Rabu, 31 Oktober 2012

(Kuliner of the Day) Merasakan Gurih nya Produk Bu Wanto, Ayam Bakar Madu di Setu

Perjalanan dengan berbagai rasa dari kalimalang menuju Setu, Kab. Bekasi menyimpan sejuta pesona. Jalan yang terkadang berbeton, terkadang bergulat lumpur, dan terkadang bergeronjal memberikan sensasi tersendiri. Semua itu dilengkapi dengan kualitas udara yang masih cenderung segar dibandingkan dengan Cikarang dan sekitarnya.

 

Beberapa ratus meter menjelang pasar Setu, di kiri jalan, kita bisa menjumpai sebuah warung sederhana yang sesekali menyebarkan aroma yang indah. Lokasinya agak sempit, sehingga anda harus hati-hati meletakkan kendaraan.




ya... ayam bakar madu bu wanto, konon katanya paling terkenal se-prefektur setu.
 



berpuluh-puluh ekor siap untuk dihidangkan.
 



pesan saja satu ekor, kemudian dipotong-potong untuk dilumuri bumbu yang dicampur madu.
 



selanjutnya, mari lihat proses pembakaran dengan arang batok kelapa yang menyebabkan keluarnya aroma indah.
 



tidak terlalu lama, sudah siap terhidang di atas meja.
 



ups, jangan lupakan lalapan timun, kol, dan daun kemanginya.
 
 
sudahkah anda lapar siang ini?
 

Dahlan: Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun


Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun

Senin, 29 Oktober 2012


Benarkah BPK menemukan inefisiensi di PLN sebesar Rp 37 triliun saat saya jadi Dirut-nya? Sangat benar. Bahkan, angka itu rasanya masih terlalu kecil. BPK seharusnya menemukan jauh lebih besar daripada itu.

 

Contohnya ini: Rabu subuh kemarin saya mencuri waktu sebelum mengikuti acara peresmian pelabuhan kontainer Kariangau, Balikpapan, oleh Bapak Presiden SBY. Masih ada sedikit waktu untuk saya menyelinap ke Senipah. Jaraknya memang 1,5 jam dari Balikpapan, tapi dengan sedikit ngebut masih akan oke.

 

Di Senipah sedang dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 80 mw. Awalnya, sebelum saya menjabat Dirut PLN, proyek itu menghadapi persoalan birokrasi besar. Saya datang ke Senipah di dekat muara Sungai Mahakam itu. Persoalan selesai. Proyek bisa dibangun.

 

Ini penting bukan saja agar kekurangan listrik di Kaltim segera teratasi, tapi PLN pun bisa berhemat triliunan rupiah. Lebih efisien. Kasus Kaltim tersebut (juga Kalselteng) sangat memalukan bangsa. Daerah yang kaya energi justru krisis listriknya terparah.

 

Kini, ketika pembangunan PLTG Senipah itu hampir selesai, ada persoalan lagi. Untuk membawa listrik itu ke Balikpapan dan Samarinda, harus melewati tanah Pertamina. Saya pun harus mencarikan jalan keluar. Beres. Tiga bulan lagi proyek itu sudah menghasilkan listrik. Efisiensi triliunan rupiah segera terwujud.

 

Dengan kata lain, selama ini telah terjadi inefisiensi triliunan rupiah di Kaltim. Inefisiensi itu tidak ditemukan oleh BPK.

 

Contoh lain lagi: Krisis listrik di Jambi juga termasuk yang paling parah. Padahal, di Jambi ditemukan banyak sumber gas. Tapi, PLN membangkitkan listrik dengan BBM. Terjadilah inefisiensi triliunan rupiah di Jambi. BPK juga tidak menemukan inefisiensi di Jambi itu.

 

Saya segera memutuskan, pembangkit yang sudah nganggur di Madura dibawa ke Jambi. Sejak kabel listrik untuk Madura dilewatkan Jembatan Suramadu, tidak ada lagi kekhawatiran Madura kekurangan listrik. Jambi pun lebih efisien.

 

Ada lagi gas Jambi yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Berapa triliun rupiah inefisiensi telah terjadi. Itu juga tidak ditemukan BPK. Saya segera memutuskan membangun CNG (compressed natural gas) di Sei Gelam, di luar Kota Jambi. Agar gas yang ditelantarkan bertahun-tahun itu bisa dimanfaatkan.

 

Minggu lalu, tengah malam, dalam rangkaian meninjau proyek sapi di Jambi, saya bersama Gubernur Jambi Hasan Basri Agus meninjau proyek CNG itu. Sudah hampir selesai. Saya bayangkan betapa besar efisiensinya. Bahkan, Jambi yang dulu krisis listrik akan bisa “ekspor” listrik.

 

Contoh lagi: Suatu saat pemerintah membuat keputusan yang tepat, yakni gas jatah PLN dialihkan untuk industri yang kehilangan pasokan gas. Jatah gas PLN dikurangi. Akibatnya, PLN berada dalam dilema: menggunakan BBM atau mematikan saja listrik Jakarta. Pembangkit besar di Jakarta itu (Muara Karang dan Muara Tawar) memang hanya bisa dihidupkan dengan gas atau BBM. Tidak bisa dengan bahan bakar lain.

 

Tentu PLN tidak mungkin memilih memadamkan listrik Jakarta. Bayangkan kalau listrik Jakarta dipadamkan selama berbulan-bulan. Maka, digunakanlah BBM.

 

Kalau keputusan tidak memadamkan listrik Jakarta itu salah, saya siap menanggung risikonya. Saya berprinsip seorang pemimpin itu tidak boleh hanya mau jabatannya, tapi tidak mau risikonya. Maka, dia harus berani mengambil keputusan dan menanggung risikonya.

 

Kalau misalnya sekarang saya harus masuk penjara karena keputusan saya itu, saya akan jalani dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya!

 

Saya pilih masuk penjara daripada listrik Jakarta padam secara masif berbulan-bulan, bahkan bisa setahun, lamanya. Saya membayangkan, mati listrik dua jam saja, orang sudah marah, apalagi mati listriknya berbulan-bulan.

 

Sikap ini sama dengan yang saya ambil ketika mengatasi krisis listrik di Palu. Waktu itu saya sampai menangis di komisi VII. Saya juga menyatakan siap masuk penjara. Daripada seluruh rakyat Palu menderita terus bertahun-tahun.

 

Akibat keputusan saya untuk tidak memadamkan listrik Jakarta itu memang berat. PLN mengalami inefisiensi triliunan rupiah. Tapi, pabrik-pabrik tidak tutup, PHK ribuan buruh terhindarkan, dan Jakarta tidak padam selama setahun!

 

Apakah PLN harus memberontak terhadap putusan pemerintah itu? Tentu tidak. Putusan itu sendiri sangat logis. Kalau industri tidak dapat gas, berapa banyak pabrik yang harus tutup. Berapa ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan. Alangkah ributnya. Indonesia pun kehilangan kepercayaan.

 

Sekali lagi, jangankan dipanggil komisi VII, masuk penjara pun saya jalani dengan sikap ikhlas seikhlas-ikhlasnya!

