Rabu, 30 November 2011

Antara Tegal Gede dan Pasir Limus

Setiap pagi, Bu Maryati yang tinggal di daerah Tegal Gede, Cikarang ini menunggu angkutan K-61, jurusan Tegal Danas-Pool Sinar Jaya. Dengan membawa botol-botol berisi jamu hasil racikan sendiri, yang ditempatkan di dalam bakul anyaman bambu, beliau menumpang angkot dari perempatan kalimalang Tegal Gede menuju dusun Pasir Limus, yang ada di sekitar wilayah Cikarang.

Setiba di Pasir Limus, setelah membayar ongkos Rp 2.000, beliau langsung menjajakan jamunya dari pintu ke pintu di dusun tersebut untuk membantu hidup keluarganya.


Semoga Gusti Allah selalu memberi kesehatan untuk beliau.

(Taushiyah of the Day) Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: NU dan Peran Kenegaraannya

Pidato KH. As'ad Said Ali di Istambul
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: NU dan Peran Kenegaraannya

Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh

Hadirin yang kami hormati,

Sebuah kehormatan bagi kami, karena diberi kesempatan untuk mengikuti pertemuan dalam rangka mempromosikan perdamaian di Afghanistan. Turki tepat mengadakan pertemuan ini karena Turki adalah negara yang mengembangkan moderasi Islam sebagai wujud dari nilai kerahmatan Islam.

Tentunya kami sangat menghargai berbagai pihak yang melakukan inisiatif, demi terselenggaranya pertemuan ini. Mungkin kami diundang pada pertemuan ini, karena pada Juli yang lalu, kami Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyelenggarakan pertemuan dengan 20 ulama Afghanistan, untuk berbagi pandangan dan pengalaman tentang Islam moderat, serta merumuskan langkah-langkah demi terwujudnya perdamaian di Afghanistan. Karena kemampuan kami terbatas, maka kami memohon maaf, jika ulama-ulama yang diundang bersifat terbatas.

Pertemuan ini secara strategis merupakan second track diplomacy, yakni diplomasi antar-masyarakat yang dipelopori oleh para ulama. Second track diplomacy ini merupakan alternatif, demi mewujudkan perdamaian, sebab meskipun para ulama bukan pihak berwenang pengambil kebijakan, namun ulama memiliki kewajiban untuk mendorong dan memberikan pemikiran bermakna, demi terwujudnya perdamaian. Hal ini wajar sebab ulama adalah penerang bagi umat. Ulama sebagai pewaris nabi (warastatul anbiya’) memiliki peran signifikan dalam proses transformasi masyarakat.

Oleh karena itu, perwujudan perdamaian di Afghanistan penting, sebab ia menjadi parameter perdamaian di dunia Islam, dan ikut menyumbangkan usaha berharga bagi penanggulangan terorisme. Pada pertemuan di Indonesia, kami telah memberikan pandangan dan pengalaman ulama-ulama NU dalam rangka mengawal perjalanan bangsa. Kami bukan partai politik, tetapi secara konsisten ikut memikirkan dan mengawal Republik Indonesia (RI), sejak pra-kemerdekaan, hingga pasca-kemerdekaan. Dalam pertemuan itu, ada 9 prinsip yang disepakati oleh ulama-ulama Afghanistan dan PBNU. Salah satu ulama besar yang ikut merumuskan 9 prinsip ini adalah almarhum al-maghfurlah Prof Dr Burhanuddin Rabbani. Beliau dengan optimis ikut merumuskan prinsip-prinsip ini dan menganjurkan agar prinsip tersebut digulirkan secara terus-menerus, sehingga bisa memberikan inspirasi bagi perwujudan Islam moderat dan perdamaian di dunia Islam. 9 prinsip tersebut meliputi:

1.     To affirm the principle of Islam as religion of compassion "Rahmatan lil 'alamin", which upholds the principle of good morality (al-Akhlaq al-Karimah), Islamic brotherhood (al-Ukhuwah al-Islamiyah), and the principles of being moderate (al-Tawassuth), balanced (al-Tawazun), tolerance (al-Tasamuh) and just (al-I'tidal).
2.     To affirm the need to rebuild mutual acceptance, mutual trust and mutual brotherhood between various components of the nation in Afghanistan (al-Ukhuwah ak-Sya'biyyah al-Wathoniyyah al-Afghaniyyah).
3.     To encourage the formation of independent and soverign Afhan that is free from all intervention, Colonialism in all its manifestations.
4.     To return the role of representative institutions with attention to the comprehensive representativeness in the nation building (al-Tanmiyyah al-Watthoniyyah).
5.     Expressing sincere will to end all forms of conflicts and dispute that occurred in all regions of Afghanistan, and to return the refugees into their home place gradually.
6.     To assure the right of residence for all citizens in all parts of the country, as they have the right to reside anywhere, to join organizations, with attention to the local culture and wisdom.
7.     As to implement the national reconciliation, it is necessary to reinforce the role of Peace Council and Reconciliation Commission in Afghanistan, and also to reinforce the integration of Afghanistan, and also to reinforce the integration of Afghanistan in order to resolve all problems of the past.
8.     For all parties to participate in creating public goodness (al-Mashalih al-'Ammah) including the rehabilitation of economic facilities and infrastrucuture, educational facilities, health facilities, and religious facilities.
9.     As the making for peace is necessary, we need further reconciliation efforts that require advanced involvement of a facilitator which is accepted by all components of the nations of Afghanistan.

Dengan sembilan perinsip ini, Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, bisa menjadi katalisator bagi upaya strategis dalam perwujudan perdamaian di Afghanistan. Tentu selain prinsip keislaman, upaya ini juga membutuhkan langkah-langkah demokratis dalam menyatukan berbagai pihak di Afghanistan, sehingga kepentingan bangsa bisa menjadi "titik pemersatu" atau kebaikan bersama (common good) yang melampaui segenap perbedaan kepentingan.

