Wawancara Imajiner
Dengan Hadlratussyeikh
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
Ketika Gus Dur menulis wawancara imajiner tentang
Dr. Nurcholish Madjid di majalah Editor, dia memulai dengan ungkapan guyon
cerdasnya: "Kalau dulu Christianto Wibisono mewawancarai Bung Karno secara
imajiner, tidak berarti hak melakukan wawancara
jenis itu menjadi monopolinya.
Seandainya ia bisa menunjukkan hak paten
tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya
tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner
tentang Dr. Nurcholish Madjid. Sebabnya? Karena Christianto menjadikan tokoh
yang diwawancarai itu sumber berita. Sedang saya justru mencari sumber itu di
luar si tokoh."Ungkapan yang sama bisa saya kemukakan sekarang ini untuk
mengawali tulisan latah saya ini.
Seandainya Christianto maupun Gus Dur bisa menunjukkan hak paten tertulis
sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya tetap saja
dapat melakukan wawancara imajiner dengan
Hadlratussyeikh. Sebabnya? Karena Christianto menjadikan tokoh yang
diwawancarai itu sumber berita dan Gus Dur mencari sumber itu di luar si tokoh.
Sedang saya hanya sekedar ingin "berkangen-kangenan" secara imajiner dengan tokoh saya. Ungkapan saya
berkangen-kangenan mungkin kurang tepat, meskipun sekedar imajiner;
karenanya saya beri tanda kutip. Soalnya yang kangen hanya saya dan saya tidak
menangi tokoh yang saya kangeni itu. Dari apa yang saya dengar tentang
Hadlratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya
kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas
mengenai Bapak NU ini; sehingga saya merasa seolah-olah saya menangi beliau.
Dan ketika saya, baru-baru ini, dihadiahi Kiai Muchit Muzadi copi kitab susunan
Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Bairut) berjudul "Al'allaamah
Muhammad Hasyim Asy'ari Waadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia" (Mahakiai
Muhammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia) dan dua
kopi khotbah Hadlratussyeikh, kangen saya pun menjadi-jadi. Keinginan untuk
melakukan wawancara imajiner dengan beliau pun tak
bisa saya empet.
Tiba-tiba saja saya sudah berada dalam majlis yang luar biasa itu. Suatu
halaqah raksasa yang menebarkan wibawa bukan main mendebarkan. Kalau saja tidak
karena senyum-senyum lembut yang memancar dari wajah-wajah jernih sekalian yang
hadir, niscaya tak akan tahan saya duduk di majlis ini.
Mereka yang duduk berhalaqah dengan anggun di sekeliling saya itu tampak
bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Sehingga rasa
ngeri dan gelisah saya berkurang karenanya.
Begitu banyak wajah –ratusan atau bahkan ribuan- memancarkan cahaya, menyinari
majlis. Ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto dan
cerita-cerita, ada yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, dan masih banyak
lagi yang namanya pun tak saya ketahui. Itu tentu Kiai Abdul Wahab Hasbullah!
Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak
terhingga.
Duduk di sampingnya, Kiai Bishri Syansuri, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Nawawi
Pasuruan, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Maksum Lasem, Kiai Nahrowi Malang, Kiai
Ndoro Munthah Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Faqih Gresik, Kiai Abdul Halim
Cirebon, Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Mas Alwi, dan Kiai Abdullah Ubaid dari
Surabaya. Yang pakai torbus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan
yang di sampingnya itu Syeikh Abdul 'Alim Ash-Shiddiqi. O, itu Kiai Saleh
Darat, Kiai Subeki Parakan, Kiai Abbas Buntet, Kiai Ma'ruf Kediri, Kiai
Baidlowi Lasem, Kiai Dalhar Magelang, Kiai Amir Pekalongan, Kiai Mandur
Temanggung.
Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Kiai
Machfudz Shiddiq, Kiai Dahlan dan Kiai Ilyas. Saya melihat juga Kiai Sulaiman
Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al-Habsyi
Bogor, Kiai Djunaidi dan Kiai Marzuki Jakarta, Kiai Raden Adnan dan Kiai
Masyhud Sala, Kiai Mustain Tuban, Kiai Hambali dan Kiai Abdul Jalil Kudus, Kiai
Yasin Banten, Kiai Manab kediri, Kiai Munawir Jogja, Kiai Dimyati Termas, Kiai
Cholil Lasem, Kiai Cholil Rembang, Kiai Saleh Tayu, Kiai Machfud Sedan, Kiai
Zuhdi Pekalongan, Kiai Maksum Seblak, Kiai Abubakar Palembang, Kiai Dimyati
Pemalang, Kiai Fakihuddin Sekarputih, Kiai Abdul Latief Cibeber, Haji Hasan
Gipo, Haji Raden Mochtar Banyumas, Kiai Said dan Kiai Anwar Surabaya, Kiai
Muhammadun Kajen, Kiai Muhammadun Pondohan, Kiai Siradj Payaman, Kiai Chudlari
Tegalrejo, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Badruddin Honggowongso Salatiga,
Kiai Machrus Ali Lirboyo, Kiai, Kiai …
Dan di tengah-tengah lautan Kiai dan tokoh NU itu Hadlratussyeikh bersila
dengan agung, dengan wajah sareh yang senantiasa tersenyum. Namun, betapa pun jernih
wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir.
Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan –setelah berhasil mengatasi rasa
rendah diri yang luar biasa- adalah: Hadlratussyeikh, saya lihat
Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh yang ada di sini begitu murung. Bahkan
di kedua mata Hadlratussyeikh yang teduh, saya melihat airmata yang menggenang.
Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang
membuat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh berprihatin? Apakah gerangan
yang diprihatinkan?"
Hampir serempak, Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh tersenyum. Senyum yang
sulit saya ketahui maknanya. Tampak Kiai Abdul Wahab Hasbullah sudah akan
menjawab pertanyaan saya, tapi buru-buru Hadlratussyeikh memberi isyarat dengan
lembut. Ditatapnya saya dengan senyum yang masih tersungging, seolah-olah
beliau hendak membantu mengikis kegelisahan saya akibat wibawa yang mengepung
dari segala jurusan. Baru kemudian beliau berkata dengan suara lunak namun jelas:
"Cucuku, kau benar. Kami semua di sini, Alhamdulillah hidup dalam keadaan
damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tak kurang suatu apa. Kalaupun
ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti
terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam'iyah yang dulu kami dirikan.
Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam'iyah ini akan semakin kompak dan
kokoh. Semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggali bekal yang
cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas dan tuntunan yang gamblang."
"Jam'iyah ini dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama Ahlussunnah Wal
Jama'ah dan para pengikutnya; tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan,
mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, tapi juga
bagi khidmah kepada bangsa, negara dan umat manusia."
"Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khitthah kami telah berhasil
dirumuskan secara jelas dan rinci; sehingga generasi yang datang belakangan
tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah-langkah perjuangan
semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara
cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga Jam'iyah yang kaget,
bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain saling bertengkar dan
saling cerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaaf), tapi sudah ada
yang saling membenci (tabaaghudl), saling mendengki (tahaasud), saling
ungkur-ungkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu').
Padahal mereka, satu dengan yang lain, bersaudara. Sebangsa. Setanahair.
Seagama. Seahlissunnahwaljama'ah. Sejam'iyah."
Laa haula walaa
quwwata illa billah…" gumam semua yang hadir serempak, membuat
tunduk saya semakin dalam. Dan saya merasakan berpasang-pasang mata menghunjam
ke diri saya bagai pisau-pisau yang panas. Sementara Hadlratussyeikh
melanjutkan masih dalam nada yang sareh, penuh kebapakan: Yang pada bertikai
itu; sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mempertahankan
prinsip Islami apa? Sehingga begitu ringan mereka mengorbankan persaudaraan
yang agung?"
