SARIDIN SYARIF
Pendiri NU
yang Menyayangi Anak Yatim
Mungkin jarang
bagi kita mendengarkan nama Saridin Syarif. Namun terlepas dari populer atau
pun tidaknya sosok Syaridin Syarif, ia adalah seorang tokoh yang cukup memiliki
peranan penting dalam sejarah penyatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Terutama seputar penyatuan kembali pulau Sumatera setelah meletusnya
pemberontakan PRRI di Sumatera Barat.
Saridin Syarif adalah tokoh yang berhasil melunakkan pemerintah pusat agar
tidak meneruskan pengejaran terhadap PRRI (1958) dan mengampuni Syafruddin
Prawiranegara sebagai dalang pemberontakan dengan tebusan berupa pengembalian
seluruh kekayaan rampasan Syafruddin yang digunakan sebagai modal
pemberontakannya.
Saridin Syarif juga adalah seorang tokoh yang sangat berjasa dalam pengembangan
cabang-cabang NU di Sumatera Barat dan sekitarnya. Beliau merintis NU tahun di
pelosok-pelosok Sumatera Barat sejak tahun 1954 bersama Nurain Datuk Patih,
teman sekampungnya, dengan melakukan banyak sekali kunjungan-kunjungan ke
daerah-daerah di Lubuk Limpang, Sawah Lunto, Bonjol, Solok dan Painan dan
lain-lain.
Dalam kunjungan-kunjungannya ini Saridin Sarif juga ditemani oleh orang-orang
dari Maninjau. Terutama sekali Saridin memang menemani Bapak Thoha Ma'ruf
sebagai ketua, sedangkan Beliau sendiri berlaku sebagai sekretaris. Di mana
wilayah kunjungannya mencapai Rengat dan Jambi. Sementara bergiat istrinya
mendirikan Muslimat NU pada tahun 1956 bersama Ibu Rosma Burhan dari Bonjol.
Kegiatan mendirikan cabang-cabang dan ranting-ranting NU ini diisi dengan
mendirikan sekolah-sekolah, yang sampai sekarang masih ada. Hingga saat ini
sekolah-sekolah tersebut, masih dikelola oleh para penerusnya.
Latar Belakang Peran
kepemimpinan
Mayoritas jaringan Ulama Sumatera Barat pada dasawarsa 1930 hingga 1950-an
berada di bawah naungan Perti yang telah menjadi organisasi berskala nasional
dengan memiliki cabang di berbagai wilayah Indonesia. Namun Perti lebih tampak
sebagai organisnasi etnis karena begitu kentalnya dominasi ulama Minangkabau.
Kekurangan Perti inilah yang pada gilirannya, memberikan pencerahan kepada
beberapa kader terbaik mereka untuk membina sebuah hubungan lintas ulama dalam
spekrum yang lebih luas. Para kader terbaik ini beranggapan bahwa untuk
mempertahankan dan mengembangkan keislaman ala Ahlussunnah Waljamaah, terutama
ala syafi'iyyah, di Indonesia, mestilah ditopang dengan suatu keorganisasian
yang mampu menaungi segala etnis dan diterima oleh etnis-etnis yang lain tanpa
membeda-bedakan. Artinya mereka menginginkan sebuah interaksi yang sejajar di
antara para pejuang Ahlussunnah Waljamaah. Maka menurut mereka, NU adalah
bahtera yang sesuai keinginan mereka. Terutama sekali mereka juga tidak
menginginkan Muhammadiyah dan Masyumi mengambil peran tunggal dalam sosio
religius Sumatera Barat.
Maka mereka pun menaruh sebuah harapan besar agar NU dapat didirikan di
Sumatera Barat. Meskipun demikian, sebenarnya orientasi ke-NU-an di antara
masyarakat Sumatera Barat telah terjalin sejak lama, terutama di
wilayah-wilayah yang berdekatan dengan tapanuli Selatan. Hal ini sikarenakan
Tapanuli Selatan sudah menjadi basis Nu sejak tahun 1940-an, sementara telah
sejak lama santri-santri asal Sumatera Barat, khususnya wilayah Pasaman yang
menuntut ilmu di Tapanuli selatan.
Di samping itu, aktivitas perdagangan mengakibatkan interaksi semakin intens
terjadi antara orang-orang NU Tapanuli Selatan de santri-santri Minangkabau.
Sehingga beberapa tokoh dan pendiri Nu di Sumatera Barat, beberapa di antaranya
berasal dari Tapanuli Selatan, seperti Djamaluddin Tarigan dan Djabonar Lubis yang
merupakan orang-orang Melayu asal Tapanuli Selatan. Setelah beberapa lama
menjalin hubungan dagang dengan penduduk pasaman, Keduanya mendirikan Pesantren
di sana. Dengan demikian pesantren-pesantren ini jeas berafiliasi kepada NU
meskipun belum secara formal.