Hadirin yang kami hormati,

Dalam kaitan inilah, izinkan kami berbagi pandangan dan pengalaman terkait dengan peran ulama dalam mengawal perjalanan bangsa, melalui prinsip keislaman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini penting, sebab sebagai muslim nahdliyyin, pertama-tama kami memahami diri sebagai orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan sebaliknya, orang Islam yang berada di Indonesia. Positioning ini menjadi penting, sebab dengan memahami diri pertama kali sebagai orang Indonesia, maka corak keberislaman kami pun bisa sesuai dengan kebutuhan mendasar bangsa kami. Dengan memahami diri sebagai muslim Indonesia, maka kami tidak tercerabut dari akar kebudayaan kami, dan akhirnya tidak memaksakan pandangan serta persoalan yang bukan menjadi persoalan bangsa kami.

Oleh karena itu dalam sejarah NU, organisasi yang pertama kali didirikan para ulama-pesantren (sebelum kelahiran NU) bukanlah Nahdlatul Muslimin, melainkan Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Bangsa, 1916). Karena berada dalam konteks kolonialisme, maka ulama-ulama pesantren tidak lagi mengedepankan kekelompokan Islam yang bersifat terbatas, melainkan suatu kebangkitan bangsa demi perjuangan mengusir penjajahan. Nahdlatul Wathon sebagai pusat pergerakan kemerdekaan ini kemudian diperkuat dengan pendirian Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) yang merupakan upaya para ulama untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat, vis a vis kolonialisme. Nahdlatut Tujjar kemudian menjadi perjuangan praksis pada level ekonomi, di samping perjuangan pada level kebangsaan melalui Nahdlatul Wathon.

Segenap pola perjuangan ini kemudian disempurnakan melalui pembentukan Tashwirul Afkar (1918), sebuah forum diskusi para ulama, untuk mengembangkan wawasan keislaman yang kontekstual dengan kebutuhan bangsa. Berpijak dengan pembentukan ketiga organisasi inilah, NU sebagai naungan organisasional bagi perjuangan ulama-ulama pesantren, didirikan pada 31 Januari 1926.

Kesadaran kebangsaan ini bisa terbentuk, karena kami memahami Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Artinya, karena rahmat Islam tidak hanya untuk umat muslim, maka perjuangan Islam bisa diperluas ke dalam konteks kebangsaan yang tentunya melampaui sekat-sekat keagamaan. Kami, Nahdlatul Ulama (NU), secara prinsipil memang memahami Islam terutama sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Artinya, Islam ketika dilaksanakan secara benar, akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun bagi seluruh alam. Islam sebagai agama penyempurna tidak hanya membatasi kebaikannya, murni untuk umat Islam semata, melainkan untuk semesta alam, baik seluruh manusia, makhluk dan kehidupan itu sendiri. Kesempurnaan Islam terletak di dalam kesemestaan ini, yang akhirnya tidak membatasi dirinya dalam klaim kelompok, klaim golongan, apalagi klaim pribadi. Kebaikan, kebenaran dan keadilan Islam bersifat menyeluruh, karena Kemahakuasaan Alloh SWT meliputi segala sesuatu.

Dalam QS. Al-Baqarah: 163 Alloh berfirman: وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang.

Hal serupa ditegaskan di QS. Al-Anbiya’: 107:وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Sifat Rahman dan Rahim Alloh, serta derajat Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah menunjukkan ketinggian nilai Islam, yang sempurna, justru karena ia meliputi segala sesuatu. Rahmat yang berakar pada asma terpuji Alloh, al-Rahman, adalah Kasih Sayang Alloh yang tentu mencakup seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Islam tidak bisa membatasi rahmat-Nya, hanya untuk umat Islam, karena ciptaan Alloh melampaui sekat keagamaan, organisasi, negara, dan bahkan batasan manusiawi.

Hadirin yang kami hormati,

Pemahaman Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengandaikan sebuah pengertian, bahwa Islam telah mengatur tata hubungan, menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Karena dasar dari pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Kasih Sayang Allah, maka nilai kerahmatan ini menjadi dasar bagi seluruh tata hubungan tersebut.

Dalam kaitan ini, sebagai organisasi yang menjalankan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, NU memiliki nilai-nilai operasional yang mengejawantahkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut. Pertama, tawasuth. Yakni sikap mengambil jalan tengah ketika berada di dua titik ekstrim, dengan menampilkan keberislaman yang moderat dan kontekstual. Pilihan atas sikap tawasuth ini didasari oleh kemampuan NU untuk menemukan nilai-nilai substantif dari Islam, dengan pengamalan ajaran Islam yang kontekstual dengan kebutuhan umat.

Kedua, i’tidal. Sikap adil ini menjadi substansi, konsistensi, dan akurasi yang senantiasa dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut, sehingga jika tawasuth berkaitan dengan posisi, maka i’tidal adalah substansi yang dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut. Dalam praktiknya, sikap tawasuth dan i’tidal ini kemudian melahirkan sikap-sikap nahdliyyah lainnya, yakni tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan tasyawur (musyawarah).

Oleh karena itu, NU kemudian menjadi garda depan moderatisme Islam di Indonesia, karena ia telah menemukan pemahaman yang seimbang dan adil dari ajaran-ajaran Islam.

Dalam menjalankan tawasuth dan i’tidal ini, NU menggunakan tiga pendekatan. Pertama, fiqh al-ahkam, yakni pendekatan syari’ah untuk masyarakat yang telah siap melaksanakan hukum positif Islam (umat ijabah). Kedua, fiqh al-da’wah, yakni pengembangan agama di kalangan masyarakat melalui pembinaan. Ketiga, fiqh al-siyasah, yang merupakan upaya NU dalam mewarnai politik kebangsaan dan kenegaraan.

Dalam politik kenegaraan inilah, ulama-ulama NU telah menggariskan suatu kebijaksanaan fiqhiyyah sebagai mekanisme logis untuk menghadapi persoalan bangsa. Jadi, sah tidaknya suatu persoalan kenegaraan, sering dilihat dari sah tidaknya persoalan itu menurut cara-pandang fiqh. Salah satu contoh yang populer di kalangan kami adalah penggunaan kaidah fiqh, ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu: apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya. Kaidah ini kemudian menjadi landasan normatif dalam menetapkan sikap NU terhadap corak kenegaraan Indonesia yang memang bukan negara Islam.