"Sejak awal saya sudah memperingatkan, baik dalam mukaddimah Al-Qaanun
Al-Asasi maupun di banyak kesempatan yang lain, akan bahayanya perpecahan dan
pentingnya menjaga persatuan. Dengan perpecahan tak ada sesuatu yang bisa
dilakukan dengan baik. Sebaliknya dengan persatuan, tantangan yang bagaimana
pun beratnya, Insya Allah, akan dapat diatasi."
"Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tapi tabaaghuudl,
tahaasud, tadaabur dan taqaathu' –apapun alasannya- hanya
membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita." "Kalau
di dalam organisasi, tabaaghudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu' itu
merupakan malapetaka; maka apa pula namanya jika itu terjadi dalam tubuh
organisasi ulama dan para pengikutnya?"
Hadlratussyeikh menarik napas panjang, diikuti secara serentak oleh ribuan
gunung kiai. Suatu tarikan napas yang disusul gemuruh dzikir dalam nada
keluhan:Laa
haula walaa quwwata illa billah…
Saya sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kepada Hadlratussyeikh
bahwa warga jam'iyah baik-baik saja –kalaupun ada sedikit ketegangan itu wajar,
kini sudah membaik- tak ada yang perlu diprihatinkan, ketika tiba-tiba beliau
berkata:
"Kau tidak perlu menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tahu semua.
Mungkin keadaan yang sebenarnya tidak separah yang tampak oleh kami, namun yang
tampak itu saja sudah cukup membuat kami prihatin. Kami ingin khidmah dan yang
dilakukan jam'iyah ini sebanding dengan kebesarannya,"
"Lalu apa nasehat Hadlratussyeikh?" Pertanyaan ini meluncur begitu
saja tanpa saya sadari. "Nasehatku; lebih mendekatlah kepada Allah.
Bacalah lagi lebih cermat Mukaddimah Al-Qaanuun Al Asasi dan Khitthah Jam'iyah.
Fahami dan hayati maknanya, lalu amalkan! Dan waspadalah terhadap provokasi
kepentingan sesaat ! Itu saja!"
Mendengar nasehat singkat itu, tanpa saya sadari, saya melayangkan pandangan ke
wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut
seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadlratussyeikh itu tidaklah
sesederhana yang saya duga.
"Dan belajarlah berbeda pendapat!" seru sebuah suara yang ternyata
suara Kiai Abdul Wahid Hasyim. "Berbeda pendapat dengan saudara adalah
wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakan adalah jika perbedaan
pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara." Sekali lagi
semuanya mengangguk-angguk lembut.
Saya tidak bisa dan tidak ingin lagi meneruskan wawancara. Saya hanya menunggu.
Ingin lebih banyak lagi mendengar nasehat. Tapi yang saya dengar kemudian
adalah ayat Al-Quran yang dibaca dengan khusyuk oleh –masya Allah!- Kiai Abdul
Wahab Hasbullah: "Washbir
nafsaka ma'alladziena yad'uuna Rabbahum bilghadaati wal 'asyiyyi yurieduuna
wajhaHu walaa ta'du 'ainaaka 'anhum turiedu zienatal-hayaatid-dunya walaa
tuthi' man aghfalNaa qalbahu 'an dzikriNaa wattaba'a hawaahu wakaana amruhu
furuthaa." ("Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang
yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridhaanNya dan
jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharapkan gemerlap
kehidupan dunia ini dan jangan ikuti orang yang hatinya telah Kamilailakan dari
mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadaannya melampaui
batas.")
Dan dengan berakhirnya bacaan ayat 28 Al-Kahfi itu, saya tak mendengar apa-apa
lagi kecuali dzikir dan dzikir yang gemuruhnya serasa hendak mengoyak langit. []