 

Ini mirip Pertamina yang juga tidak mungkin tidak menyalurkan BBM ke masyarakat meski kuota BBM bersubsidinya sudah habis. Atau juga seperti BUMN lain, PT Pupuk Indonesia, yang November/ Desember nanti tidak mungkin tidak menyalurkan pupuk ke petani. Padahal, kuota pupuk subsidi sudah akan habis.

 

Saya tahu pepatah ini: Kian tinggi, kian kencang anginnya. Tapi, saya juga tahu lelucon ini: Kian besar kembung perut, kian besar buang anginnya!

 

Contoh lain lagi: Secara mendadak, saat menjadi Dirut PLN saya memutuskan membangun transmisi dari Tentena ke Palu lewat Poso. Sejauh 60 km. Harus melewati hutan dan gunung. Tahun depan transmisi tersebut harus jadi. Itu akan bisa mengalirkan listrik dari PLTA Poso milik Pak Kalla yang begitu murah tarifnya ke Kota Palu.

 

Kalau tidak ada transmisi itu, PLTA di Sulteng tidak bisa untuk melistriki Sulteng, tapi justru melistriki provinsi lain. Akibatnya, inefisiensi di PLN Sulteng akan terus terjadi. Dengan nilai triliunan rupiah. Itu juga tidak ditemukan oleh BPK.

 

Saya terus memonitor pembangunan transmisi tersebut agar inefisiensi yang sudah terjadi bertahun-tahun itu segera berakhir.

 

Belakangan ini ada masalah besar di proyek itu. Terutama sejak dua polisi Poso tewas di hutan oleh teroris. Para pekerja yang memasang transmisi itu tidak berani masuk hutan. Dua polisi tersebut pernah ikut mengamankan proyek itu.

 

Karena begitu pentingnya proyek tersebut, saya minta PLN tidak menyerah terhadap ancaman teroris. Kalau perlu, minta tolong Zeni TNI-AD untuk mengerjakannya.

 

Efisiensi yang akan terjadi triliunan rupiah. Listrik untuk Palu pun lebih terjamin. Program itu tidak boleh gagal oleh gertakan teroris.

 

Contoh lain yang lebih menarik: Di laut utara Semarang ditemukan sumber gas. Pemilik sumur gas itu sudah setuju menjual gasnya ke PLN. Harganya pun sudah disepakati. Tapi, bertahun-tahun perusahaan yang memenangi tender untuk membangun pipa gasnya tidak kunjung mengerjakannya. Bukan PLN yang mengadakan tender. PLN hanya konsumen.

 

PLN gagal mendapatkan gas sampai 100 MMBtu. Di sini PLN mengalami inefisiensi triliunan rupiah. BPK juga belum menemukan inefisiensi itu.

 

Contoh-contoh inefisiensi seperti itu luar biasa banyaknya. Dan triliunan rupiah nilainya. Itulah sebabnya saya benar-benar ingin menjabat Dirut PLN sedikit lebih lama lagi. Agar saya bisa melihat hasil-hasil pemberantasan inefisiensi di PLN lebih banyak lagi.

 

Apakah Komisi VII DPR tidak tahu semua itu? Sehingga memanggil saya untuk menjelaskannya?

 

Saya tegaskan: Komisi VII sangat tahu semua itu. Kalaupun merasa tidak tahu, kan ada Dirut PLN yang baru, Nur Pamudji. Pak Nur bisa menjelaskan dengan baik, bahkan bisa lebih baik daripada saya. Apalagi, waktu itu beliau menjabat direktur PLN urusan energi primer.

 

Hampir tidak ada relevansinya memanggil menteri BUMN ke komisi VII. Tapi, kalaupun saya dipanggil lagi, saya akan hadir. Saya juga sudah kangen kepada mereka. Dan mungkin mereka juga sudah kangen saya. Sudah setahun saya tidak melucu di komisi VII. (*)

 

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

Sumber:

(Ngaji of the Day) Daya Magis Air Zam Zam


Daya Magis Air Zam Zam

Oleh: Amirul Ulum

 

Manusia hidup di dunia tidak bisa lepas dari mengkomsumsi air. Air sebagai salah satu sumber kehidupan mempunyai berbagai peran. Air bisa digunakan untuk memasak, minum, mencuci dan sebagai perantara untuk beribadah. Air itu ada yang baik dan juga ada yang tidak, seperti air minum dan air seni. Berdasarkan kualitatif dan keistimewaannya, air juga mempunyai tingkatan yang berbeda-beda sebagaimana tingkatan yang ada pada selainnya. Tingkatan air istimewa dalam Islam salah satunya disematkan pada Air Zamzam.


Air Zamzam berasal dari mata Air Zamzam yang terletak di bawah tanah, sekitar 20 meter di sebelah Tenggara Ka'bah. Mata air atau Sumur ini mengeluarkan Air Zamzam tanpa henti-hentinya. Ukurannya hanya 18 x 14 feet (kira-kira 5 x 4 meter). Tidak terbayangkan, bagaimana caranya sumur sekecil ini bisa mengeluarkan jutaan galon air setiap musim hajinya. Dan itu berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sejak zaman Nabi Ibrahim AS.


Keberadaan Air Zamzam mempunyai historis tersendiri. Sejarahnya tidak dapat dipisahkan dengan istri Nabi Ibrahim AS, yaitu Siti Hajar dan putranya Ismail AS. Sewaktu Ismail dan Ibunya hanya berdua dan kehabisan air untuk minum, maka Siti Hajar pergi ke Bukit Safa dan Bukit Marwah sebanyak 7 kali.Namun tidak berhasil menemukan air setetespun karena tempat ini hanya merupakan lembah pasir dan bukit-bukit yang tandus dan tidak ada air dan belum didiami manusia selain Siti Hajar dan Ismail. Akhirnya Allah menganugrahi Air Zamzam untuk menghilangkan dahaga kepada keduanya.


Semur yang sekecil itu dapat menyuplai kebutuhan air untuk warga Arab Saudi dan para jamaah haji yang jumlahnya jutaan. Berapa banyak air Zamzam yang di kuras setiap musim haji? Marilah kita menghitungnya secara sederhana. Apabila jamaah haji yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia pada setiap musim haji dewasa ini berjumlah sekitar dua juta orang. Semua jamaah diberi 5 liter Air Zamzam ketika pulang ke tanah airnya. Kalau 2 juta orang membawa pulang masing-masing 5 liter Zamzam ke negaranya, itu saja sudah 10 juta liter. Di samping itu, selama di Mekah apabila para jamaah rata-rata tinggal 25 hari, dan setiap orang menghabiskan 1 liter sehari, maka totalnya sudah 50 juta liter! Ini hanya gambaran saja, betapa luar biasanya Air Zamzam ini yang selalu dikonsumsi manusia, tanpa pernah kering!


Selain mempunyai keistimewaan dalam segi kuantitatifnya, Air Zamzam juga mempunyai keistimewaan dalam segi kualitatifnya yang sudah diuji keilmiahnnya. Di sebuah hotel di kota Kualalumpur, Malaysia, Dr. Masaru Emoto dari Universitas Yokohama, Jepang, memaparkan hasil risetnya mengenai air yang ditulisnya dalam buku “The True Power of Water.” Sejumlah slide kristal molekul air dari berbagai sumber, seperti air dari mata air, sungai, laut, telaga dsb ditayangkan pada kesempatan itu (http://awang-uwung.blogspot.com).