Hal ini dipraktikkan dalam beberapa fase sejarah. Pertama, pra-kemerdekaan. Dalam Muktamar NU di Banjarmasin (1935), NU dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa hukum pemerintahan yang secara konstitusional berada dalam kekuasaan Hindia-Belanda? Apakah ia berarti negara kafir (dar al-harb), ataukah bisa diupayakan suatu negara Islam (dar al-Islam)?

Dengan berpijak pada tradisi fiqh, maka wilayah Hindia-Belanda ini kemudian ditetapkan sebagai dar al-salam atau dar al-shulh (negeri damai). Argumentasinya jelas: meskipun pemerintahannya tidak Islami, tetapi umat Islam di dalamnya memiliki hak untuk melaksanakan syari’at Islam dengan nyaman dan aman. Hal ini menegaskan sutu prinsip, bahwa ketika prinsip dasar Islam, yakni pelaksanaan syari’at bisa dilaksanakan di sebuah negara yang struktur konstitusionalnya tidak Islami; hukum bagi negara tersebut bukanlah dar al-harb, melainkan dar al-salam, negeri damai.

Kedua, fase pembentukan negara-bangsa RI. Dalam perumusan konstitusi dan bentuk kenegaraan Indonesia (1945), masyarakat kami dihadapkan pada persoalan krusial dan sensitif: apa corak kenegaraan Indonesia? Apakah ia harus menjadi negara agama, ataukah negara sekular? Umat Islam, sebagai umat mayoritas, tentu memiliki harapan agar kenegaraan RI menjadi negara Islam.

Dalam kaitan ini, NU memiliki pemikiran lain. Karena sejak awal, kebangsaan Indonesia bersifat majemuk, maka corak kenegaraan yang berdasar pada satu konsepsi keagamaan, akan bertabrakan dengan kondisi majemuk tersebut. Hal ini sebenarnya telah diwadahi oleh kebijaksanaan falsafah negara kami, yakni Pancasila.

Di dalam falsafah yang digali dari kebijaksanaan kebudayaan Nusantara ini, terdapat prinsip Bhinneka Tunggal Ika tanhana Dharma Mangrwa: kemajemukan itu hakikatnya satu, karena tidak ada Kebenaran yang mendua. Meskipun bangsa kami memiliki suku, agama, dan budaya yang begitu majemuk, namun ia tetap berada dalam satu kebenaran, karena tidak ada Kebenaran yang mendua.

Dengan ajaran bijak dari local wisdom ini, maka ulama NU akhirnya menentukan sikap: negara RI bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Ia adalah negara yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan. Hal ini dengan baik dijaga oleh keberadaan sila pertama dari Pancasila itu sendiri, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan menempatkan nilai ketuhanan sebagai prinsip (sila) pertama dalam Pancasila, maka negara RI adalah negara yang mendasarkan diri pada nilai ketuhanan. Hal ini memiliki konsekuensi strategis, yang jika dilihat dari prinsip ke-NU-an, menggambarkan sikap tawasuth dan i’tidal. Yakni, di satu sisi, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama.

Sementara di sisi lain, agama memiliki peran signifikan: ia menjadi dasar etis bagi pembentukan suatu masyarakat madani yang dibutuhkan demi terbangunnya kenegaraan yang beradab. Agama akhirnya menjadi “agama publik” (public religion) yang digerakkan oleh para pemuka dan organisasi keagamaan, untuk membentuk etika sosial dan etika kewarganegaraan yang berlandaskan nilai-nilai etis keagamaan.

Pada titik ini, prinsip ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu menemukan ruangnya lagi. Sebab, ketika nilai-nilai substantif Islam, seperti keadilan, kejujuran, saling mengasihi, kemashlatan, dsb bisa diterapkan untuk membentuk etika publik, perjuangan pendirian struktur kenegaraan Islam tidak lagi menjadi persoalan utama. Hal ini terkait dengan prinsip keislaman dalam NU, yang tidak terjebak dalam penerapan aspek formalis atau institusional dari syari’at, melainkan upaya demi terwujudnya tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Tujuan utama syari’at itu terdapat dalam kemashlatan, yang mewujud dalam pembelaan terhadap lima hak dasar manusia, yakni hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak bekerja, dan hak berkeluarga.

Fase ketiga, adalah fase azas tunggal Pancasila. Kami pernah mengalami satu masa, di mana negara (era Orde Baru) secara koersif, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik, yang mengeliminir ideologi-ideologi lainnya. Di segenap lini masyarakat, baik partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, Pancasila harus menjadi satu-satunya azas yang mengganti azas lainnya, termasuk azas Islam.

NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984) kemudian mengambil sikap. Pancasila adalah azas kenegaraan, bukan azas agama. Selama tidak hendak menggantikan akidah Islam, maka Pancasila bisa diterima. Penetapan ini bisa kita pahami dengan menyimak ungkapan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan simbolis, beliau menjelaskan: “Pancasila adalah rumah kita. Sementara Islam adalah rumah tangganya”.

Artinya, Pancasila adalah bangunan rumah bersama, yang bisa ditempati oleh siapa saja. Sementara itu bagi warga NU, rumah tangga untuk menata rumah itu, tetaplah akidah Islam. Sikap dan ketetapan seperti ini bukan suatu logika taktis atau bahkan oportunisme politik. Melainkan sebuah sikap tawasuth yang lahir dari pemahaman atas substansi ajaran Islam, serta kesadaran atas kebutuhan untuk membangun kenegaraan yang beradab. Dengan menerima azas Pancasila ini, NU ikut membangun pola kenegaraan konstitusional, sebab dasar konstitusional tersebut, yakni Pancasila, adalah nilai-nilai luhur yang selaras dengan syari’at Islam.