Maka tak heran ketika cabang resmi NU lahir pertama kali di Rao Mapattunggal,
Kabupaten Pasaman, justru cabang NU ini merupakan cabang Istimewa dari Wilayah
NU Sumatera Utara (bukan Sumatera Barat atau Sumatera Tengah) karena Sumatera
Barat belum memiliki kepengurusan Wilayah. Cabang NU Mapattunggal ini pertama
kali diketuai oleh Djabonar Lubis.
Harapan besar kepada NU ini mendapatkan momentumnya ketika Zarkawi, salah
seorang Tokoh Muda Perti menghimpun teman-temannya karena tidak puas dengan
keputusan Perti yang berpegang "hidup mati" hanya pada satu Madzhab
saja, yakni Syafi'iyah. Zarkawi dan teman-temannya, Abu al-Ma'ani, Saudin
Yusuf, Thoha Ma'ruf, yaridin Syarif dan A. Razak Tuanku tanah Air, menggodok
tiga opsi yang akan mereka pilih dalam memperjuangkan Ahlussunnah Waljamaah di
Sumatera Barat.
Ketiga opsi tersebut adalah, pertama, memperjuangkan pembaharuan pemikiran di
Perti agar dapat lebih berkembang dan tidak hanya terpaku pada satu madzhab
saja. Kedua, mendirikan organisasi baru yang yang sesuai dengan keinginan
mereka. Ketiga, berafiliasi dengan NU yang dianggap juga telah sukup memenuhi
kriteria yang mereka inginkan. Meski tentu saja ketiga opsi ini mengandung
makna yang mendalam dalam masing-masing jiwa mereka, karena bagaimanapun juga Perti
selama ini adalah bahtera mereka dalam memperjuangkan Islam Ahlussunnah
Waljamaah.
Hingga pada tahun 1954 M. diadakanlah pertemuan para ulama Sumatera Barat di
Bukittinggi yang bertempat di Rumah Ustadz Syarif, seorang ulama alumni
perantren Tarbiyah, murid langsung dari Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan sudagar
kaya yang mampu membiayai seluruh akomodasi pertemuan tersebut. Hasil
kesepakatan bulat dalam pertemuan ini adalah bergabung dengan NU yang segera
didukung secara serentak oleh seluruh ulama yang berafiliasi NU.
Satu hal yang cukup menggembirakan bagi kelanjutan keputusan ini adalah adanya
kenyataan bahwa Kyai Muslih, seorang tokoh NU dari Jakarta, sedang bertugas
sebagai Kepala Jawatan Urusan Agama Sumatera tengah yang berkedudukan di
Bukittinggi. Selama ini Kyai Muslih tidak pernah mengajak mereka untuk
bergabung dengan NU karena menganggap bahwa masyarakat Sumatera Barat telah
memiliki organisasinya sendiri, yakni Perti. Karenanya, Kyai Muslih cukup
terkejut mendengar keinginan kader-kader terbaik Perti ini untuk bergabung
dengan NU. Kyai Muslih pun kemudian menerima pernyataan dan hujjah mereka untuk
bergabung dengan NU. Maka dengan demikian tiada lagi halangan untuk mendirikan
kepengurusan NU Wilayah Sumatera Barat.
Di tingkat wilayah, KH Zarqowi Wahid yang telah bergelar Syeikh Tabik Gadang
dipercaya memimpin Suriah karena ketokohan dan garis kebangsawanan ulamanya
yang tidak tertandingi di sana. Beliau adalah anak kandung dari pemangku
Pesantren Tabik Gadang, Syeikh Abdul Wahid yang sangat dihormati. Sementara
untuk mengisi kepemimpinan Tanfidziyah rupanya cukup sulit, karena beberapa
tokoh memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang sepadan. Mereka antara lain
adalah, Saridin Syarif, Abul Ma'ani, Thoha Ma'ruf, Yasir Syafi'i dan Hasan
Basri. Namun karena Thaha Ma'ruf dianggap memiliki jangkauan lebih luas karena
darah Banjar-nya, maka ia pun dinobatkan sebagai ketua Tanfidziyah. Secara
kebetulan KH. Idham Khalid (Ketua PBNU waktu itu) adalah ulama keturunan
Banjar. Sedangkan Saridin Syarif dipercaya sebagai sekretaris tanfidziyah.
Terlahir demi NU
Saridin terlahir sebagai Sulung dari tiga bersaudara di Payakumbuh, Sumatera
Barat pada 22 Desember 1929 dari pasangan suami istri guru ngaji, Muhammad
Syarif yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar dan Ibu Darusah, seorang ibu
rumah tangga, sebuah keluarga sederhana dan religius.
