT tersebut ke BUMN. Di lokasi yang
ditinggalkan tersebut (katakanlah luasnya satu atau dua hektare) dibangun rumah
susun 18 lantai oleh BUMN.
Kalau rumah susun di
lokasi bekas “bedol RT” tersebut sudah berdiri, kita cari lagi satu atau dua RT
yang juga mau “bedol RT”. Di lokasi bekas “bedol RT” tersebut dibangun lagi
rumah susun oleh BUMN. Begitu seterusnya. Bergulir tidak henti. Sampai tidak
ada lagi RT atau RW kumuh di DKI.
Dengan demikian,
rumah susun yang dibangun akan bisa ikut menyelesaikan masalah lingkungan
kawasan kumuh.
“Setuju!” jawab
Jokowi.
“Hanya Pak Jokowi yang bisa merayu warga untuk mau bedol RT. Saya tidak punya kewenangan,” kata saya.
“Saya yakin bisa. Banyak yang akan mau,” jawab Jokowi.
Begitulah. Hasil
mojok kami berdua sangat konkret.
Sayang sekali rumah
susun yang dibangun dengan mahal tidak bisa ikut memperbaiki lingkungan kumuh
di Jakarta. Saya pun lantas minta kepada direksi Perumnas untuk melaksanakan
ide ini. Tidak boleh lagi menjual rumah susun itu hanya kepada yang mampu
membayar uang muka.
Rumah susun ini
sungguh murah. Sebab, biayanya ditanggung oleh BUMN. Dalam waktu dua tahun,
harga rumah susun ini sudah akan naik lima kali lipat di pasar bebas. Lokasinya
begitu strategis. Bangunannya begitu bagus. Pemandangan sekitarnya begitu
indah.
Tidak ada salahnya
sekali-sekali warga yang sangat miskin mendapat haknya untuk berada di
lingkungan yang lebih baik. Bahkan, kali ini biarlah golongan yang miskin itu
yang akan mendapat gain yang amat besar itu.
Saya tahu bahwa ide
seperti ini bisa saja akan mendapat penolakan dari jajaran internal Perumnas
sendiri. Secara bisnis, ide seperti ini memang kurang menarik. Tapi, karena
dana pembangunan rumah susun ini dari BUMN (bukan hanya dari Perumnas yang juga
BUMN), maka saya minta kali ini berbeda.
Saya juga tahu,
sebagian penolakan itu berlatar belakangan khusus: model “bedol RT” seperti itu
tidak memberikan peluang untuk ngobyek.
Dirut Perum Perumnas
Himawan Arief Sugoto saya minta untuk terus melakukan koordinasi dengan Pemprov
DKI. Di atas kertas ide seperti ini kelihatannya mudah, tapi di lapangan bisa
jadi seperti mbah-mbah.
Ada dua terobosan
lagi yang saya jadikan pembicaraan saat mojok dengan Jokowi sore itu. Di bidang
transportasi dan penanggulangan banjir. Dua-duanya disetujui dan akan kami
laksanakan bersama secara cepat. Namun, rumah susun Kemayoran akan kami jadikan
model dulu.
Saya ingin melihat
apakah dalam tiga bulan nanti sudah bisa ditemukan satu atau dua RT yang mau
“bedol” ke rumah susun Kemayoran.
Rumah susun itu akan
terdiri atas dua tower. Saya sudah minta kontraktor BUMN, PT Hutama Karya,
untuk menyelesaikannya dalam waktu sembilan bulan. Dirut Hutama Karya Tri
Widjajanto Joedosastro sanggup. Ini berarti RT yang siap “bedol” ke rumah susun
Kemayoran sudah harus ditemukan dalam waktu tiga bulan ke depan.
Saya tahu soal rumah
susun menjadi salah satu janji kampanye Jokowi dulu. Untuk rumah susun yang
sudah ada pun, masih banyak persoalan. Sayangnya, tidak banyak yang bisa
dibantu oleh BUMN.
Kecuali satu:
keinginan Jokowi agar rumah susun bisa dialiri gas untuk dapur-dapur mereka.