Berdasarkan pada pengalaman historis di atas, maka NU secara konsisten mengiringi perjalanan kenegaraan RI. Sebab menurut NU, struktur kenegaraan RI, dengan Pancasila sebagai falsafah, dan konstitusi yang memuat perlindungan dan pemenuhan atas hajat hidup masyarakat, adalah struktur kenegaraan yang secara substantif, sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam. Di dalam kesesuaian dasariah inilah, NU menempatkan peran kenegaraannya. Oleh karenanya, di tengah upaya-upaya ideologis yang digerakkan oleh sayap ekstrim, seperti komunisme dan gerakan fundamentalis Islam, NU tetap berada di titik tawasuth dan i’tidal, sehingga di setiap fase sejarah kenegaraan RI, sikap NU senantiasa sama, yakni mengawal nilai-nilai keadilan yang menjadi prinsip utama dari syari’at Islam.

Hadirin yang kami hormati,

Demikianlah pandangan dan pengalaman NU dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara substantif bisa diambil kesimpulan bahwa dengan memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, maka pergerakan Islam tidak akan terbatas pada kelompoknya sendiri. Dalam kaitan ini, Islam adalah agama yang sempurna, justru karena ia bisa merangkul segenap persoalan yang berada di luar batas kediriannya. Paradigma perjuangan Islam untuk bangsa, untuk masyarakat, dan untuk kemashlahatan semua golongan akan menunjukkan kebesaran Islam, sebab sebagai agama rahmat, ia memiliki keluasan tak terbatas untuk menyelesaikan segala persoalan. Dengan keluasan Islam inilah, diharapkan berbagai perbedaan di dunia Islam bisa ditemukan kembali pada titik yang sama, yakni kebesaran Islam itu sendiri, sebagai agama yang rahmatnya meliputi semesta alam.

Semoga sumbangan pandangan dan pengalaman ini bisa menjadi inspirasi dan pijakan berharga bagi upaya perwujudan perdamaian di Afghanistan dan dunia Islam secara umum.

Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Hormat kami, 9 November 2011
Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
KH. As’ad Said Ali

(Do'a of the Day) 04 Muharram 1433H

Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahummaj'alnii aujaha man tawajjaha ilaika, wa aqraba man taqarraba ilaika, wa afdhala man sa'alaka wa raghiba ilaika.

Ya Allah, jadikanlah aku paling lurus di antara oarang yang menghadap kepada-Mu, paling dekat di antara orang yang dekat kepada-Mu, seafdhal-afdhal orang yang memohon kepada-Mu dan mencintai-Mu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 7, Bab 1

Selasa, 29 November 2011

(Masjid of the Day) Nurut Taqwa yang Agung dan Indah di Gardu Sawah, Cikarang Barat

Masjid yang sangat bersejarah bagi kalangan warga sekitar ini terasa luar biasa, karena sudah ada sejak tahun 1960-an dan kemudian direnovasi di beberapa bagiannya sehingga menjadi sangat indah seperti sekarang. Terletak di jalur emas yang padat dan ramai, sebuah jalur jalan nasional kelas satu yang seakan tidak pernah terlelap tidur. Masjid Agung Nurut Taqwa, Gardu Sawah, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.

dari cikarang menuju bekasi, terletak di kanan jalan...


indah dan gagah...


dibangun sejak tahun 1960, kemudian terakhir selesai direnovasi tahun 2003...


di depannya, disambut dengan kaligrafi shalawat nariyah yang indah sebagai kecintaan kepada kanjeng nabi kita...


dan tidak ketinggalan, bedug yang gagah sebagai ciri khas islam nusantara...


di dalamnya memang benar2 indah, mas rizal sampai terbengong karena nya...


di bawah kubah besar yang juga tak kalah indahnya...


dengan ornamen yang luar biasa...


Mari silahkan teduhkan hati kita ke sana.


Untuk Sesuap Nasi

(Ngaji of the Day) ‘Arasy: Singgasana Allah Subahânahu wata‘âla

‘Arasy: Singgasana Allah Subahânahu wata‘âla

Secara etimologi ‘Arsy adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya–ya‘risyu–‘arsyan yang berarti “bangunan”, “singgasana”, “istana”, atau “tahta”. Di dalam al-Qur’an, kata ‘arsy dan kata yang seasal dengan itu disebut sebanyak 33 kali. Kata ‘arsy mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah “singgasana” atau “tahta Allah”.

Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, penulis tafsir Ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîri bi al-Ma‘tsûr, menjelaskan bahwa berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Wahhab ibnu Munabbih, Allah Subhânahu wata‘âla menciptakan ‘arsy dan kursi (kedudukan) dari cahaya-Nya. ‘Arsy itu melekat pada kursi. Para malaikat berada di tengah-tengah kursi tersebut. ‘Arsy dikelilingi oleh empat buah sungai, yaitu: 1) sungai yang berisi cahaya yang berkilauan; 2) sungai yang bermuatan salju putih berkilauan; 3) sungai yang penuh dengan air; dan 4) sungai yang berisi api yang menyala kemerahan. Para malaikat berdiri di setiap sungai tersebut sambil bertasbih kepada Allah Subhânahu wata‘âla. Di ‘arsy juga terdapat lisân (bahasa) sebanyak bahasa makhluk di alam semesta. Setiap lisân bertasbih kepada Allah Subhânahu wata‘âla berdasarkan bahasa masing-masing.

Gambaran fisik ‘arsy merupakan hal yang gaib yang tak seorang pun mampu mengetahuinya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas di dalam riwayat Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan ada yang mampu mengetahui berapa besar ukuran ‘arsy kecuali penciptanya semata. Langit yang luas ini jika dibandingkan dengan luas ‘arsy sama dengan perbandingan di antara luas sebuah kubah dan luas padang sahara.”

Dalam perbincangan ulama kalam (teolog Islam), persoalan ‘arsy merupakan topik yang kontroversial. Para ulama tersebut memperdebatkan apakah ‘arsy itu sesuatu yang bersifat immaterial (nonfisik) atau bersifat material (fisik). Dalam hal ini terdapat tiga pendapat: pertama, golongan Muktazilah berpendapat bahwa kata ‘arsy di dalam al-Qur’an harus ditakwilkan dan dipahami sebagai makna metaforis (majâzî). Jika dikatakan Allah bersemayam di ‘arsy, maka arti ‘arsy di sini adalah kemahakuasaan Allah Subhânahu wata‘âla. Allah merupakan Dzat yang immaterial, karenanya mustahil Dia berada pada tempat yang bersifat material.