 

Di dalam penelitiannya tadi, Dr. Masaru Emoto telah menemukan beberapa molekul air yang berbentuk tidak teratur, kecuali molekul Air Zamzam. Susunan molekul air ini berstruktur sangat indah, teratur, cantik bak berlian yang berkilauan, dan memancarkan lebih dari 12 warna jika dibekukan. Rangkaian bentuk heksagonal-nya sangat indah, cemerlang berkilau dan penuh warna ketika dibacakan Ayat Yang Mulia. Ada satu kristal air yang nampak paling indah dan cantik, berbentuk seperti bunga atau cakra, bagaikan bertahta berlian mutu manikam, berkilau-kilau memancarkan belasan warna. “Molekul air apakah ini?” tanya Masaru Emoto. Suasana mendadak senyap, hadirin nampak terpana dan tak tahu persis kristal molekul apa gerangan. Namun tiba-tiba seorang dosen dari Universitas Malaysia mengacungkkan tangan. “Mungkin itu adalah molekul Air Zamzam,” katanya. Lalu Dr. Masaru Emoto balik bertanya, “mengapa Anda berpendapat bahwa itu adalah molekul Air Zamzam?” Kata dosen itu, “sebab air Zamzam adalah air yang paling mulia di dunia ini, jadi wajar kalau ia memiliki molekul berupa berlian yang berpendar indah.” Ternyata dugaan dosen itu benar. Itu memang Air Zamzam.


Jika Air Zamzam diberikan tulisan dan kata-kata yang positif, seperti Ayat-Ayat Mulia maka kristalnya akan berbeda, cantik sekali dari pada dikasih kata-kata yang negatif.


Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa Air Zamzam mengandung zat fluorida yang punya daya efektif membunuh kuman, layaknya seperti sudah mengandung obat. Perbedaan air Zamzam jika dibandingkan dengan air sumur lain di kota Mekah dan Arab sekitarnya adalah dalam hal kuantitas kalsium dan garam magnesium. Kandungan kedua mineral itu sedikit lebih banyak pada Air Zamzam. Hal ini yang membuat kemungkinan bahwa Air Zamzam dapat membuat efek menyegarkan bagi jamaah yang kelelahan dan membuat orang yang lapar menjadi kenyang. Diriwayatkan dalam Sahih Muslim, Nabi Muhammad Saw bertanya kepada Abu Dzar, yang telah tinggal selama 30 hari siang malam di sekitar Ka’bah tanpa makan-minum, selain Air Zamzam. “Siapa yang telah memberimu makan?” tanya Nabi Saw. Dia menjawab “saya tidak punya apa-apa kecuali Air Zamzam ini, tapi saya bisa gemuk dengan adanya gumpalan lemak di perutku Abu Dzar juga menjelaskan bahwa dia tidak merasa lelah atau lemah karena lapar, dan tak menjadi kurus.” Lalu Nabi Saw bersabda, “sesungguhnya, Zamzam ini air yang sangat diberkahi, ia adalah makanan yang mengandung gizi.”


Air Zamzam juga mempunyai keistimewaan dapat menyembuhkan orang sakit. Ia mengandungi pelbagai mineral alkali seperti kalsium, magnesium dan kalium. Di dalam buku “Misteri Dibalik Air Zam Zam” ada sebuah cerita bahwa Yusria Abdel-Rahman Haraz dari negeri Arab terserang penyakit bisul di matanya. Sakitnya bukan main, tidak bisa disembuhkan dengan obat. Dia hampir mendekati buta. Seorang dokter terkenal menasehatinya untuk diinjeksi dengan obat khusus, yang mungkin bisa menyembuhkan sakitnya. Tapi ternyata ada efek sampingnya yang bisa membuat dia buta selamanya. Yusria sangat yakin akan kemurahan Allah. Dia lalu pergi melaksanakan umrah dan memohon kepada Allah menyembuhkan penyakitnya. Di Baitullah dia melakukan tawaf, yang saat itu tak terlalu padat dengan manusia. Dia lalu tinggal lebih lama di lokasi air Zamzam. Dia manfaatkan untuk terus membasuh kedua matanya yang sakit. Ketika dia kembali ke hotel, aneh, kedua matanya yang sakit menjadi sembuh, dan bisulnya berangsur hilang.


Ironisnya, pada tahun 1971, ada seorang doktor dari negeri Mesir mengatakan kepada Press Eropah bahwa Air Zamzam itu tidak sehat untuk diminum. Asumsinya didasarkan bahwa kota Mekah itu ada di bawah garis permukaan laut. Air Zamzam itu berasal dari air sisa buangan penduduk kota Mekah yang meresap, kemudian mengendap terbawa bersama-sama air hujan dan keluar dari sumur Zamzam. Tentu saja pernyataan tadi merupakan prasangka buruk yang menyakitkan dunia Islam. Statement yang bersebrangan dengan kebenaran ilmiah. Berita ini sampai ke telinga Raja Faisal yang membuatnya sangat marah ketika mendengarnya.

 

*Penulis Adalah aktivis Ma’had Aly Al Anwar dan ketua Website PP. Al Anwar Sarang Rembang Jateng asal Pati.

(Do'a of the Day) 15 Dzulhijjah 1433H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma innii nawaitul hajja fa a'innii 'alaihi wa taqabbalhu minnii.

 

Ya Allah sesungguhnya aku telah berniat haji, maka tolonglah aku dan terimalah hajiku ini.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9.

Selasa, 30 Oktober 2012

Ketika Mendapat Undangan Khitanan

Terhenyak sesaat, ketika sebuah undangan walimatul khitan ada di atas meja saya. Ternyata, anak yang akan dikhitan bukan bernama muhammad, michael, joko, asep, poltak, wawan, atau susilo.

BamSoet: Tiga Tahun SBY-Boedino, Realitas atau Sekadar Statistik

Tiga Tahun SBY-Boedino, Realitas atau Sekadar Statistik

 

Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI

 

Masyarakat kebanyakan tidak ingin rumit dalam mengukur atau menghitung kinerja pemerintah. Ukurannya sederhana. Rakyat akan mengacu pada masalah kecukupan pangan, papan, sandang, jaminan kesehatan atau berobat murah, dan jaminan bagi pendidikan anak-anak. Masih ditambah lagi dengan pertanyaan soal asupan gizi keluarga, rasa aman atau ketertiban umum. Dan, faktor penting lain yang juga menjadi sorotan publik adalah masalahk penegakan hukum yang berkeadilan atau kepastian hukum. Jadi, yang utama adalah aspek kesejahteraan.  

 

Kalau tolok ukurnya kesejahteraan rakyat, kinerja pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono terbilang mengecewakan. Sebaliknya, jika acuannya data-data statistik menurut teori  ekonomi, SBY-Boediono masih mungkin diacungi jempol.

 

Masalahnya adalah mana yang  ingin dilihat? Realitas kehidupan mayoritas rakyat atau sekadar memaknai data-data statistik versi Biro Pusat Statistik (BPS)? Saya memilih mengukur kinerja pemerintah dengan parameter kesejahteraan umum. Sebab, kesejahteraan itu langsung dirasakan. Kalkulasi tentang kesejahteraan boleh saja sarat akal-akalan, tetapi rasa atau nikmat kesejahteraan itu tak bisa berbohong.