Dirut BUMN yang
menangani gas, PT PGN (Persero) Tbk, Hendi Priyo Santoso, sudah sanggup. Tentu,
ada syaratnya, bahwa perizinan di bidang pembangunan jaringan pipa gas bisa
dipermudah. Selama ini Hendi sering mengeluh sulitnya mendapatkan izin
perluasan jaringan gas di Jakarta.
Kini, dengan
permintaan Jokowi itu, tidak ada jalan lain kecuali jaringan pipa gas memang
harus diperluas di Jakarta. Pak Jokowi pun menyanggupi percepatan perizinan
itu.
Dan, rupanya, Jokowi
betul-betul bergerak cepat. Dua hari setelah pembicaraan itu, justru staf
Pemprov DKI yang menelepon Hendi untuk mengambil izin yang sudah bertahun-tahun
nyangkut di sana.
Tentu, saya juga
ingin tower pertama yang dibangun Perumnas di saat saya menjadi menteri BUMN
tersebut ada plusnya. Misalnya, sejak saat dirancang sudah sekalian disiapkan
jaringan internet ke seluruh kamarnya. Dengan demikian, masyarakat miskin yang
menjadi penghuni rumah susun itu nanti bisa menyiapkan anak-anak mereka menjadi
generasi baru yang akan memutus mata rantai kemiskinan mereka.
Itu tidak sulit.
Begitulah cara Tiongkok menyiapkan rumah susun untuk masyarakat miskin mereka.
Rumah susun tidak hanya dipergunakan untuk mengubah wajah perkampungan, tapi
juga untuk memutus rantai kemiskinan dan ketertinggalan.
Saya ingat Jokowi
pernah melakukan “bedol kaki lima” yang amat terkenal di Solo. Saya ingin tahu
gaya kemeriahan Jokowi dalam melakukan “bedol RT” di Betawi! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
(Hikmah of the Day) Doa yang Ditunggu-tunggu
Doa yang Ditunggu-tunggu
Oleh: Ali Wafa Yasin
Dalam kitab ath-Thabaqât, Tajuddin as-Subki
meriwayatkan bahwa pada suatu malam, Ali bin Abi Thalib dan kedua putranya,
Hasan dan Husein raa mendengar seseorang bersyair.:
Wahai Zat yang
mengabulkan doa orang yang terhimpit kezaliman
Wahai Zat yang menghilangkan
penderitaan, bencana, dan rasa sakit
Utusan-Mu tertidur di
rumah Rasululah, sedang orang-orang kafir mengepungnya
Dan Engkau Yang Maha
Hidup lagi Maha Tegak tidak pernah tidur
Dengan kemurahan-Mu,
ampunilah dosa-dosaku
Wahai Zat tempat
berharap para makhluk di Masjidil Haram
Kalau ampunan-Mu
tidak bisa diharapkan oleh orang yang bersalah
Maka siapa yang akan
menganugerahi nikmat kepada para pendosa?
Ali lalu menyuruh orang mencari si pelantun
syair itu. Pelantun syair itu pun datang menghadap Ali seraya berkata, “Aku,
wahai Amîrul-Mu’minîn!” Laki-laki itu menghadap sambil menyeret sebelah kanan
tubuhnya, lalu berhenti di hadapan Ali.
Ali bertanya, “Aku telah mendengar syairmu.
Apa yang menimpamu?”
Laki-laki itu menjawab, “Dulu aku sibuk
memainkan alat musik dan melakukan kemaksiatan, padahal ayahku sudah
menasihatiku bahwa Allah swt memiliki kekuasaan dan siksaan yang pasti akan
menimpa orang-orang zalim. Karena ayah terus-menerus menasihatiku, maka aku
memukulnya. Karenanya, ayahku bersumpah akan mendoakan keburukan untukku, lalu
ia pergi ke Mekkah untuk memohon pertolongan Allah swt. Ia pun berdoa, dan
karenanya tubuh sebelah kananku tiba-tiba lumpuh. Aku menyesal atas semua yang
telah aku lakukan. Maka aku meminta belas kasihan dan ridha ayahku sampai ia
berjanji akan mendoakan kebaikan untukku jika Ali mau berdoa untukku. Aku
mengendarai untanya, unta betina itu melaju sangat kencang sampai terlempar di
antara dua batu besar, lalu ia mati di sana.”