Kedua, golongan Mujassimah atau golongan yang berpaham antropomorfisme. Pendapat golongan ini bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut mereka, kata ‘arsy harus dipahami sebagaimana adanya. Karena itu, mereka mengartikan ‘arsy sebagai sesuatu yang bersifat fisik atau material.

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ‘arsy dalam arti tahta atau singgasana harus diyakini keberadaannya, karena al-Qur’an sendiri mengartikan demikian. Akan tetapi, bagaimana wujud tahta atau singgasana itu, hanya Dia sendiri yang tahu. Akal manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahuinya. Pendapat ini diyakini oleh golongan Asy‘ariyah yang diikuti oleh umat Islam Ahlusunah wal Jamaah.

Catatan Penting

Kita wajib meyakini bahwa Allah Subhânahu wata‘âla tidak butuh kepada ‘Arsy, karena ‘Arsy adalah makhluk-Nya. Allah Subhânahu wata‘âla menciptakan ‘Arsy dan memilihnya sebagai singgasana untuk-Nya, padahal Dia tidak butuh terhadap ‘Arsy, adalah dalam rangka hikmah yang besar dan agung yang hanya diketahui oleh-Nya. Kita wajib menjauhkan diri dari tasybîh, yaitu menyerupakan Allah Subhânahu wata‘âla dengan makhluk-Nya. Kita tidak boleh mengatakan—misalkan saja—: “Allah Subhânahu wata‘âla bersemayam di atas ‘Arsy seperti duduknya seorang Raja di atas singgasananya (Maha Suci Allah dari serupa dengan makhluk-Nya).” Karena Allah berfirman:

“Tidak ada satu pun yang semisal dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura: 11)

Demikian juga kita tidak boleh menolak bersemayamnya Allah Subhânahu wata‘âla di atas ‘Arsy dengan alasan penyerupaan dengan sifat makhluk. Yakini dan benarkan, jangan ditolak, jangan dipertanyakan bagaimana Allah Subhânahu wata‘âla bersemayam, jangan dibayangkan, jangan dimisalkan; serahkan kaifiyyât-nya kepada Allah Subhânahu wata‘âla, karena hanya Dia yang tahu. Yang jelas, kaifiyyât bersemayamnya Allah Subhânahu wata‘âla di atas ‘Arsy tidak sama dengan makhluk-Nya, dan berbeda dengan apa yang kita bayangkan. Inilah akidah yang salîm (selamat). Wallahua’lam. ***

Santri Pondok Pesantren Sidogiri – Pasuruan

(Do'a of the Day) 03 Muharram 1433H

Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Assalaamu 'alaikum daara qaumim mu'miniina, antum lanaa farathun, wa innaa bi kum laahiquuna.

Semoga kalian selamat sejahtera wahai penghuni kubur yang terdiri atas para mukminin. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 32.

Senin, 28 November 2011

Malam Yang Keras

Di saat hampir seluruh penduduk bumi yang mendapat giliran tersinari rembulan bersiap menuju peraduan, ada di suatu sudut tempat yang menggeliat memulai kerasnya hidup. Mengangkut hasil bumi untuk dijajakan kepada pembeli dengan cara melawan dinginnya malam dan kerasnya kehidupan.


menunggu siap...


mencari tempat...


unloading...

(Buku of the Day) Nyanyian Cinta; Antologi Cerpen Santri Pilihan

Interpretasi Santri atas Kehidupan
021.jpg
Judul : Nyanyian Cinta; Antologi Cerpen Santri Pilihan
Penulis : KH. A. Mustofa Bisri, Ahmadun Y. Herfanda, dkk
Pengantar : Ahmad Tohari
Cetakan I : 2006
Tebal : 198 halaman
Peresensi : Rijal Mumazziq Z *

Pada awal 80-an para santri tampil mempresentasikan dunia pesantren kepada khalayak. Gus Dur, Gus Mus, Cak Nur, dan Cak Nun adalah para santri yang mengikis pandangan luar bahwa pesantren identik dengan pemikiran stagnan, penampilan kolot, serta berpandangan picik.

Ledakan arus para santri (yang diawali dengan gerakan empat kampiun santri di atas) kemudian merambah ke dunia seni, lebih khusus lagi sastra. Jika nama santri senior seperti Gus Mus, Cak Nun maupun Kang Tohari sudah kondang di panggung sastra Indonesia. Maka generasi santri yang muncul belakangan setidaknya membuktikan betapa regenerasi santri di bidang sastra masih terjaga dengan baik.

Ahmadun Yosi Herfanda, Abidah el-Khalieqy, Habiburrahman el-Shirazy, Prie GS, adalah sekelumit nama santri yang mengusung warna baru dalam jagat sastra Indonesia. Mereka lahir, tumbuh, mengalami proses di pesantren, serta terpengaruh eksotisme religius ala pesantren. Hal itu terbukti, jika melihat gagasan, alur, serta nilai-nilai religius yang mereka usung dalam karyanya masing-masing.

Nyanyian Cinta; Antologi Cerpen Santri Pilihan, adalah bukti bahwa para santri memang memiliki daya pikat tersendiri dalam karya masing-masing. Dua belas santri—dan seorang mahasantri—masing-masing menawarkan citarasa bertutur dan daya bercerita yang khas. Gus Mus, sang mahasantri, tampil dengan "Muhasabah Sang Primadona" yang tampak menukik dan membalik imajinasi pembaca. Dalam cerpennya tersebut, Gus Mus menceritakan seorang perempuan muda yang sedang menghadapi masalah pelik. Masalah datang justru setelah ia menjadi artis tenar, kaya, bahkan sang primadona sudah berjilbab, dan menjadi penceramah agama. Sebuah impian banyak orang. Namun, disinilah letak ke-suhuan Gus Mus. Kiai asal Rembang ini memulai alur problematik cerita di saat bagi mayoritas masyarakat merupakan sebuah penyelesaian. Gus Mus terlihat berpegang pada pakem substansi sebuah cerpen. Ketenaran, kakayaan, dan gelar Ustadzah haruslah diberi makna yang akan memberi bobot nilai dalam realitas kehidupan.