Saridin kecil memulai pelajarannya dari asuhan kedua orang tuanya dan
menamatkan pendidikan dasar di Payakumbuh di bawah naungan PERTI, kemudian
tetap di kampung halamannya untuk belajar hingga menamatkan SMA di Bukit
Tinggi.
Semenjak masa mudanya, Saridin telah aktif di dunia organisasi dengan mengikuti
kursus-kursus jurnalistik dan pendidikan kader. Beliau banyak sekali mengikuti pelatihan-pelatihan
keorganisasian dan politik sejak muda. Sehingga Ketua Umum PBNU Idham Kholid
menawari dirinya untuk melanjutkan belajar ke luar negeri. Namun orang tuanya
tidak mengijinkan, maka Beliau pun tidak jadi pergi ke sana.
Saridin Syarif memiliki hobi mendirikan sekolah yang berafiliasi ke NU, mulai
dari Payakumbuh (tanah kelahirannya) hingga di Depok (tempat tinggalnya yang
terakhir) juga didirikan sekolah dan panti asuhan.
Menurut penuturan Isterinya, ketika mendirikan wilayah NU Sumatera Barat yang
berkedudukan di Bukit Tinggi, yang meresmikan adalah Bapak Idham Kholid. Sempat
mampir ke Rumah Beliau di Payakumbuh untuk beberapa tahun kemudian datang lagi
dan meresmikan cabang NU di sana.
Sejak awal isterinya-lah yang turut mendampingi perjuangannya dalam memperluas
dakwah Nahdlatul Ulama. Di mana mereka tidak menalami banyak halangan, karena
telah memiliki banyak pengikut kultural yang sebelumnya berasal dari PERTI.
Bersama Thoha Ma'ruf dan isterinya, Saridin Syarif yang baru saja menikah kemudian
menyumbangkan andil dalam mendirikan cabang-cabang NU di wilayah Sumatera
Barat. Betapa pun demikian, harus diakui bahwa cabang-cabang NU di Sumatera
Barat lebih muda usianya dibandingkan dengan cabang-cabang PERTI dan
Muhammadiyah.
Pada waktu tersebut memang cuaca politik di Indonesia sedang bergejolak.
Sekitar waktu pemilu pertama (1955) Saridin Syarif dan isterinya tinggal di
Bukit Tinggi, tinggal serumah dengan Thoha Ma'ruf dan isterinya. Sebuah rumah
berlantai dua, dengan di lantai bawahnya tinggal keluarga Thaha Ma'ruf
sementara di lantai atas tinggal Saridin Syarif dan keluarga. Kemana-mana
mereka selalu berdua saja.
Saridin Syarif mengabdikan seluruh hidupnya untuk organisasi. Hingga ia
merantau ke Jakarta tahun 1977 dan mengharuskannya selalu pulang balik
Jakarta-Padang untuk urusan-urusan NU. Sebenarnya ia telah memulai ke Jakarta
sejak tahun 1960-an (sendirian) dan tinggal bersama Bapak thoha Makruf di Kebon
Nanas Jakarta Timur. Ia harus bolak-balik ke Jakarta sebagai anggota DPRD Kabupaten
50 Koto.
PKI dan PRRI serta Emas
Pada masa PKI Pak Saridin termasuk dalam daftar yang akan dibunuh oleh PKI
(1948) dengan indikasi sudah dibuatkan lubang sumur sehingga ia harus merantau
keluar dari kampungnya. Ini pulalah yang menjadi pertimbangan Saridin pada
saatnya nanti untuk merantau ke Jakarta, terutama karena penghasilan, ketika
anak-anaknya sudah mulai sekolah, sawah-sawah sudah tidak kuat menghasilkan
pendapatan yang cukup banyak.
Sementara PKI juga banyak merampas harta-benda kekayaan seperti mesin jahit dan
lain-lainnya, maka untuk menghidupi keluarganya, Saridin harus dapat ke luar
dari kampungnya. Karena pada zaman PKI, Saridin senantiasa mengalami
kesulitan-kesulitan dan dikambinghitamkan. Padahal kenyataan ini tidak
dialaminya secara langsung ketika ia memperjuangkan NU tanpa dimusuhi oleh PKI.
Isteri Saridin Syarif (Ibu Nurani Yusuf), berhasil ditemui oleh penulis
menyatakan bahwa para pembesar PRRI seperti Syafruddin Prawiranegara dan
Muhammad Natsir, pernah membangun markas selama beberapa minggu di kampung
halamannya. Sehingga suaminya sempat bertemu dengan mereka pada masa-masa yang
rawan tersebut.