 

Coba simak debat kandidat presiden Amerika Serikat baru-baru ini. Penantang dari Partai Republik Mitt Romney memojokan petahana Partai Demokrat Barack Obama dengan isu tentang kegagalan Obama menciptakan lapangan kerja baru dan ketidakmampuan menurunkan harga BBM (bahan bakar minyak). Dua isu ini adalah faktor tak terpisah untuk mengukur kesejahteraan. Jadi, di negara mana pun, kinerja pemerintah mudah dihitung dan dirasakan, tanpa harus menggunakan teori atau terminologi-terminologi ekonomi yang tidak familiar buat orang kebanyakan..

 

Karena takut sesat, Saya tidak berani hanya mengandalkan data-data statistik untuk sekadar menyimpulkan maju mundurnya perkembangan kesejahteraan rakyat. Lebih akurat jika melihat dan merasakan bagaimana rakyat, per individu maupun kelompok, melakoni hidup keseharian mereka. Dengan cara seperti itu, kita bisa melihat langsung fakta dan realitas yang belum tentu tercermin dalam statistik. Sebab, di dunia nyata itu, kita bisa melihat komunitas tertentu yang bekerja sangat keras agar bisa terhindar dari kelaparan. Komunitas yang lain masih berkutat untuk keluar dari level miskin. Sementara kelompok pekerja yang tidak berpenghasilan tetap berjibaku agar tetap mampu memenuhi kebutuhan minimum, termasuk menjaga kesehatan dan membiayai pendidikan anak-anak di sekolah negeri. Juga dari realitas itu, muncul Pertanyaan berikutnya; ada berapa banyak warga negara yang tinggal di pemukiman atau rumah tidak layak huni? Lalu, ada berapa banyak Balita dan orang dewasa menderita kurang gizi?  

 

Statistik resmi menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 6 persen per tahun. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI per 2012 sebesar 6,2%. Walaupun terjadi ketidakpastian ekonomi dunia akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat (AS), Pemerintah tahun ini tetap optimis dengan mematok pertumbuhan 6,7%,  lebih tinggi dari 2011 yang 6,5%.

 

Pertanyaannya, siapa saja yang menikmati pertumbuhan tinggi itu? Seberapa kuat pertumbuhan yang tinggi itu menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli pekerja? Mampukah pertumbuhan itu merespons masalah kemiskinan dan mengatasi masalah pangan, papan, kesehatan masyarakat dan jaminan pendidikan bagi semua anak usia belajar?

 

Menrut BPS, hingga Februari 2012, jumlah pengangguran terbuka tercatat 6,32%, dan jumlah Jumlah penduduk miskin per September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen). Statistik ini tampaknya terbantahkan dengan sendirinya, kalau dihadap-hadapkan dengan data tentang program beras untuk warga miskin (Raskin) dan jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM). 

 

Untuk Program Raskin tahun 2012  pemerintah mengalokasikan menyediakan beras bersubsidi bagi 17.488.007 RTS-PM dengan kondisi sosial ekonomi terendah di Indonesia (kelompok miskin dan rentan miskin). Ini data resmi yang dikutip dari kantor Menko Kesra. Sekarang, mau diasumsikan berapa jiwa per RTS-PM? Sejumlah ahli sering berasumsi minimal empat jiwa per RTS-PM. Maka, jumlah warga miskin sebenarnya bisa lebih dari 70 juta jiwa, bukan 29,89 juta jiwa. 

 

Jumlah warga miskin versi BPS itu memuat pesan bahwa pemerintah berhasil menurunkan jumlah warga miskin. Tetapi, program Raskin berikut RTS-PM yang dirancang pemerintah justru membantah klaim BPS itu. Program pengentasan kemiskinan bisa melenceng jauh jika hanya berpatokan pada angka BPS.

  

Saya harus mengatakan sekali lagi bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir sama sekali tidak bermutu. Hingga saat ini, perekonomian Jawa masih menjadi kontributor pertumbuhan terbesar,  diikuti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

 

Kehadiran Negara

 

Akhir-akhir ini, rakyat sering mempertanyakan peran dan kehadiran negara di tengah rangkaian konflik yang bermuara pada sengketa agraria. Karena negara tak penah tampil menengahi sengketa, bentrok berdarah kadangkala sulit diihindari. Itulah yang terjadi di Sape dan Mesuji belum lama ini. Dalam beberapa kasus, bentrok berdarah tak terhindarkan karena rakyat merasa alat-alat negara tidak independen dan cenderung berpihak pada pemodal besar.

Kalau rakyat sampai mempertanyakan peran dan kehadiran negara atau pemerintah di tengah rentetan konflik, itu sudah menjadi indikator tentang rendahnya efektivitas pemerintahan saat ini. Kalau efektivitasnya dipertanyakan, sudah barang tentu kinerjanya pun patut diragukan.

 

Menurut saya, pemerintahan sekarang ini sudah kehilangan militansi dalam agenda penegakan hukum. Saya mengacu pada obral grasi dan remisi yang diberikan kepada terpidana narkoba, serta sikap minimalis pemerintah melihat lambannya proses hukum sejumlah kasus besar yang menjadi perhatian publik, utamanya kasus Bank Century dan Mafia Pajak . Lebih spesifik lagi, pemerintahan SBY tidak militan lagi  dalam memerangi korupsi dan kejahatan narkoba di negara ini.  

 

Karena itu, tidak mengherankan jika Pemerintah pun tampak minimalis pula menyikapi upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya khawatir, sikap minimalis itu disebabkan oleh tersanderanya pemerintah saat ini. Bukan rahasia lagi bahwa ada pejabat tinggi negara saat ini  yang diduga terlibat kasus Bank Century. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

(Ngaji of the Day) Qurban dan Krisis Kepempimpinan


Qurban dan Krisis Kepempimpinan

Oleh: Adhe HM Musa Said*


Idul Adha kembali hadir. Hari raya yang mengandung hikmah pengorbanan itu tak jemu menghampiri kita. Di sisi lain, kita seolah bebal dan tak mampu menangkap spirit berkorban. Padahal sejatinya idul adha adalah momentum yang tepat mengikis krisis kepemimpinan dengan menumbuhkan semangat berkurban.


Qurban dalam istilah fikih adalah udhiyyah yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya qurban merupakan wujud kesediaan seorang hamba untuk mengqurbankan yang dicintainya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah.


Ada dua nilai penting dalam ibadah qurban yang menjadi ciri utama, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban Nabi Ibrahim dengan se-ekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian sedekah atau makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya idul qurban.


Ibadah qurban merupakan sarana pembuktian keimanan kita kepada Allah yang meliputi keikhlasan. Ibadah qurban yang dilakukan harus murni dilakukan hanya semata-mata karena Allah dan dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Jadi, dalam pelaksanaan ibadah qurban sangat dituntut adanya keikhlasan yang tumbuh dari dalam hati.


Dari penyembelihan hewan qurban, kita sebagai manusia belajar mengenai pengorbanan, yang dalam konteks ini direfleksikan dalam bentuk materi yaitu hewan qurban. Ritual ibadah qurban telah melatih kita untuk selalu siap berqurban, karena ketaatan kepada perintah yang diterima. Kata pengorbanan yang dimunculkan mempunyai arti yang sangat penting. Pengorbanan merupakan salah satu bentuk sikap moral yang apabila diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, akan menjadi ciri tersendiri. Kerelaan dan kesediaan untuk berqurban, adalah terapi ampuh untuk menata benang kusut persoalan hidup, yang kian hari kian menumpulkan akal sehat kita.