Ali lalu berkata, “Allah akan meridhaimu,
kalau ayahmu meridhaimu.”
Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah,
demikianlah yang terjadi.”
Kemudian Ali berdiri, melakukan salat
beberapa rakaat, dan berdoa kepada Allah dngan pelan, kemudian berkata, “Hai
orang yang diberkahi, bangkitlah!” Laki-laki itu berdiri, berjalan, dan kembali
sehat seperti sedia kala.
Ali berkata, “Jika engkau tidak bersumpah
bahwa ayahmu akan meridhaimu, maka aku tidak akan mendoakan kebaikan untukmu.”
[]
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
(Ngaji of the Day) Kepemimpinan Ideal: Penggalian Ilmu Sharaf dan Falsafah Jawa
Kepemimpinan Ideal:
Penggalian Ilmu Sharaf dan Falsafah Jawa
Oleh: Kurdi Muhammad*
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah
kepemimpinan. Ada beberapa hadits yang dapat dirujuk untuk memperkuat
argumentasi ini, antara lain:
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti” (HR. Bukhari-Muslim). Dan, “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” (HR. Bukhari-Muslim).
Konsep dan praktik kepemimpinan dalam Islam sangat penting untuk menjaga umat agar tetap satu suara, satu langkah dan satu visi untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih membahagiakan di dunia dan akhirat. Di samping kepemimpinan juga sangat penting untuk menjaga keutuhan serta harmoni kehidupan seluruh umat manusia.
Dalam konteks kehidupan bernegara misalnya, konsep kepemimpinan yang terejawantahkan dalam sebuah bentuk pemerintahan yang modern dan demokratis, diharapkan mampu membawa rakyatnya menuju masyarakat sejahtera yang aman, berkeadilan dan tentu saja berke-Tuhanan. Atau dengan kata lain, konsep dan praktik kepemimpinan dalam konteks kenegaraan pada gilirannya diharapkan mampu mewujudkan apa yang disebut sebagai welfare state atau al-madinah al-fadhilah sebagaimana pernah diintrodusir oleh al-Farabi.
Oleh karenanya, untuk merealisasikan hal tersebut penting untuk menjadi dan/atau memilih pemimpin-pemimpin yang kredibel dan berkualitas, yang mampu mengantarkan masyarakat yang dipimpinnya sampai pada tujuan yang berkebahagiaan dan berkemakmuran. Menurut Al-Farabi, pemimpin yang dapat mewujudkan hal itu adalah pemimpin yang memiliki karakter seperti halnya Nabi dan para filsuf. Karakter itu antara lain: adil, shiddiq, amanah, fathanah, tabligh, mampu berjihad dan berijtihad, peduli terhadap rakyat kecil dan lain-lain.
Agak berbeda dengan pandangan Al-Farabi, penulis memiliki pandangan tersendiri tentang karakter sosok pemimpin yang ideal. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai indikator bahwa calon pemimpin tersebut ideal, kredibel dan berkualitas. Penulis sengaja mengambil beberapa indikator yang diderivasi dan dimodifikasi secara filosofis dari ilmu sharaf dengan kombinasi filsafat bahasa Jawa.
Di dalam bahasa Arab selain kata imam dan sulthan, pemimpin juga disebut dengan menggunakan kata Maalik, Malik atau Mulk yang berasal dari wazan atau kata dasar ma la ka yang berarti Pemimpin, Penguasa, Raja, Presiden, atau Kerajaan dan yang semisal dengan itu.
Misalnya dalam al-Quran ada beberapa ayat
yang menunjukkan makna kata tersebut, antara lain ayat yang berbunyi: ”Maaliki yaumid
dîn.” Penguasa Hari Pembalasan (QS. Al-Fatihah: 4). ”Malikin Naas” .Rajanya
Umat Manusia (QS: An-Naas: 2).