Adapun Habiburrahman el-Shirazy, penulis novel Best seller “Ayat-ayat Cinta”, dengan jempolan mendeskripsikan tempat kuliahnya dulu, kampus al-Azhar Mesir melalui cerpen Nyanyian Cinta. Kang Abik (panggilan akrabnya) dengan gaya bahasa lugas nan memikat menceritakan hubungan Hafshah dan Mahmud yang berlandaskan ruh cinta serta bermuara pada makna kasih sayang yang luas. Dalam Nyanyian Cinta, Kang Abik kembali mengkampanyekan ruh cinta universal.

Lain lagi dengan "Mas Umar"-nya Arif Budi Santoso yang dengan telak mengkritik gaya hidup "zuhud total" yang menafikan unsur duniawi melalui lakon Kang Umar. Di sini Arif tampak berkutat dengan makna yang dengan semangat ia tuturkan melalui benturan dan putaran logika (meski sesaat). Membenturkan logika dengan realitas juga muncul dalam "Wali Tiban”nya Ahmadun Y. Herfanda, atau "Perantara"nya Prie GS.

Interpretasi substantif kembali kentara pada "Hidup El maut"-nya Abidah El Khalieqy, maupun "sayap-sayap Cinta"-nya Muhammad Kasmijan yang samar dengan gaya penulisan prosa-puitis bertabur makna. Berbeda dengan “Peri Kecil di Hari Pernikahanku”-nya Ukhti Mulia yang terlihat ada warna romantisme tragis namun tetap indah, serta “Maaaaak!!!”-nya Titik Indriyana yang mengusung protes sosial. Sedangkan polesan filosofis terlihat dalam “Langkah-langkah Tua”-nya Tazkiyyatul Muthmainnah maupun cerpen Mita el-Rahma (“Bacaan al-Quran buat Simbah”).

Tak heran jika Ahmad Tohari dalam “Kata Pengantar"nya menilai bahwa andaikata dua belas santri ini dipandang sebagai musafir yang sedang melintas padang kehidupan nyata, maka tampak paling depan adalah sang suhu, yaitu Gus Mus (KH. Mustofa Bisri). Mengiring di belakangnya adalah para pendekar; Ahmadun Yosi Herfanda, Prie GS, Abidah El Khalieqy, serta Habiburrahman El Shirazy Tujuh lainnya adalah cantrik-cantrik yang sedang mengikuti jalan sastra kesantrian yang telah dirintis oleh sang suhu.

Para santri, dalam antologi cerpen ini, sekilas begitu simple namun kukuh mengusung makna saat menggoreskan tafsir atas kehidupan, meski terkadang masih terlihat sedikit sumir. Meminjam bahasa Ahmad Tohari, “proses”lah yang akan membuat para santri yang terbiasa menghafal beralih ke santri yang membaca, menghayati, lalu berbuat sesuatu untuk kehidupan nyata.

Disinilah para santri sebagai kreator bakal ter(di)uji sebagai penafsir kehidupan. (mencomot bahasa Satmoko Budi Santoso), benarkah seorang pengarang selalu berperan sebagai pengisah yang handal atau sekedar melanjutkan klise bahwa kerja mengarang telanjur terjebak pada beberapa teknik penceritaan tertentu yang seolah menjadi pakem.

*Jebolan PP. Mabdaul Maarif Jombang-Jember, Kontributor Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI)

(Ngaji of the Day) Hakikat Wali

Hakikat Wali

Dalam tradisi keilmuan Nusantara, dikenal istilah wali. Diantara kata wali yang paling populer adalah 'walisanga' yang berarti wali sembilan sebagai penyebar Islam pertama di Nusantara. Wali juga biasa diidentikkan dengan seseorang yang memilki kelebihan (karomah). Sebagian dari masyarakat muslim mempercayai keberadaan dan 'kelebihan' yang dimiliki para wali dan sangat menaruh hormat kepada mereka. Kepercayaan itu diungkapkan dalam bentuk mengunjungi maqbaroh untuk bertawassul kepada mereka. Akan tetapi sebagian masyarakat yang lain tidak percaya dengan keberadaan wali bahkan menganggap para wali sebagai sarang ke-bid'ah-an. Hal ini terjadi karena miskinnya pengetahuan atau seringnya pemaknaan kata wali yang merujuk pada hal-hal negatif.

Menurut bahasa, kata wali itu kebalikan dari ‘aduw, musuh. Bisa jadi berarti sahabat, kawan atau kekasih. Umumnya wali Allah diartikan kekasih Allah. Menurut istilah ahli hakikat, wali mempunyai dua pengertian, Pertama, orang yang dijaga dan dilindungi Allah, sehingga dia tidak dan tidak perlu menyandarkan diri dan mengandalkan pada dirinya sendiri. Seperti dalam al-Qur’an surah al-A’raf 196.

Artinya: Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.

Kedua, orang yang melaksanakan ibadah kepada Allah dan menanti-Nya secara tekun terus menerus tak pernah kendur dan tidak diselingi dengan berbuat maksiat, maka Allah pun mencintainya.

Kedua-duanya merupakan syarat kewalian. Wali haruslah orang yang terpelihara (mahfudz) dari melanggar syara’ dan karenanya dilindungi oleh Allah, sebagaimana nabi adalah orang yang terjaga (ma’shum) dari berbuat dosa dan dijaga oleh-Nya.

Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penanda bagi wali Allah:
a.     Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah
b.    Tujuannya hanya kepada Allah
c.     Kesibukannya hanya kepada Allah

Ada juga yang mengatakan tanda wali Allah adalah senantiasa memandang rendah dan kecil kepada diri sendiri serta khawatir jatuh dari kedudukannya (di mata Allah) di mana ia berada. (baca Jamharatul Auliya wa A’lamu Ahlit Tatsawwuf, hal 73-110)

Kalau menurut al-Qur’an, ini tentu saja paling benar, wali Allah adalah orang-orang mu’min yang senantiasa bertakqwa dan karenanya mendapat karunia tidak mempunyai rasa takut (kecuali kepada Allah) dan tidak pernah bersedih. Seperti dalam al-Qur’an surah Yunus: 62-63

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Artinya: Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, (Yaitu mereka) adalah orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa

Atau dengan kata lain, wali Allah adalah orang mu’min yang senantiasa mendekat (taqarrub) kepada Allah dengan terus mematuhi-Nya dan mematuhi Rasul-Nya. sehingga akhirnya dia dianugrahi karomah, semacam ‘sifat ilmu niluwih’ (seperti mukjizat Nabi. Bedanya, mu’jizat nabi melalui pengakuan –dan sebagai bukti- kenabian; sedang karomah wali tidak mengikuti pengakuan kewalian).

Dalam sebuah hadits qudsi (hadits Nabi saw. yang menceritakan firman Allah) yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Shahabat Abu Hurairah r.a Rasulullah saw bersabda:

إن الله تعالى قال: من عادى لي وليا فقد أذنته بالحرب وما تقرب إلـي عبدى بشيئ أحب إلـي مما افترضته عليه ولايزال عبدى يتقرب الـي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع به وبصره الذى يبصربه ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها وإن سألنى لأعطينه وإن استعاذنـي لأعيذنه

Artinya: Allah Ta’ala telah berfirman: Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku benar-benar mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak berdekat-dekat, taqarrub, kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah aku fardhukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya dengan apa ia mendengar. Akulah penglihatannya dengan apa ia melihat. Akulah tangannya dengan apa ia memukul. Akulah kakinya dengan apa ia berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.

Boleh saja orang mempunyai ‘sifat linuwih’ misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan binatang atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, atau kesaktian-ksaktian lainnya, tetapi tentu saja dia tidak otomatis bisa disebut wali. Sebab dajjal, dukun, tukang sihir, ‘ahli hikmah’ tukang sulap atau paranormal pun bisa memperlihatkan kesaktian semacam itu.

Sebaliknya bisa saja seorang wali dalam kehidupannya sama sekali tidak tampak lain dari orang-orang biasa. Lihat saja dari kesembilan wali Tanah Jawa, yang terkenal punya kesaktian hanya Sunan Kalijogo yang mempunyai kesaktian membuat soko guru masjid Demak dari tatal dan Sunan Bonang yang mengubah buah pinang tampak menjadi emas. Jadi kewalian seseorang tidak diukur dengan keanehan dan kesaktiannya, perilaku ataupun pakaiannya melainkan kedekatan dan ketakwaan kepada Allah.

Sumber: Fikih Keseharian Gus Mus

(Do'a of the Day) 02 Muharram 1433H

Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Assalamu 'alaikum ahlad diyaari minal mu'miniina wa innaa in syaa-allaahu bikum lalaahiquuna, as'alullaaha lanaa wa lakumul 'aafiyah.

Semoga kalian selamat sejahtera wahai penghuni kubur yang terdiri atas para mukminin, dan sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul kailan. Aku bermohon kepada Allah, semoga kami dan kalian dalam keadaan 'afiat.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 32.

Jumat, 25 November 2011

(Masjid of the Day) Al Jauhar Fi Sabilillah di Kodau, Jatimurni, Pondok Melati - Kota Bekasi

Pernah mendengar sebuah jalan atau daerah yang bernama kodau? Sebuah jalan yang tenang di selatan Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kab. Bogor dan Jakarta Timur ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Pondok Melati, di mana di sepanjang jalan nya masih terasa rindang dan adem secara alami karena masih banyaknya pepohonan besar yang tumbuh di kiri dan kanan jalannya. Struktur tanahnyanya pun unik, masih banyak jejalanan yang naik turun berbukit serasa di wilayah bogor, padahal ini sudah masuk Kota Bekasi.
Di antara jalan alternatif yang bisa tembus ke Jalan Raya Cibubur ini, terdapat sebuah Pondok Pesantren Yasfi yang memiliki sebuah Masjid Besar berlantai dua dan berdampingan dengan gereja betawi yang unik. Dua bangunan berbeda ini merupakan simbol betapa kerukunan beragama di wilayah ini terpelihara dengan sangat baik.

jl. raya kodau - pondok melati yang asri...



ada al jauhar fi sabilillah di sana...


teduh berlantai dua...


dengan gemericik air yang ada di depannya...


sudut masjid yang bersih...


nyaman dan lapang...


dan lantai marmer yang mampu membuat betah semua penghuninya...

Di Mana Bisa Mendapatkan Kacang Tanah Mentah?

Salah satu aktifitas yang menarik untuk mengisi waktu senggang saat musim hujan begini adalah dengan mengemil kacang tanah rebus. Kita bisa mendapatkan kacang tanah mentah di beberapa pasar tradisional, kemudian dicuci bersih, dan langsung direbus dengan menambahkan garam secukupnya. Teh manis panas bisa dijadikan pendamping yang nikmat dan mantab.

(Khotbah of the Day) Cobaan: Tanda Cinta Dari Tuhan

Cobaan: Tanda Cinta Dari Tuhan


اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةًوَّسُرُوْرًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحـْدَهُ لاَشـَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعََبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاَفَْضلِ اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَاِبه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَاَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لاُِّوْلِى ٱلأَلْبَـٰبِ

Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah

Marilah bersama-sama kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Ketaqwaan itu merupakan satu kunci untuk dua pintu. Pintu kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Barang siapa menghendaki kesuksesan hdiup di dunia janganlah pernah memalingkan diri dari taqwa Ilahi. Dan barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat nanti juga taqwalah yang menjadi modal utamanya.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya lebih mulia-mulianya (manusia) diantara kalian di sisi Allah swt adalah mereka yang betaqwa.

Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah

Tidak selamanya kehidupan di dunia berjalan seperti yang diinginkan manusia. Terkadang terasa berat cobaan yang menghadang, terkadang pula kehidupan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Seringkali manusia berbeda dalam menghadapi kedua keadaan tersebut. Lumrahnya, manusia akan mengingat Allah swt sewaktu cobaan mendera dan mengabaikan-Nya ketika hidup dalam bahagia. Akan tetapi ketika cobaan itu beruntun dan lama kelonggaran tak kunjung datang, maka manusia akan mulai bertanya dan ragu, apakah ia harus bersabar dan tetap bertahan menyandarkan diri kepada Ilhi?