Para pemimpin yang rela berqurban dengan meninggalkan hawa nafsu dan ego akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang bijak. Bukan yang mendzalimi dan mengorbankan rakyatnya apalagi menyalahgunakan jabatanya dengan melakukan korupsi. Pada tataran dasar kehidupan, setiap individu adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Ada konsekuensi yang melekat dengan sendirinya, yakni setiap perbuatan dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Namun, konteks tanggung jawab di sini bukanlah semata-mata bermakna hanya melaksanakan tugas, lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Makna hakikinya adalah lebih kepada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan rakyat.


Pemimpin memang mendapatkan otoritas kewenangan, tetapi pada saat yang sama menjadi pelayan bagi orang yang dipimpinnya. Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka, oleh sebab itulah setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi melayani (service centric) terhadap orang-orang yang dipimpinnya.


Jika kita melihat potret kepemimpinan di tanah air saat ini, hanya segelintir pemimpin yang mau melayani dan berqurban bagi rakyat yang dipimpinnya. Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar pemimpin mulai dari lingkungan tempat tinggal kita sampai dengan nasional, lebih cenderung berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Padahal, dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh HR Thabrani menjelaskan bahwa khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya. Tidaklah mengherankan, jika kebijakan-kebijakan yang digulirkan pun, sama sekali jauh dari upaya memanusiakan rakyat yang dipimpinnya. Karena, rakyat sudah diposisikan diametral oleh pemimpin, sebagai pihak yang dikhianati. Akibatnya, berbagai persoalan multidimensi yang melanda rakyat kita, seolah tiada henti meluluhlantakkan kehidupan mereka.


Memaknai Semangat Ber-Qurban


Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk tampil selangkah di depan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, lingkungan maupun bangsa dan negara. Kepemimpinan adalah tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggung jawab kepada yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Belajar dari makna Hari Raya Idul Adha, seyogyanyalah para pemimpin di negeri ini, khususnya yang beragama Islam, mau dan mampu bermetamorfosis dari pemimpin yang mengorbankan rakyat, menjadi pemimpin yang selalu mau berkorban dan dan dikorbankan demi kepentingan rakyat.


Selama ini kita memaknai kurban dalam Idul Adha hanya sebatas ritual penyembelihan hewan kurban. Sebagai pemimpin, kita dapat meneladani lebih dalam makna kontekstual qurban yakni kedekatan dan mendekatkan. Qurban bisa bermakna sebagai upaya untuk menyingkirkan segala sesuatu yang dapat menghalangi kita untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tabir yang bisa menghalangi diri kita untuk mendekatkan diri kepada siapa pun adalah berhala dalam berbagai bentuknya, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta benda, cinta kemaksiatan, dan lain-lainnya secara berlebihan.


Jikalau seorang pemimpin tidak ada semangat berqurban dan mencintai, lebih-lebih kepada rakyatnya sendiri, perlahan namun pasti bangsa ini akan hancur lebur. Harus diingat, kehancuran suatu bangsa itu dimulai ketika para elite-nya berbuat fasik, zalim, maksiat, dan tidak mengindahkan hukum. Jiwa dari memimpin adalah mencintai orang lain, dan mencintai berarti konsekuensinya adalah harus siap berqurban. Jadi, adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin untuk memiliki kesediaan berkorban yang didorong rasa cinta terhadap sesamanya yang didasari cinta pada Tuhan.


Marilah kita semua sebagai pemimpin memulai dari diri sendiri, untuk menumbuhkembangkan semangat berkorban untuk sesama. Semangat ini akan melahirkan manusia-manusia dan pemimpin generasi seperti Nabi Ibrahim yang dengan tulus ikhlas mengqurbankan anak tercintanya Ismail. Bahwa kerelaan itu menyiratkan kesediaan dalam mengorbankan segala hal yang dimilikinya. Kita juga dapat berkaca pada para pemimpin di masa perjuangan dan revolusi dulu, yang keluar masuk penjara untuk menegakkan keadilan dan melawan penindasan. Semua pengorbanan itu dilakoni karena mereka sadar bahwa pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Rela berkorban, dan bukannya mengorbankan para insan jelata tersebut. Mendekatkan diri kepada rakyat adalah kunci untuk dapat menjadi pemimpin yang ikhlas berkorban, kapan pun, buat siapa pun dan dengan cara apa pun.


* Penulis adalah Ketua Presidium Koordinator Nasional Jaringan Alumni Muda JAM-PMII, -Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor

(Do'a of the Day) 14 Dzulhijjah 1433H


Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma laka ahrama nafsii wa sya'rii wa basyarii wa lahmii wa damii.

 

Ya Allah, karena Engkau diriku, rambutku, kulitku, dagingku dan darahku berihram.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9.

Senin, 29 Oktober 2012

Gus Mus: Wawancara Imajiner Dengan Hadlratussyeikh


Wawancara Imajiner Dengan Hadlratussyeikh

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Ketika Gus Dur menulis wawancara imajiner tentang Dr. Nurcholish Madjid di majalah Editor, dia memulai dengan ungkapan guyon cerdasnya: "Kalau dulu Christianto Wibisono mewawancarai Bung Karno secara imajiner, tidak berarti hak melakukan wawancara jenis itu menjadi monopolinya.

 

Seandainya ia bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner tentang Dr. Nurcholish Madjid. Sebabnya? Karena Christianto menjadikan tokoh yang diwawancarai itu sumber berita. Sedang saya justru mencari sumber itu di luar si tokoh."Ungkapan yang sama bisa saya kemukakan sekarang ini untuk mengawali tulisan latah saya ini.


Seandainya Christianto maupun Gus Dur bisa menunjukkan hak paten tertulis sekalipun, baik dari lembaga domestik ataupun internasional, saya tetap saja dapat melakukan wawancara imajiner dengan Hadlratussyeikh. Sebabnya? Karena Christianto menjadikan tokoh yang diwawancarai itu sumber berita dan Gus Dur mencari sumber itu di luar si tokoh. Sedang saya hanya sekedar ingin "berkangen-kangenan" secara imajiner dengan tokoh saya. Ungkapan saya berkangen-kangenan mungkin kurang tepat, meskipun sekedar imajiner; karenanya saya beri tanda kutip. Soalnya yang kangen hanya saya dan saya tidak menangi tokoh yang saya kangeni itu. Dari apa yang saya dengar tentang Hadlratussyeikh dan rekaman-rekaman buah pikiran beliau yang berhasil saya kumpulkan sampai saat ini, saya memperoleh gambaran yang demikian jelas mengenai Bapak NU ini; sehingga saya merasa seolah-olah saya menangi beliau.


Dan ketika saya, baru-baru ini, dihadiahi Kiai Muchit Muzadi copi kitab susunan Sayyid Muhammad Asad Syihab (cetakan Bairut) berjudul "Al'allaamah Muhammad Hasyim Asy'ari Waadli'u Labinati Istiqlaali Indonesia" (Mahakiai Muhammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia) dan dua kopi khotbah Hadlratussyeikh, kangen saya pun menjadi-jadi. Keinginan untuk melakukan wawancara imajiner dengan beliau pun tak bisa saya empet.