Dalam surat Ali Imran (26) disebutkan, ”Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (Mulk), Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sehingga, jika sighat tersebut dikombinasikan dengan falsafah bahasa Jawa yang se-wazan dengan kata ma la ka, penulis menemukan bahwa seorang pemimpin atau Mâlik itu haruslah memiliki beberapa sifat pinilih berikut, antara lain:
Melek, selain berarti melek dalam makna leterlijk sebagaimana pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a yang selalu blusukan di malam hari melihat kondisi riil rakyatnya, dalam hal ini melek juga berarti seorang pemimpin harus tahu dan mengerti betul kondisi dan problem yang dihadapi rakyatnya, sehingga ia mampu mencarikan solusi yang efektif dan presisif;
Milik, yang berarti seorang pemimpin harus benar-benar merasa memiliki tumpah darah dan rakyatnya. Jika sudah memiliki kesadaran akan hal itu, maka seorang pemimpin harus habis-habisan dalam menjaga keutuhan tanah airnya, demikian pula dengan harta-benda; harkat-martabat; bahkan nyawa rakyat yang dipimpinnya.
Muluk, dalam bahasa Jawa sehari-hari ia berarti gerakan ‘mengangkat’ makanan dengan menggunakan ‘tangan kosong’ yang bertujuan memenuhi salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling vital, yaitu makan. Sehingga secara filosofis, muluk berarti seorang pemimpin haruslah mampu mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan dan penderitaan menuju kesejahteraan yang utama; serta dari kebodohan dan keterbelakangan menuju pijar keberadaban yang mulia. Lebih dari itu ia juga harus mampu mengangkat derajat dan martabat bangsanya di mata bangsa-bangsa lain di dunia;
Melok, artinya bahwa seorang pemimpin haruslah mampu menyuarakan, mengikuti dan merealisasikan aspirasi rakyat yang dipimpinnya. Hal ini sebangun dengan filosofi kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro bahwa ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani, bahwa seorang pemimpin haruslah mampu menjadi tauladan yang baik, bahu-membahu bersama yang dipimpinnya membangun karsa, serta mampu menyerap, mengimbangi dan mewujudkan aspirasi yang dipimpinnya;
Serta, Meluk yang artinya seorang pemimpin haruslah memiliki perasaan dan perilaku cinta-kasih yang tulus-mendalam terhadap rakyatnya, serta mampu menghadirkan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi mereka, bagaimanapun caranya. Seperti yang pernah ditandaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w bahwa ia adalah cinta-kasih yang ‘dihadiahkan’ oleh Allah s.w.t untuk semesta.
Selain kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sebagaimana telah disebutkan, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh ada dalam diri seorang pemimpin yang juga diderivasi dari wazan kata ma la ka versi Jawa, yaitu:
Molak-malik, yang berarti seorang pemimpin tidak boleh mencla-mencle, inkonsisten dan tidak tepat janji; Muluk-muluk, terlalu berlebihan dalam segala hal, tidak bisa mensinkronkan antara idealitas dan realitas; dan yang terakhir adalah, Malak, artinya bahwa seorang pemimpin harus terhindar dari sikap mental koruptif, tidak boleh merampok harta Negara dan rakyatnya, atau dalam tataran yang paling sederhana, tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Di samping itu, tidak seharusnya juga kita memilih pemimpin hanya berdasarkan molek-nya praupan serta dunyo-brono dari si calon pemimpin. Artinya, jangan memilih hanya karena bagusnya tampang dan besarnya mahar yang bisa ia berikan atau bahkan hanya ia janjikan.
Oleh karena itu, sebagai rakyat yang mendamba pemimpin dan kepemimpinan yang pinilih, setidak-tidaknya kriteria-kriteria di atas dapat kita jadikan sebagai tolok ukur untuk memilih penguasa yang akan memimpin kita semua, mulai dari tingkatan yang paling kecil nan sederhana sampai dengan yang paling besar dan penuh kompleksitas. Jika penguasa yang memimpin kita adalah orang-orang yang melek, muluk, milik, melok dan meluk serta tidak suka muluk-muluk, molak-malik, dan malak, ditambah lagi kita memilihnya tidak berdasarkan molek-nya saja, niscaya target kepemimpinan untuk mengantarkan rakyat sejahtera dunia tembus akhirat akan tercapai.