Ataukah segera berpaling muka melarikan diri dari Allah swt dan mencari perlindungan kepada dunia beserta segala kecantikannya mulaid dari kekuasaan, kekayaan dan juga kenikmatan lainnya?Hadirin yang Berbahagia

Inilah yang jarang kita fahami, sesungguhnya cobaan hidup di dunia itu merupakan petanda bahwa Allah sangat memperhatikan dan mencintai kita. Sebuah hadits berbunyi "Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia menyegerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Dia menahan hukuman kesalahannya sampai disempurnakannya pada hari kiamat." (HR. Imam Ahmad, At-Turmidzi, Al-hakim, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi). Jadi berbagai cobaan yang menghadang dalam kehidupan ini adalah sebuah ujian dari-Nya. sebagaimana layaknya ujian, maka jika manusia berhasil melaluinya dan di nilai lulus, maka Allah swt akan memberikan balasan yang tak ternilai harganya. Namun sebaliknya, jika manusia gagal melalui cobaan itu, maka Allah akan membiarkannya, hingga ia berusaha belajar kembali menghadapi kehidupan.

Diriwayatkan sebuah cerita bahwa salah seorang lelaki telah bertemu dengan seorang wanita yang disangkanya pelacur. Lelaki itu menggoda sampai-sampai tangannya menyentuh tubuhnya. Atas perlakuan itu, sang wanita berkata, "Cukup!" Lantaran terkejut, lelaki ini menoleh ke belakang, namun terbentur tembok dan terluka. Lelaki usil itu pergi menemui Rasulullah dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya. Komentar Rasulullah? "Engkau seorang yang masih dikehendaki oleh Allah menjadi baik." Selanjutnya beliau bersabda, Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia menyegerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Dia menahan hukuman kesalahannya sampai disempurnakannya pada hari kiamat”

Kecintaan Allah kepada hamba-Nya di dunia tidak selalu diwujudkan dalam bentuk pemberian materi atau kenikmatan lainnya. Tidak juga dalam bentuk peng-kabulan doa secara spontanitas. Akan tetapi kecintaan itu justru sering berbentuk cobaan di mana berat atau ringannya ujian itu tergantung kepada kadar keimanan seseorang.

Para hadirin yang dimuliakan Allah

Marilah kita Simak kembali cerita kehidupa para Rasul dan Nabi. Sebagai oang yang paling disayangi dan dikasihi Allah, justru mereka adalah orang yang paling berat menerima ujian semasa hidupnya di dunia. Ujian mereka sangat berat melebihi ujian yang diberikan kepada siapapun juga. Demikian secara berurutan, para syuhada' dan kemudian shalihin. Yang jelas bahwa setelah orang menyatakan. "Kami beriman", Allah langsung menyiapkan ujian baginya.

Allah berfirman:

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ * وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ‌ۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ *

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan 'Kami telah beriman,' lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. al-Ankabut: 2-3)

Selain ujian demi ujian diberikan kepada orang yang beriman, maka teguran demi teguran juga diberikan kepadanya. Teguran itu kadang halus, tapi sering-sering kasar. Bagi yang kepekaan imannya tinggi, teguran halus saja sudah cukup untuk menyadarkannya. Akan tetapi bagi mereka yang telah hilang kepekaannya, teguran yang keras sekalipun tak bisa menyadarkannya.

Apa yang dialami oleh lelaki yang datang kepada Rasulullah sebagaimana hadits di atas merupakan teguran Allah secara langsung agar ia sadar atas kekeliruannya, dan tidak mengulang kesalahannya. Lelaki itu sangat bersyukur atas kecelakaan yang menimpa dirinya. Wajah yang benjol dan darah yang mengalir di wajahnya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai kesadaran yang baru dirasakannya.

Kecelakaan itu semakin tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan siksa yang bakal diterimanya di akhirat kelak. Bukankah setiap dosa akan ditimbang dan dibalas sesuai dengan bobotnya? Dengan kecelakaan itu ia bertobat. Dengan bertobat, maka terhapuslah dosanya. Tentang hal ini Rasulullah bersabda, "Tiada suatupun yang menimpa seorang mukmin, baik berupa kepayahan, sakit, sedih, susah, atau perasaan murung, bahkan duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan melebur kesalahan-kesalahannya lantaran kesusahan-kesusahan tersebut." (HR Bukhari dan Muslim)

Karena itu para hadirin Rahimakumullah

Jika kita mendapatkan sebuah musibah, segeralah kita bermuhasabah, mengingat-ingat kesalahan apa yang telah kita lakukan? Dosa apa yang telah kita kerjakan? Janganlah cepat berburuk sangka kepada Allah swt. Karena bisa saja musibah tersebut merupakan teguran dari-Nya atas berbagai tingkah laku kita selama ini. Jika demikian kita akan sadar dan banyak-banyaklah minta pengampunan kepada-Nya dan berdoa agar senantiasa diberi kemampuan menghadapi cobaan tersebut.

Dengan demikian Kasih sayang Allah tidak selalu berbentuk kesenangan, melimpahnya harta kekayaan, tercapainya segala cita, dan jauh dari berbagai musibah. Justru bisa jadi sebaliknya. Orang yang mendapatkan berbagai kesenangan itulah yang tidak dicintai-Nya. Orang tersebut dibiarkan tenggelam dalam kesenangan dunia sampai tiba ajalnya. Pada saat itu semua kesenangan dicabut dan diganti dengan berbagai siksa yang mengerikan, baik ketika di kubur, di padang mahsyar, maupun di neraka.

Para Hadirin jama'ah Jum'ah yang berbahagia

pada akhirnya khutbah ini sebagai pengingat, agar kita senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt. Dan bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan kita ini, sesungguhnya Allah telah menyiapkan hikmahnya. Semoga kita semua senantiasa diberi petunjuk oleh-Nya dalam mengarungi sisa umur kita. amien

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ


Sumber: NU Online