Tiba-tiba saja saya sudah berada dalam majlis yang luar biasa itu. Suatu halaqah raksasa yang menebarkan wibawa bukan main mendebarkan. Kalau saja tidak karena senyum-senyum lembut yang memancar dari wajah-wajah jernih sekalian yang hadir, niscaya tak akan tahan saya duduk di majlis ini.


Mereka yang duduk berhalaqah dengan anggun di sekeliling saya itu tampak bagaikan sekelompok gunung yang memberikan rasa teduh dan damai. Sehingga rasa ngeri dan gelisah saya berkurang karenanya.


Begitu banyak wajah –ratusan atau bahkan ribuan- memancarkan cahaya, menyinari majlis. Ada yang sudah saya kenal secara langsung atau melalui foto dan cerita-cerita, ada yang sebelumnya hanya saya kenal namanya, dan masih banyak lagi yang namanya pun tak saya ketahui. Itu tentu Kiai Abdul Wahab Hasbullah! Wajahnya yang kecil masih tetap berseri-seri menyembunyikan kekuatan yang tak terhingga.


Duduk di sampingnya, Kiai Bishri Syansuri, Kiai Raden Asnawi Kudus, Kiai Nawawi Pasuruan, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Maksum Lasem, Kiai Nahrowi Malang, Kiai Ndoro Munthah Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Faqih Gresik, Kiai Abdul Halim Cirebon, Kiai Ridwan Abdullah, Kiai Mas Alwi, dan Kiai Abdullah Ubaid dari Surabaya. Yang pakai torbus tinggi itu tentu Syeikh Ahmad Ghanaim Al-Misri dan yang di sampingnya itu Syeikh Abdul 'Alim Ash-Shiddiqi. O, itu Kiai Saleh Darat, Kiai Subeki Parakan, Kiai Abbas Buntet, Kiai Ma'ruf Kediri, Kiai Baidlowi Lasem, Kiai Dalhar Magelang, Kiai Amir Pekalongan, Kiai Mandur Temanggung.


Yang asyik berbisik-bisik itu pastilah Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Kiai Machfudz Shiddiq, Kiai Dahlan dan Kiai Ilyas. Saya melihat juga Kiai Sulaiman Kurdi Kalimantan, Sayyid Abdullah Gathmyr Palembang, Sayyid Ahmad Al-Habsyi Bogor, Kiai Djunaidi dan Kiai Marzuki Jakarta, Kiai Raden Adnan dan Kiai Masyhud Sala, Kiai Mustain Tuban, Kiai Hambali dan Kiai Abdul Jalil Kudus, Kiai Yasin Banten, Kiai Manab kediri, Kiai Munawir Jogja, Kiai Dimyati Termas, Kiai Cholil Lasem, Kiai Cholil Rembang, Kiai Saleh Tayu, Kiai Machfud Sedan, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Maksum Seblak, Kiai Abubakar Palembang, Kiai Dimyati Pemalang, Kiai Fakihuddin Sekarputih, Kiai Abdul Latief Cibeber, Haji Hasan Gipo, Haji Raden Mochtar Banyumas, Kiai Said dan Kiai Anwar Surabaya, Kiai Muhammadun Kajen, Kiai Muhammadun Pondohan, Kiai Siradj Payaman, Kiai Chudlari Tegalrejo, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Badruddin Honggowongso Salatiga, Kiai Machrus Ali Lirboyo, Kiai, Kiai …


Dan di tengah-tengah lautan Kiai dan tokoh NU itu Hadlratussyeikh bersila dengan agung, dengan wajah sareh yang senantiasa tersenyum. Namun, betapa pun jernih wajah-wajah mereka, saya masih melihat sebersit keprihatinan yang getir. Karenanya pertanyaan pertama yang saya ajukan –setelah berhasil mengatasi rasa rendah diri yang luar biasa- adalah: Hadlratussyeikh, saya lihat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh yang ada di sini begitu murung. Bahkan di kedua mata Hadlratussyeikh yang teduh, saya melihat airmata yang menggenang. Apakah dalam keadaan yang damai dan bahagia begini, masih ada sesuatu yang membuat Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh berprihatin? Apakah gerangan yang diprihatinkan?"


Hampir serempak, Hadlratussyeikh dan sekalian masyayeikh tersenyum. Senyum yang sulit saya ketahui maknanya. Tampak Kiai Abdul Wahab Hasbullah sudah akan menjawab pertanyaan saya, tapi buru-buru Hadlratussyeikh memberi isyarat dengan lembut. Ditatapnya saya dengan senyum yang masih tersungging, seolah-olah beliau hendak membantu mengikis kegelisahan saya akibat wibawa yang mengepung dari segala jurusan. Baru kemudian beliau berkata dengan suara lunak namun jelas: "Cucuku, kau benar. Kami semua di sini, Alhamdulillah hidup dalam keadaan damai dan bahagia. Seperti yang kau lihat, kami tak kurang suatu apa. Kalaupun ada yang memprihatinkan kami, itu justru keadaan kalian. Kami selalu mengikuti terus apa yang kamu lakukan dengan dan dalam jam'iyah yang dulu kami dirikan. Kami sebenarnya berharap, setelah kami, jam'iyah ini akan semakin kompak dan kokoh. Semakin berkembang. Semakin bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Semakin mendekati cita-citanya. Untuk itu kami telah meninggali bekal yang cukup. Ilmu yang lumayan, garis yang jelas dan tuntunan yang gamblang."


"Jam'iyah ini dulu kami dirikan untuk mempersatukan ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah dan para pengikutnya; tidak saja dalam rangka memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, tapi juga bagi khidmah kepada bangsa, negara dan umat manusia."


"Sebenarnya kami sudah bersyukur bahwa khitthah kami telah berhasil dirumuskan secara jelas dan rinci; sehingga generasi yang datang belakangan tidak kehilangan jejak para pendahulunya. Sehingga langkah-langkah perjuangan semakin mantap. Tapi kenapa rumusan itu tidak dipelajari dan dihayati secara cermat untuk diamalkan? Kenapa kemudian malah banyak warga Jam'iyah yang kaget, bahkan seperti lepas kendali? Satu dengan yang lain saling bertengkar dan saling cerca. Tidak cukup sekedar berbeda pendapat (ikhtilaaf), tapi sudah ada yang saling membenci (tabaaghudl), saling mendengki (tahaasud), saling ungkur-ungkuran (tadaabur), bahkan saling memutuskan hubungan (taqaathu'). Padahal mereka, satu dengan yang lain, bersaudara. Sebangsa. Setanahair. Seagama. Seahlissunnahwaljama'ah. Sejam'iyah."


Laa haula walaa quwwata illa billah…" gumam semua yang hadir serempak, membuat tunduk saya semakin dalam. Dan saya merasakan berpasang-pasang mata menghunjam ke diri saya bagai pisau-pisau yang panas. Sementara Hadlratussyeikh melanjutkan masih dalam nada yang sareh, penuh kebapakan: Yang pada bertikai itu; sebenarnya masing-masing sedang membela kemuliaan apa? Mempertahankan prinsip Islami apa? Sehingga begitu ringan mereka mengorbankan persaudaraan yang agung?"