Inilah yang penulis maksud sebagai pemimpin setengah malaikat. Perlu diketahui, kata ‘malaikat’ juga berasal dari wazan yang sama dengan kata ma la ka dan kata-kata dalam bahasa Jawa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Nilai filosofis dari sebutan ‘malaikat’ adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diberi ‘kuasa’ oleh Allah s.w.t untuk menjalankan tugas dalam bidang tertentu dan yang terpenting ia tidak pernah mengecewakan apalagi mengkhianati Sang Pemberi Mandat. Sehingga, spirit kepemimpinan setengah malaikat dalam timbangan ilmu sharaf dan falsafah Jawa tersebut adalah spirit kepemimpinan yang tidak akan mengecewakan apalagi mengkhianati konsensus cita dan cinta dari yang memberi mandat, yakni rakyatnya. Wa Allahu ‘alamu bi al-shawwab.
* Penulis adalah Kepala Madrasah Diniyah
Al-Muniroh Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur
(Do'a of the Day) 15 Jumadil Awwal 1434H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilan; subhaanaka faqinaa ‘adzaa bannaari.
Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dari
Al Qur’an Surat Al Imran (3), ayat (191), Juz 3.
Selasa, 26 Maret 2013
(Buku of the Day) Fadhilah-Fadhilah Ajaib Surat Al-Fathihah
Di Balik Keagungan Surat Al-Fatihah
Judul Buku
: Fadhilah-Fadhilah Ajaib Surat
Al-Fathihah
Penulis
: Mohammad Makhdlori dan Imam Lihyati
Penerbit
: Sabil
Cetakan
: I, Januari 2013
ISBN
: 978-602-7665-41-5
Peresensi
: Moh Romadlon
Keagungan surat al-Fathihah sudah tidak diragukan lagi. Menurut satu ulama, keagungan surat ini terletak pada kandungan ayat-ayatnya. Al-Hasan al-Basri berkata:”Allah swt menyimpan semua ilmu kitab terdahulu dalam al-Qur’an. Kemudian, Dia menyimpan semua ilmu al-Qur’an dalam al-Fathihah. Maka, surat ini menjadi sumber dari segala sumber ilmu, sumber dari segala sumber hikmah, dan sumber dari segala sumber rahmat Allah. Saking agungnya, ada 7000 malaikat yang mengiringi turunnya surat ini.
Karena itulah, tidak mengherankan lagi kalau di dalam surat al-Fathihah terkandung segudang fadhilah dan manfaat bagi hamba. Ini bisa terlihat dari banyaknya nama yang tersemat pada surat ini. Menurut Haqqi an-Nazili surat ini memiliki 30 nama, sedang menurut Qurthubi memiliki 12 nama, dan menurut al-Fakhr, ar-Razi, dan al-Alusi memiliki 22 nama. Dimana setiap nama tersebut merujuk pada satu fadhilah yang berbeda-beda. Dari sekian banyak nama, tujuh diantaranya itulah yang diulas dalam bagian awal buku ini.
Sebut saja, as-Syifa yang berarti obat. Ini berarti al-Fatihah bisa digunakan sebagai obat. Banyak kisah-kisah nyata yang membuktikan kedahsyatan surat ini sebagai perantara menyembuhkan penyakit. Salah satunya pengakuan dari KH Muhammad Nasir. Ia bukanlah dokter sehingga tak pernah sekali pun mengobati. Namun saat ada orang sakit perut mendatanginya dan minta pertolongan, ia teringat hadist Nabi yang mengatakan bahwa surat Al-Fathihah adalah obat dari segala penyakit. Ia lalu membaca surat Al-Fathihah di atas segelas air putih, setelah meminum air itu sakit perut yang sudah lama diderita orang tersebut dalam beberapa menit sembuh. Luar biasa. Ini juga dibuktikan oleh Ibnu Qayyim, bahkan dia menandaskan, bahwa kehebatan surat Al-Fathihah sebagai obat sudah terbukti pada setiap zaman. (hal. 20-24). Ini diperkuat oleh hasil tes laboraturium. Dari tes ini terlihat bahwa air yang sudah ditiup atau dituliskan ayat al-Qur’an mengandung unsur-unsur yang berguna untuk penyembuhan penyakit. Sementara air yang belum ditulis atau ditiup ayat al-Qur’an memiliki bentuk yang berbeda. Tidak mengandung unsur yang bisa menyembuhkan penyakit.
Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa energi dahsyat yang tersimpan pada surat Al-Fathihah tidak terdapat pada kitab-kitab lain, seperti Injil, Zabur, dan Thaurat. Kedahsyatan dan keagungan yang tak ada duanya ini mengisyaratkan bahwa surat Al-Fathihah adalah surat yang sangat dimuliakan sehingga senantiasa harus dijaga, yakni dengan membaca, menghayati, mengamalkan, serta mendzikirkannya. Seorang Dekan Fakultas Syari’ah sebuah universitas menegaskan: “Sungguh saya mengakui kedahsyatan surat Al-Fathihah, sebab power yang ada di dalamnya sangat luar biasa. Dengan begitu saya selalu mengawali segala sesuatu dengan membaca surat Al-Fathihah.” (hal.86-90).
Selain Fadhilah yang sudah disinggung di atas, surat Al-Fathihah masih memiliki fadhilah lain, diantaranya bisa untuk menjadi tawashul, pengusir syaitan, dan pembuka pintu langit tujuh. (hal. 129-133). Barang siapa yang membiasakan membaca dan mengamalkan surat Al-Fathihah dengan benar, maka pintu Jahanan tertutup baginya dimana pintu surga terbuka menyambutnya. Dan akan menyembuhkan segala penyakit serta melepaskan semua kesulitan hidupnya.(hal. 134-142).
Selain mengupas keagungan dan fadhilah surat Al-Fathihah, pada bagian akhir buku ini juga mengupas keutamaan surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas. Fadhilah, Surat al-Ikhlas banyak antara lain membaca al-Ikhlas sekali setara dengan sepertiga dari al-Qur’an, dijauhkan dari kesusahan dunia, sakaratul maut, dan kubur, dilindungi dari syaitan, dibangunkan gedung di surga, dll. (hal 168-181).
Sementara fadhilah surat al-Falaq dan an-Naas, antara lain; melindungi dari gangguan Syaitan, Jin, dan manusia, penyembuh segala penyakit, disembhkan dari sihir, diselamatkan dari tersesat saat di perjalanan, dll. (hal 182-193).
Peresensi adalah penikmat buku, aktif di kepengurusan Sumber Ilmu. Tinggal di Kebumen.
Mahfud MD: Konstitusi Vox Populi
Konstitusi Vox Populi
Bagaimana menjelaskan
drama "dukung-tarik" Partai Demokrat (PD) atas usul Amandemen UUD,
Selasa pekan lalu? Tanggal 8 Mei 2007 itu, 23 anggota DPR/MPR dari PD
menandatangani dudukungan atas usul Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk
mengamandemen UUD. Pada hari itu juga, dukungan tersebut dicabut.
Begawan
konstitusi K.C. Wheare, dalam bukunya, Modern Constitutions, menegaskan bahwa
konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai
dengan kebutuhan dan situasi tertentu. Ini berarti, isi konstitusi harus selalu
sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat, karena itu dapat diubah melalui
resultante baru jika situasi dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah.
Karena
konstitusi merupakan resultante yang dikerjakan melalui proses politik, maka
setiap gagasan perubahan atasnya pasti menimbulkan pergulatan politik. Ini
dapat menjelaskan mengapa PD melakukan "dukung-tarik" atas gagasan
amandemen kelima UUD 1945. Awalnya, elite PD menilai gerakan DPD perlu didukung.
Karena ada menuver tandingan, kemudian elite yang lebih elite lagi di PD
memerintahkan penarikan dukungan.
Drama
itu timbul, karena selain harus menjadi muara dari agregasi berbagai tuntutan
masyarakat, isi konstitusi juga harus diputuskan sebagai kesepakatan politik.
UUD 1945 hasil amandemen sebagai produk resultante awal reformasi sekarang
sudah disikapi secara berbeda. Ada yang menghendaki perbaikan kembali melalui
amandemen kelima.