Nurani Yusuf adalah saksi mata yang hingga kini masih hidup yang dapat menerangkan
bahwa para pemberontak PRRI telah sempat mengendalikan pemerintahan setempat
dengan mencetak uang dan mengendalikan transaksi perdagangan di level yang
terendah sekalipun. Ia menuturkan bahwa PRRI membuat sendiri uangnya di hutan
dengan mengangkat percetakan ke hutan. Bahkan Beliau pernah tinggal serumah
dengan isteri Syafruddin Prawira Negara di rumah mertuanya, (ibunya Pak
Saridin). Setiap hari istri Syafruddin ini mengantarkan nasi dan bekal-bekal
lainnya ke hutan tempat para tentaranya bermarkas.
Istri Syafruddin Prawiranegara sendiri mengajarkan masak dan menjahit kepada
rakyatnya waktu itu, dan bahkan sempat mendirikan sekolah untuk anak-anak para
pendukung PRRI, bahkan setelah mereka terdesak ke hutan dan gunung-gunung.
Syafruddin bersama keluarganya dan banyak sekali keluarga-keluarga pendukungnya
saling berbelanja di kampung dengan menggunakan uang (yang dicetak oleh) mereka
sendiri. Hal ini dapat berlaku karena Syafruddin Prawiranegara sendirilah yang
menyuruh. Dicetak sendiri, dibelanjakan di antara mereka sendiri. Mereka juga
membawa pemancar radio yang setiap hari selalu mengudarakan siaran tentang
berita-berita kemenangan PRRI dan menjelek-jelekkan Soekarno. Hal ini jugalah
yang menjadikan Muhammad Natsir dan Syafruddin dapat mempercayai pada Saridin
Syarif.
Setelah PRRI kalah, rupanya Pak Syafrudin membawa emas yang sempat
disembunyikan ditanam di bawah kolong rumah panggung ayah Saridin, sementara
sang pemilik rumah justru tidak mengetahui bahwa yang ditanam di bawah rumah
mereka adalah emas murni. Menurut yang menanam, peti-peti tersebut berisi
senjata. Hingga setelah kalah barulah ketahuan bahwa isinya ternyata emas.
Maka setelah kalah emas yang ditanam di bawah rumah Saridin tersebut inilah
yang dijadikan tebusan kepada pemerintah pusat sebagai tanda penyerahan diri
mereka. Saridin Syarif sendiri yang mengantarkannya ke Jakarta sebagai tebusan
atas nyawa Pak Syafruddin dengan dikawal ketat oleh tentara dari Jakarta. Emas
ini kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan sebagai bahan dasar puncak
Monumen Nasional (Monas) di jantung kota Jakarta.
Tentara pusat menyita seluruh barang rampasan perang yang tersisa setelah PRRI
kalah. Saridin Syarif beserta tokoh-tokoh NU Sumatera Barat lainnya seperti
Bagindo Letter, bagindo Jamhar, Bagindo Nukman dan Bagindo Baha'uddin Syarif
tidak ditahan. Sementara Thoha Ma'ruf sedang berada di Jakarta, sehingga selama
masa-masa terjadinya pemberontakan PRRI maupun seteahnya, NU tidak vakum. Hanya
orang-orang Masyumi saja yang ditahan. Padahal ketika meletusnya pemberontakan
PRRI, tidak ada utusan dari PBNU yang datang ke sana.
Dengan Thaha Ma'ruf
Persahabatan dengan Thaha Ma'ruf tetap terjalin hingga ke Jakarta, karena
Beliau pulalah yang memintanya untuk membawa keluarga saridin ke Jakarta. Istri
Thaha ma'ruf pulalah yang mengajarai Istri Saridin Syarif mendirikan majlis
ta'lim dan panti asuhan. Bahkan hingga memberikan bantuan dan modal awal untuk
membeli tanah.
Sebagai anak perempuan dari kampung yang dididik dengan pendidikan keagamaan
yang kuat di pesantren, tentu saja Istri Saridin ingin menularkan ilmunya
kepada masyarakat. Maka ketika isteri Saridin ini telah menyusul ikut ke
Jakarta, tentu saja ia pun ingin mendirikan majlis ta'lim dan pesantren.
Dengan latar belakang yang berasal dari pedalaman Sumatera barat yang religius,
maka hingga masa-masa senjanya Beliau selalu berpesan kepada keluarganya,
"Buatlah pesantren, mengasuh anak-anak yatim. Karena walaupun anak kita
banyak, belum tentu setia (maksudnya selalu menunggui/berdekatan). Bisa jadi
anak-anak kita dibawa ke mana-mana (menunjuk arti tempat) sama suaminya. Maka
kita di hari tua harus menyayangi anak-anak yatim."
Hingga akhir hayatnya, Beliau selalu memelihara silaturrahmi dengan para teman
seperjuangannya dan kolega-koleganya, termasuk sangat akrab dengan Idham
Khalid. []
Disadur
kembali oleh Syaifullah Amin