"Sejak awal saya sudah memperingatkan, baik dalam mukaddimah Al-Qaanun Al-Asasi maupun di banyak kesempatan yang lain, akan bahayanya perpecahan dan pentingnya menjaga persatuan. Dengan perpecahan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan baik. Sebaliknya dengan persatuan, tantangan yang bagaimana pun beratnya, Insya Allah, akan dapat diatasi."


"Perbedaan pendapat mungkin dapat meluaskan wawasan, tapi tabaaghuudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu' –apapun alasannya- hanya membuahkan kerugian yang besar dan dilarang oleh agama kita." "Kalau di dalam organisasi, tabaaghudl, tahaasud, tadaabur dan taqaathu' itu merupakan malapetaka; maka apa pula namanya jika itu terjadi dalam tubuh organisasi ulama dan para pengikutnya?"


Hadlratussyeikh menarik napas panjang, diikuti secara serentak oleh ribuan gunung kiai. Suatu tarikan napas yang disusul gemuruh dzikir dalam nada keluhan:Laa haula walaa quwwata illa billah…


Saya sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kepada Hadlratussyeikh bahwa warga jam'iyah baik-baik saja –kalaupun ada sedikit ketegangan itu wajar, kini sudah membaik- tak ada yang perlu diprihatinkan, ketika tiba-tiba beliau berkata:


"Kau tidak perlu menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Kami tahu semua. Mungkin keadaan yang sebenarnya tidak separah yang tampak oleh kami, namun yang tampak itu saja sudah cukup membuat kami prihatin. Kami ingin khidmah dan yang dilakukan jam'iyah ini sebanding dengan kebesarannya,"


"Lalu apa nasehat Hadlratussyeikh?" Pertanyaan ini meluncur begitu saja tanpa saya sadari. "Nasehatku; lebih mendekatlah kepada Allah. Bacalah lagi lebih cermat Mukaddimah Al-Qaanuun Al Asasi dan Khitthah Jam'iyah. Fahami dan hayati maknanya, lalu amalkan! Dan waspadalah terhadap provokasi kepentingan sesaat ! Itu saja!"


Mendengar nasehat singkat itu, tanpa saya sadari, saya melayangkan pandangan ke wajah-wajah jernih berwibawa di sekeliling saya. Semuanya mengangguk lembut seolah-olah meyakinkan saya bahwa nasehat Hadlratussyeikh itu tidaklah sesederhana yang saya duga.


"Dan belajarlah berbeda pendapat!" seru sebuah suara yang ternyata suara Kiai Abdul Wahid Hasyim. "Berbeda pendapat dengan saudara adalah wajar. Yang tidak wajar dan sangat kekanak-kanakan adalah jika perbedaan pendapat menyebabkan permusuhan di antara sesama saudara." Sekali lagi semuanya mengangguk-angguk lembut.


Saya tidak bisa dan tidak ingin lagi meneruskan wawancara. Saya hanya menunggu. Ingin lebih banyak lagi mendengar nasehat. Tapi yang saya dengar kemudian adalah ayat Al-Quran yang dibaca dengan khusyuk oleh –masya Allah!- Kiai Abdul Wahab Hasbullah: "Washbir nafsaka ma'alladziena yad'uuna Rabbahum bilghadaati wal 'asyiyyi yurieduuna wajhaHu walaa ta'du 'ainaaka 'anhum turiedu zienatal-hayaatid-dunya walaa tuthi' man aghfalNaa qalbahu 'an dzikriNaa wattaba'a hawaahu wakaana amruhu furuthaa." ("Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari mengharapkan keridhaanNya dan jangan palingkan kedua matamu dari mereka karena mengharapkan gemerlap kehidupan dunia ini dan jangan ikuti orang yang hatinya telah Kamilailakan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta adalah keadaannya melampaui batas.")


Dan dengan berakhirnya bacaan ayat 28 Al-Kahfi itu, saya tak mendengar apa-apa lagi kecuali dzikir dan dzikir yang gemuruhnya serasa hendak mengoyak langit. []

(Buku of the Day) Sumber Daya Alam Indonesia Salah Kelola! "Kritik Terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial"


Menelisik Pengelolaan SDA Indonesia

 


 

Judul Buku        : Sumber Daya Alam Indonesia Salah Kelola! “Kritik Terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial”

Penulis Buku     : Abdul Ghopur

Penerbit            : Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU

Cetakan            : Pertama, Agustus, 2012.

Tebal Hlm.        : 242 Halaman

Peresensi          : Daud Gerung*

 

Di era globalisasi ini, kebutuhan akan Sumber Daya Alam (SDA) sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia di seluruh dunia. Hampir semua kegiatan manusia di era modern ini, membutuhkan SDA misalnya energi listrik. Mulai dari kegiatan perkantoran, pertokoan, pabrik/industri [mulai dari skala kecil, menengah dan besar], Mall, rumah tangga, bahkan aktifitas peribadatan pun memerlukan tenaga listrik.


Di samping kebutuhan primer lainnya, listrik sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam menggerakkan setiap aktifitas manusia, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian dunia. Tanpa adanya sumber energi listrik yang handal dan memadai, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kehidupan manusia di masa kini dan mendatang.


Namun Ironisnya di zaman modern seperti sekarang ini listrik masih saja mati. Padahal, Indonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alamnya sungguh melimpah ruah dan beraneka ragam jenisnya. Kita memiliki seluruh sumber energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan semua sektor kehidupan. Mulai dari minyak bumi, gas, air [microhydro], angin, panas bumi [geothermal], matahari, batubara [coal] sampai energi nuklir kita punya. Selain itu kita juga memiliki sumber energi alternatif lainnya.


Tapi sayangnya, melimpahnya kekayaan alam Indonesia tidak dikelola secara bijak dan penuh tanggung jawab, dan juga tidak memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat. Tak pelak, dampaknya Indonesia terus mengalami pemadaman listrik bergiliran yang entah untuk kesekian kalinya. Parahnya lagi, di tengah ancaman nyata krisis listrik di Indonesia, pengelolaan listrik oleh PT PLN semakin kurang profesional dan cenderung menisbikan kepentingan rakyat kecil. Krisis listrik atau bahkan krisis energi yang selalu melanda Indonesia nampaknya sangat serius (lihat, hlm. 195 & 199).


Melimpahnya kekayaan alam Indonesia jika dikelola secara baik dan penuh tanggung jawab semestinya tidak membuat penduduk negeri ini menjadi miskin. Namun sayang, kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan dan terpadu. Tak pelak kekayaan alam ini pun malah menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse) dan tidak bisa dinikmati secara murah/gratis oleh rakyatnya yang sebagian besar miskin. Tengok saja faktanya bahwa tidak semua masyarakat bisa mengakses secara mudah terhadap sumber-sumber energi.


Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas (Migas) di negeri sendiri, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal ini disebabkan kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lain. Begitu juga belum adanya payung hukum (Undang-Undang Induk Energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif.


Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri, pemerintah dan pengusaha justru mengeksplorasi sumber-sumber energi dan mengeksploitasinya secara membabi-buta demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Banyak oknum pejabat baik dari kalangan pemerintah, DPR, maupun spekulan minyak dan gas (Migas) yang berburu rente migas. Migas hanya dijadikan komoditi dagangan belaka oleh para oknum pejabat demi keuntungan pribadi. Banyak kontrak-kontrak migas yang merugikan keuangan negara dan kepentingan masyarakat dan bangsa. Alasannya sederhana, harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Padahal kita tahu banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan. Tata-kelola energi nasional yang demikian ini mencerminkan ketidak-berpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Ataupun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik dan terpadu.


Padahal, di Asia bagian tenggara, Indonesia dikaruniai sumber daya alam melimpah. Menurut data Kementerian ESDM 2011, Sumber daya minyak dan gas yang diperkirakan mencapai 87,22 milliar barel dan 594,43 TSCF tersebar di Indonesia, menjadikan Indonesia tujuan Investasi yang menarik pada sektor minyak dan gas bumi. Dinamika Industri Minyak dan Gas Bumi yang sudah berlangsung sejak lama, menjadikan Indonesia lebih matang dalam mengembangkan kontrak dan kebijakan yang ada untuk mendukung investasi.


Dukungan peraturan, insentif dan penghormatan terhadap kontrak yang ada adalah usaha pemerintah Indonesia untuk menjamin keberlangsungan Investasi di Indonesia. Peluang investasi pengembangan industri migas di Indonesia, baik di bidang hulu maupun hilir di masa mendatang masih sangat menjanjikan. Secara geologi, Indonesia masih mempunyai potensi ketersediaan hidrokarbon yang cukup besar. Rencana pemerintah dalam mempertahankan produksi minyak bumi pada tingkat 1 juta barel per hari, tentu akan memberikan peluang investasi yang besar di sektor hulu migas (lihat, hlm. 2 & 3).


Namun, belum adanya “UU Induk Energi”/”Buku Induk Energi/SDA” yang menjadi rujukan utama dalam menangani persoalan-persoalan Sumber Daya Alam di Indonesia, menjadikan tata-kelola energi nasional begitu semrawut bahkan berantakan. Antara satu sektor dengan sestor lain dalam persoalan pengelolaan energi seolah tidak terkait sama sekali (lihat, hlm. 9). Pemerintah seakan belum memiliki cetak biru (blue print) atau landscape pengelolaan energi nasional yang terpadu. Yaitu suatu tata kelola energi secara strategis yang memperhatikan pemetaan kebutuhan energi tiap wilayah. Sebab ukuran kebutuhan energi tiap-tiap wilayah di Indonesia tentu berbeda-beda.


Perbedaan kebutuhan energi tentunya akan memengaruhi tingkat konsumsi energi di tiap daerah. Penghitungannya dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya, pertama, pemerintah harus menghitung/memetakan daerah/wilayah mana sajakah yang memiliki cadangan atau pasokan ketersediaan energi yang melimpah dan yang tidak melimpah. Kedua, pemerintah harus mengukur daerah atau wilayah mana sajakah yang mengkonsumsi energi (listrik/BBM) paling besar (boros). Ketiga, pemerintah juga harus bisa memetakan daerah mana saja yang memilliki tingkat kebutuhan konsumsi energi yang cukup tinggi ataupun rendah (misal, diukur dengan perkapita). Keempat, wilayah/pulau mana saja yang di wilayahnya terdapat banyak industri-industri atau tingkat pertumbuhan infrastruktur yang tinggi yang membutuhkan pasokan energi (listrik, gas, dan BBM) sangat besar.


Pengelolaan pemanfaatan energi di perusahaan-perusahaan ini bisa dilakukan dengan mengaudit konsumsi energi di tiap perusahaan dan kemudian menggunakannya secara proporsional. Konsumsi energi listrik bisa dikurangi atau dihemat tanpa harus mengurangi produktivitas. Caranya dengan menggunakan listrik secara efektif. Kalangan industri harus mampu mengontrol secara ketat konsumsi listriknya baik untuk menyalakan mesin produksinya maupun untuk keperluan penerangan.


Dengan cara ini dipastikan ada persentase penghematan yang terukur. Meski persentase penghematannya “mungkin” tergolong kecil, namun jika dilakukan secara kolektif hasilnya akan maksimal. Selain itu hal tersebut bisa membuktikan bahwa penghematan konsumsi listrik seperti yang digariskan pemerintah bisa terus dilakukan tanpa harus mengurangi produktivitas. Kelima, bagaimana sesungguhnya pengalokasian energi antar wilayah terjadi, dan dialokasikan kemana saja, apakah tepat sasaran atau tidak. Ini terkait masalah transparansi pengelolaan energi pemerintah terhadap masyarakat. Keenam, wilayah mana saja yang terdapat komunitas khusus yang mengonsumsi BBM dalam skala besar seperti nelayan.


Dengan melakukan beberapa langkah seperti di atas, diharapkan target efisiensi perwilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat tercapai secara efektif. Upaya bersama mengefisienkan konsumsi energi harus didukung dengan strategi yang tepat yang dilengkapi dengan jadwal pelaksanaan dan pencapaian yang bisa tergambar secara jelas. (lihat, hlm. 121).


Dari berbagai tema tentang energi yang dituliskan, dengan substansi cukup mendalam terhadap berbagai realitas krisis yang telah, sedang dan akan terus dihadapi bangsa ini, buku ini memberikan kontribusi besar kepada orang muda untuk memahami masalah tata-kelola energi yang ideal.


Membaca buku ini kita seperti dibawa ke dalam serangkaian pengembaraan batin dan pemikiran pada “kekayaan” Sumber Daya Alam yang dimiliki dan terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Anugerah kekayaan alam yang luar biasa melimpah dan beraneka ragam jenisnya, selayaknya wajib kita syukuri, kita jaga dan tentunya dipelihara secara terus-menerus dari “tangan-tangan” jahil dan tidak bertanggungjawab yang hanya mau mengeruk-kuras tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keselarasan lingkungan. Sebab, manusia tidak dapat hidup tanpa adanya harmoni dan keselarasan terhadap alam dan lingkungannya.


Saya sangat menyarankan Anda semua terutama keluarga besar Nahdliyin dan Nahdliyat untuk membaca buku ini. Sebab, pada salah satu sub judul buku ini mengangkat tema tentang Problem Pengelolaan Energi di Negara Pasca Kolonial” yang tak pernah becus mengurus pelbagai lini kehidupan terutama persoalan tata-kelola energi (lihat, hlm. 17). “NU dan Blue Print Pengelolaan Energi Nasional.” Dimana NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia, memiliki umat/basis massa mencapai 70 juta (menurut survey LSI 2009) tentunya akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari kebijakan energi nasional pemerintah yang memang salah kelola ini (lihat, hlm. 7).


Terakhir, jikalau diizinkan mengkritik bernas-nya buku ini, Bung Ghopur sedikit kurang tajam mengungkap oknum atau pihak mana saja yang menjadi spekulan Migas baik dalam dan luar negeri. Sehingga, agak bias bagi orang awam dalam mengidentifikasi problem pengelolaan energi nasional dan melakukan langkah-langkah ke depan. Mungkin akan bisa terungkap dalam diskusi dan bedah buku ini nanti. Bagaimanapun, profisiat Bung Ghopur![]


* Pengurus Central Study 164, bidang kajian Sosial, Budaya & Politik