Ada
pula yang menginginkan agar yang ada sekarang dipertahankan. Karena ia
merupakan hasil akamodosi dan kompromi maksimal atas berbagai keinginan
masyarakat. Serta ada juga hendak kembali ke UUD 1945 yang asli.
Perbedaan
sikap itu harus dicatat sebagai kemajuan pasca-perubahan konstitusi. Dengan UUD
hasil perubahan itu, sekarang kita menjadi lebih demokratis. Siapa pun bebas
mempersoalkan konstitusi. Kita boleh berteriak mempertahankannya atau
mengusulkan perubahan lanjutan atasnya.
Pada
masa lalu, kita hanya boleh bersikap satu: mempertahankan dan menyucikan UUD.Harus
diakui juga, UUD hasil mandemen ini sudah melahirkan sistem ketatanegaraan yang
jauh lebih maju. Checks and balances sudah lebih hidup. Sekarang ini UU sudah
benar-benar bisa diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain
itu, Mahkamah Agung juga sudah banyak membatalkan peraturan perundang-undangan.
Badan Pemeriksa Keuangan sudah leluasa memeriksa keuangan negara dan
mengumumkan hasilnya secara terbuka. Hak prerogatif presiden banyak yang sudah
diimbangi dengan hak konfirmatif DPR dan harus diatur dengan UU.
Ketentuan
tentang HAM diurai lebih jelas sesuai dengan filosofi bahwa kekuasaan
pemerintah merupakan residu HAM. Pemilu dipagari agar berjalan jujur dan adil.
Keanggotaan DPD dipilih dengan pemilu langsung. Pengawasan eksternal atas yudikatif
dilembagakan dengan pembentukan Komisi Yudisial.
Bahwa
dalam prakteknya kadang menimbulkan kekisruhan, bukan berarti sistem
ketatanegaraan hasil amandemen itu salah. Melainkan lebih merupakan keniscayaan
transisional saja.
Meski
sistem ketatanegaraan sekarang sudah lebih baik, namun kita tak dapat menutup
pintu perubahan. Sebab, mungkin saja ada perkembangan situasi dan kebutuhan
yang menuntut dibuatnya resultante baru. Mungkin juga ada hal penting yang
terlewatkan.
Tentang
ini dapat dicontohkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) yang mengatur, jika Presiden
dan Wakil Presiden berhalangan tetap secara bersamaan maka MPR memilih satu
dari dua pasangan calon yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang
pada pemilu sebelumnya pasangan calonnya menjadi pemenang pertama dan kedua.
Masalahnya,
bagaimana jika karena pertimbangan politik tertentu, misalnya karena yakin
kalah kalau dipilih di MPR, salah satu (gabungan) parpol itu tidak mau
mengajukan pasangan calon? Atau, bagaimana jika ada dari gabungan parpol yang
berhak mengajukan pasangan baru itu ternyata tak mau lagi bergabung untuk
pengajuan pasangan calon baru?
Ini
adalah materi muatan absolut konstitusi yang tak bisa diatur dengan peraturan
perundang-undangan lain. Dinamika politik kita sangat memungkinkan terjadinya
Presiden dan Wapres "berhalangan tetap secara bersamaan" itu dan
kalau kekosongan pengaturan konstitusi tentang itu dibiarkan bisa terjadi
krisis konstitusi dan krisis politik. Maka di mana pun kita memosisikan diri di
antara berbagai sikap itu, kita tak boleh bersikap sekan-akan kitalah yang
paling benar.
Arus
demokrasi yang menggumpal dari suara rakyat tak dapat dibendung oleh siapa pun.
Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik, maka demokrasi akan membuat
jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).
Adagium ini tak dapat diartikan, suara rakyat (vox populi) itu identik dengan
suara Tuhan, melainkan vox populi yang bersumber dari sanubari rakyat itu akan
selalu dimenangkan oleh Tuhan.
Orang
yang tak memedulikan vox populi akan digilas dan ditertawakan sejarah. Maka tak
dapat tidak, kita harus berani membuat konstitusi vox populi. Masalahnya
hanyalah, bagaimana kita mengagregasi dan menguji berbagai aspirasi rakyat agar
pilihan kita itu benar-benar vox populi. []
Moh.
Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Langganan:
Postingan (Atom)